Opini

Belajar dari Humor Gus Dur

Rab, 12 Desember 2018 | 22:00 WIB

Oleh Muhammad Makhdum 

Bagi bangsa ini, sosok Gus Dur tidak hanya banyak jasanya, banyak kontroversinya, tetapi juga banyak humornya. Saking piawainya dalam memancing tawa, beberapa tokoh memberi “gelar” Doktor Humoris Causa sebagai penghormatan kepada Gus Dur. Humor-humor Gus Dur sangat situasional, bisa muncul kapan saja, di mana saja, dan dengan siapa saja. Mulai dari obrolan remeh-temah hingga di acara-acara formal yang sejatinya humor menjadi tabu untuk disampaikan. Humor Gus Dur benar-benar mampu mencairkan suasana dan mengendorkan urat yang tegang. Bagi Gus Dur pribadi, humor seolah menjadi obat penawar dan vitamin yang dapat menjaga kesehatan di tengah aktivitasnya yang sangat padat dan melelahkan. 

Konon, humor Gus Dur sangat dipengaruhi oleh tradisi pesantren dan Nahdlatul Ulama (NU). Dalam lingkungan pesantren dan NU, humor adalah makanan sehari-hari dan menjadi ciri khas yang membedakan NU dengan kelompok lain. Dalam berbagai kesempatan, bisa disaksikan bahwa para kiai NU di semua tingkatan juga sangat lihai dalam urusan mengocok perut ini. Konon, kurang lengkap rasanya jika menjadi pengurus maupun aktivis organisasi NU tetapi tidak bisa melucu. Sudah barang tentu, pergaulan Gus Dur yang sangat luas juga turut mempertajam sense of humor-nya. 

Humor Gus Dur melintasi sekat-sekat peristiwa. Hampir semua lapisan masyarakat mengenal dan menikmati humor-humor Gus Dur. Mulai dari kalangan rakyat biasa, tokoh bangsa, hingga para pemimpin dunia seperti Presiden AS Bill Clinton dan presiden Perancis Jacques Chirac. Bahkan Raja Fahd Saudi dan presiden Kuba Fidel Castro yang terkenal “angker” dan jarang tersenyum bisa ngakak di depan Gus Dur. Berbagai dokumentasi Gus Dur yang tertawa lebar bersama para pemimpin dunia menjadi bukti bagaimana beliau menjadikan humor sebagai alat diplomasi dan membangun dialog peradaban. Lebih jauh, humor seolah menjadi irisan penting perjuangan Gus Dur dalam menebarkan gagasan keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. 

Dalam buku Gus Dur Hanya Kalah dengan Orang Madura (2010), Kang Sobary, seorang budayawan berujar bahwa Gus Dur menjadikan humor sebagai ekspresi kejengkelan, kemarahan, penolakannya terhadap suatu hal, atau kepada sesuatu yang dibenci masyarakat dengan cara jenaka. Gus Dur menjadikan humor sebagai senjata untuk melancarkan kritik sosial. Jika penolakan dilampiaskan secara agresif dan terbuka, maka akan muncul kekacauan. Di sinilah letak kecerdasan dan kearifan Gus Dur dalam menyikapi suatu masalah. 

Saat mengkritik budaya minta petunjuk para menteri Pak Harto, Gus Dur memiliki humor yang cukup menggelikan. Suatu hari, tiga orang wanita cantik diterjunkan dalam tiga pulau terpencil. Masing-masing pulau dihuni oleh dua orang bule, dua karyawan, dan dua menteri Pak Harto, yaitu Moerdiono dan Harmoko. Begitu melihat wanita cantik, kedua bule saling berpandangan, sebentar kemudian menyerang dan membunuh si wanita. Usut punya usut, kedua bule tersebut homoseks dan tidak ingin kehadiran si wanita mengganggu hubungan mereka. Saat wanita kedua diterjunkan di pulau yang dihuni dua orang karyawan, kedua karyawan saling berpandangan, sesaat kemudian bersaing dan saling membunuh. Sudah barang tentu karyawan yang menang merasa berhak atas wanita tersebut. Terakhir, wanita ketiga diturunkan di pulau yang dihuni oleh Moerdiono dan Harmoko. Melihat wanita cantik, keduanya pun saling beradu pandang, lalu keduanya saling menganggukkan kepala sambil kompak berucap, “mari kita tunggu petunjuk dari Bapak Presiden”. 

