Opini

Apa yang Dilakukan Gus Dur sehingga Mendapatkan Cinta Sebesar Itu?

Sel, 19 Desember 2023 | 12:00 WIB

Apa yang Dilakukan Gus Dur sehingga Mendapatkan Cinta Sebesar Itu?

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). (Foto: NU Online)

Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad

Allahumma shalli ‘alayhi wa sallim

Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad

Ya Rabbi shalli ‘alayhi wa sallim


Subhanallah wa bihamdihi

Subhanallahil ‘azhim

Subhanallah wa bihamdihi

Subhanallahil ‘azhim


Para peziarah mengalunkan shalawat dan melantunkan tasbih dengan kur yang syahdu di pesarean keluarga pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, di Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Dengan kamera ponsel, siang itu saya merekam aktivitas mereka sambil mengantre tempat untuk bertahlil. Menumpangi satu bus dan dua mobil Isuzu ELF pada Senin, 19 Juni 2023, saya berziarah ke sana bersama 89 santri Pondok Pesantren Sunan Kalijaga, Pemuteran, Buleleng, Bali.


Ini ziarah saya yang entah ke berapa kalinya ke makam para ulama di Tebuireng. Sebulan sebelumnya, dalam perjalanan mudik dari Trenggalek ke Bali, saya dan keluarga juga mampir ke perkuburan ini. Kalau tidak lewat jalur Malang-Blitar, setiap kali mudik, kami upayakan mampir ke pesantren yang terletak di Jombang bagian selatan itu. Pesantren yang, di masa Revolusi, jadi pos pergerakan kaum pejuang dalam melawan tentara Belanda.


Kepada para santri, kami ingin memperkenalkan para pahlawan yang dikebumikan di Tebuireng yang berjasa besar bagi perjalanan republik ini: KH Hasyim Asy’ari, pejuang kemerdekaan yang menggagas Resolusi Jihad melawan kolonial Belanda sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama; putranya, KH Abdul Wahid Hasyim, anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang yang ikut membidani lahirnya Pancasila sebagai dasar negara sekaligus Menteri Agama pertama; dan cucunya, KH Abdurrahman Wahid yang masyhur dipanggil Gus Dur, pejuang kemanusiaan dan demokrasi yang juga Presiden Republik Indonesia ke-4. 


Selain itu, dengan mengajak para santri muda ke Pesantren Tebuireng, kami ingin menumbuhkan rasa cinta mereka kepada ilmu, kepada perjuangan, kepada agama, dan tentu saja kepada pesantren yang punya andil besar dalam memajukan bangsa dan menjaga negara ini.


Kunjungan pertama saya ke Pesantren Tebuireng terjadi pada 2004. Saat itu, saya yang masih seorang siswa kelas 1 aliyah di satu pesantren kecil di Situbondo ikut rombongan kakak kelas 3 berziarah ke makam beberapa wali di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Makam Kiai Hasyim Asy'ari termasuk tujuan tur kami saat itu dalam rangka tasyakuran kelulusan yang berakhir jalan-jalan di Candi Borobudur, Magelang, juga Malioboro, Yogyakarta.


Sembilan belas tahun lalu, peziarah di pemakaman Tebuireng tidak seramai sekarang. Seingat saya, waktu itu, hanya terlihat santri yang mengaji dan beberapa orang tamu saja yang bersila di cungkup di depan makam. Parkir kendaraan masih di area pesantren. Bus kami terparkir di depan Masjid Ulil Albab di kawasan SMP A. Wahid Hasyim. Keluar dari makam, ketika itu, kami hanya disambut siswa yang mondar-mandir dari asrama ke SMP dan SMA A. Wahid Hasyim. Santri-santri putri berlalu lalang di sisi parkir bus kami dari dan ke bilik-bilik mereka yang terletak di belakang masjid.


Semua kesunyian itu berubah sejak 2009. Sejak Gus Dur wafat dan diistirahatkan di Tebuireng, pekuburan para kiai dan nyai di pesantren itu tak henti-henti didatangi banyak peziarah dari berbagai kalangan. Tidak hanya warga Nahdlatul Ulama, tapi juga orang-orang yang barangkali tidak familiar dengan ulama. Tidak hanya umat Islam, namun juga umat agama lain, bahkan orang yang tidak beragama.


Dulu, tahun 2004, ketika keluar dari kompleks makam, saya hanya disambut lalu-lalang santri di depan gedung-gedung sekolah milik pesantren. Kini, saya disambut pedagang kaos, penjual kopiah, penjaja dodol, serta pedagang nasi yang berjejer rapi di kanan-kiri jalan menuju makam. Kumpulan kios pedagang suvenir dan makanan itu menjelma pasar rakyat sebagaimana pasar yang kita temui di makam-makam Wali Sanga. Ada pula fotografer dadakan yang kadang agak memaksa agar foto jepretannya ditukar dengan beberapa lembaran rupiah oleh para peziarah. Sedangkan hampir semua kaos yang dijual di pasar rakyat itu bertulis dan bergambar Gus Dur. 


“Kehadiran” Gus Dur di pekuburan masyayikh Tebuireng menjadi magnet bagi banyak orang, terutama para peziarah lebih-lebih para pedagang. Kalau tidak dibatasi dari pukul 08.00 sampai 15.00 dan dari pukul 20.00 hingga 02.00, makam Gus Dur akan dipadati peziarah 24 jam non-stop.


Saya kemudian teringat sebuah pertanyaan Gus Dur di salah satu kolomnya untuk mengenang wafatnya sang ayah. Melihat lautan manusia di sepanjang jalan kala mobil jenazah yang mengangkut jasad ayahnya berarak ke Jombang, Gus Dur merefleksikan peristiwa itu di masa dewasanya: “Apa yang bisa dilakukan seseorang untuk mendapatkan cinta sebesar itu?” 


Pertanyaan serupa saya ajukan untuk Gus Dur: apa yang telah dilakukannya sehingga mendapatkan cinta sebesar itu? Mengapa putra Kiai Abdul Wahid Hasyim dan cucu Kiai Hasyim Asy'ari itu dicintai orang-orang hingga kuburannya terus diziarahi? Apakah karena Gus Dur seorang presiden, pendiri partai, atau karena dia penulis, intelektual, budayawan?


Bukan karena gelar sosial atau jabatan atau predikat-predikat tersebut Gus Dur memperoleh keistimewaan dan penghargaan itu. Ada banyak kuburan presiden, pendiri partai, penulis, intelektual, juga budayawan yang sepi tak didatangi orang, bahkan terbengkalai karena dilupakan. Gus Dur didatangi banyak orang sampai wafat karena semasa hidupnya dia sering mendatangi banyak orang. Dia dicintai banyak manusia, apa pun latar belakangnya, karena semasa hidupnya dia mencintai manusia apa pun latar belakang mereka.


Sampai detik ini Gus Dur terus dirindukan walau 22 tahun silam dia difitnah dengan kasus Bruneigate dan Buloggate lalu dipeloroti dari kursi kepresidenan oleh lawan-lawan politiknya. Lawan-lawan politik yang hanya mampu menurunkan Gus Dur dari kursi kekuasaan, tapi tak mampu menurunkan Gus Dur dari hati banyak orang. 


Dan semua mata terbelalak ketika di ujung tahun 2019 terbit buku Menjerat Gus Dur yang ditulis Virdika Rizky Utama. Penulisan buku ini berawal dari ketaksengajaan sang penulis menemukan arsip berisi data-data proses penggulingan Gus Dur yang dibuang begitu saja oleh petugas kebersihan di kantor pusat partai politik penyokong utama rezim Orde Baru. Buku Virdika melengkapi buku Hari-Hari Terakhir Bersama Gus Dur karya Bondan Gunawan yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas setahun sebelumnya.


Jabatan Gus Dur sebagai presiden, pendiri dan pengurus partai politik, gelar sosialnya sebagai intelektual dan budayawan, serta kemahirannya menulis kolom di media massa tidak dia jadikan sebagai tujuan duniawiah demi meraih kekayaan atau kemasyhuran. Pangkat, martabat, juga bakat yang dimilikinya itu dia gunakan sebagai alat perjuangan untuk memuliakan orang-orang yang dihina dan direndahkan; untuk menguatkan orang-orang yang dilemahkan; untuk memartabatkan mereka yang tidak diberi kehormatan; untuk memanusiakan manusia yang tidak dimanusiakan oleh mereka yang kuat secara politik dan ekonomi.


Tak cukup di situ, setelah wafat pun Gus Dur tetap membantu orang-orang lemah. Kotak-kotak infak yang terdapat di sekitar makam Gus Dur bisa mengumpulkan uang hingga 1 miliar dalam setahun. 


“Uang itu disedekahkan kepada kaum fakir dan miskin juga anak-anak yatim di sekitar Tebuireng,” tutur Ari Setiawan, santri asal Lampung yang menjaga makam Gus Dur. “Selain itu, dana yang terkumpul dari kotak-kotak infak di makam Gus Dur juga disedekahkan untuk korban bencana alam di berbagai daerah di Indonesia. Dari pengumpulan sampai penyebaran dananya dikomando langsung oleh tim di Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng.”


Dari Gus Dur, saya belajar bahwa manusia tidak perlu mengejar jabatan sampai harus melepas harga dirinya sebagai manusia. Kita hanya perlu memanusiakan manusia agar tidak hilang kemuliaan diri sebagai manusia. Karena itulah pada batu nisan di makamnya, Gus Dur berwasiat agar diberi tulisan "Di Sini Berbaring Seorang Pejuang Kemanusiaan" dalam bahasa Indonesia, Arab, Inggris, dan Cina. Si Dur yang Gus itu hanya ingin dikenang sebagai pejuang kemanusiaan, ya, sebagai pejuang kemanusiaan, bukan sebagai presiden, pendiri sekaligus petinggi partai politik, intelektual, kiai, penulis, atau budayawan.


Menjadi presiden, wakil presiden, menteri, ketua partai, ketua dewan kesenian, ketua organisasi, penulis, intelektual, atau budayawan itu sungguh mudah. Semua itu bahkan bisa disiasati dengan uang dan pertemanan. Yang sulit itu menjadi manusia. Dan kepada Gus Dur, mestinya kita belajar menjadi manusia, belajar mencintai dan memuliakan manusia, sekaligus belajar memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan.


Di dalam kompleks permakaman, saya melintasi gundukan tanah bertabur kembang yang memeluk jasad Gus Dur dengan nisan dan tulisan di atasnya. Lalu, saya mendengar sayup-sayup kasidah yang ditembangkan para peziarah:


Salamullahi ya Sadah

Minar Rahmani yaghsyakum

‘Ibadallahi ji’nakum

Qashadnakum thalabnakum


Tu’inuna tughitsuna

Bihimmatikum wa jadwakum

Fa-ahbuna wa a’thuna

‘Athayakum hadayakum


Ahmadul Faqih Mahfudzpenyair, tinggal di Bali.