Gus Dur menyebut bahwa humor sangat efektif menjadi alat perlawanan. Masyarakat dapat melontarkan pandangan kritisnya terhadap kekonyolan, ketidakadilan, atau sistem yang membelenggu. Selain mengkritisi orang lain, humor juga berfungsi untuk mengkritisi dan menertawakan diri sendiri. Humor juga menjadi penanda kecerdasan dan kebijaksanaan seseorang. Konon, seseorang belum dikatakan arif dan bijaksana jika belum mampu mengejek dan menertawakan diri sendiri. 

Dalam sebuah cerita yang dituturkan oleh Muhammad AS. Hikam, Gus Dur pernah menganalisis isi otak para Presiden di Indonesia. Yang pertama, Gus Dur mengatakan jika Bung Karno memiliki otak kanan yang lebih unggul, hal ini karena dia menyukai seni dan keindahan. Selanjutnya, Gus Dur menyebut, Presiden BJ Habibie memiliki otak kiri yang lebih unggul karena merupakan seorang teknokrat dan insinyur handal. Nah, saat ditanya bagaimana isi otaknya sendiri, Gus Dur dengan santai menjawab, "Otak kanan dan kirinya sama-sama unggul, tapi sayang keduanya nggak pernah nyambung". 

Humor dan Politik
Bagi Gus Dur, humor dan politik tidak dapat dipisahkan. Dalam konteks politik, humor bisa mengurangi tensi kekerasan, konflik, dan menghindarkan dari ketegangan yang berlarut-larut. Persoalan yang pelik kadang dapat diselesaikan lewat humor. Ini dapat dibuktikan bagaimana ruang sidang DPR/MPR menjadi riuh rendah oleh tawa manakala Gus Dur berpidato, padahal sebelum Gus Dur menjadi presiden, ruang sidang tersebut seolah angker dan menjadi tempat yang makruh tertawa. Demikian pula di istana negara, sebuah tempat yang dulunya penuh dengan aturan dan protokoler yang ketat, menjadi lebih ceria dan berwarna karena Gus Dur. 

Saat menjadi presiden, Gus Dur sering dikritik menghambur-hamburkan uang negara karena seringnya melakukan lawatan ke luar negeri. Bukan Gus Dur namanya jika tidak bisa menjawab kritikan tersebut melalui humor. Di depan wartawan, Gus Dur kemudian menceritakan kehebatan masing-masing presiden RI. Kata Gus Dur, presiden Soekarno sangat hebat karena seorang negarawan, Presiden Soeharto hebat karena menjadi hartawan, presiden Habibie tidak kalah hebat karena seorang ilmuwan, sementara Gus Dur menyebut dirinya sendiri juga “hebat” karena menjadi wisatawan. 

Belajar dari Humor Gus Dur 
Mengutip Alissa Wahid, putri Gus Dur, bahwa saat ini Indonesia sedang mengalami darurat tertawa, alias darurat komedi. Atmosfer kehidupan bangsa ini pengap oleh narasi kebencian dan menebalnya sekat-sekat perbedaan akibat ketegangan politik yang berkepanjangan. Masing-masih kelompok merasa diri paling benar, tetapi kebenaran itu seperti dibungkus oleh aura kemarahan. Perbedaan sudut pandang menjelma menjadi jurang permusuhan. Di sisi lain, para elit politik cenderung mengabaikan narasi perdamaian, sebaliknya rajin mengumbar statemen yang dapat memperkeruh keadaan. 

Dalam kondisi demikian, humor menjadi penting dan menemukan relevansinya. Masyarakat perlu dihibur kembali dengan humor-humor yang menyegarkan, mencerdaskan dan menggugah kesadaran. Para tokoh bangsa, pemuka agama, maupun elit politik semestinya harus belajar menggunakan humor sebagai alat komunikasi publik, menciptakan humor sebagai pereda konflik. Dari sudut pandang kekuasaan, humor mampu mendekatkan jarak antara penguasa dengan rakyat jelata. 

Humor memang urusan “sepele”. Akan tetapi, di tangan Gus Dur humor menjadi ikhtiar serius untuk menjaga nalar bangsa agar tetap dalam kewarasan. Lebih dari itu, Gus Dur memberikan pelajaran bahwa melalui humor, hidup manusia menjadi lebih ringan, ceria, dan penuh dengan cinta. 


Penulis adalah Guru SMP Negeri 2 Tambakboyo, Ahlul Ma’had Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang.