Opini

Brigadir J, Andika Kangen Band, dan Banser Faturossi: Kuliah Tak Sekadar Gelar!

Jum, 26 Agustus 2022 | 08:26 WIB

Brigadir J, Andika Kangen Band, dan Banser Faturossi: Kuliah Tak Sekadar Gelar!

Brigadir J., Andika Kangen Band, dan Faturossi.

Beberapa hari lalu, saat membuka TikTok, telunjuk saya berhenti men-scroll saat sudut mata terantuk pada sebuah video. Ketika diperhatikan, video itu ternyata tentang ayah Brigadir J, Samuel Hutabarat, mewakili anaknya diwisuda di Universitas Terbuka. 


Si pemilik akun menuliskan keterangan pada video itu: “Penuh haru, ayah Brigadir J hadiri acara wisuda mewakili penerimaan ijazah”. Video itu dimulai suara pembawa acara yang mengatakan “…12441, mahasiswa studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik UPBJJ UT Jambi, IPK 3.28.” 


Saya kemudian mencari tahu lebih lanjut di media daring. Ternyata memang Brigadir J, atau Nofriansyah Yosua Hutabarat, selama 7 tahun terakhir ini tercatat sebagai mahasiswa di Unit Program Belajar Jarak Jauh-Universitas Terbuka Jambi. Di tengah kesibukannya sebagai polisi, ia berhasil menyelesaikan tugas akhir dengan mendapatakan (IPK) yang memuaskan, yakni 3,28.


Berdasarkan berita yang saya baca tersebut, selepas kuliah S1 konon Brigadir J berniat melanjutkan studinya di bidang hukum pada jenjang magister atau S2. Namun berita itu tak menyebutkan nama perguruan tinggi yang akan ditujunya dan ia tak akan sempat menunaikan niatnya itu.

 

Lalu, saat membuka akun Twitter, lagi-lagi saya tak sengaja menemukan berita yang terkait dengan dunia pendidikan. Satu akun yang mampir ke timline yang membagikan twitt dari akun lain. Ketika saya perhatikan, twitt itu adalah screenshot tentang Andika Mahesa, vokalis Kangen Band. Twitt itu disertai keterangan: 


“Juli kelar kejar paket C, Agustus ndaftar UT. Babang Tampan memang idola.” 


Saya kemudian lari ke akun Instagram @babang_andikamahesa yang bercentang biru. Kemudian mencari postingan sebagaimana yang dimaksud di Twitter. Ternyata twitt itu menyatukan dua postingan di akun Andika Mahesa. Postingan pertama tentang keberhasilannya meraih ijazah paket C dengan caption sebagai berikut:

 

“Kelulusan sekolah adalah momentum yang tepat bagi kita untuk menyadari bahwa setiap perjuangan itu tidaklah mudah. Banggalah karena engkau sudah melewati proses, nikmati sejenak, dan setelah itu mari kita racik rencana untuk hari esok.

 

Pada postingan itu Andika menunjukkan ijazah Paket C atau setara dengan sekolah Menangah Atas (SMA) dari PKBM Mutiara Bandar Lampung, Provinsi Lampung. 

 

Postingan kedua, tentang Andika yang mengenakan jas almamater Universitas Terbuka dengan caption demikian: 

 

“Mungkin ada yang bertanya, kenapa Universitas Terbuka.@univterbukalampung. Jawabannya sederhana, bahwa saya dan banyak orang yang bernasib sama seperti saya, kami terkendala oleh tatap muka, terhalang dengan kehadiran fisik dikampus. Ingin menjadi mahasiswa dan meraih gelar sarjana tapi kami harus bekerja.”

 

Sebelum kalimat itu, ia menyampaikan sebagian dari motivasinya melanjutkan pendidikan di tengah kesibukannya. 

 

“Saya ingin menjadi contoh bagaimana kemauan dan semangat bisa menghancurkan apapun penghalang untuk belajar.

 

Kuliah bukan tentang menjadi pintar, bukan tentang berbangga dengan rentetan gelar. Lebih dari itu, ini tentang memperbaiki logika berpikir. Sekali lagi logika berpikir dan mengejawantahkannya dalam mengatasi persoalan hidup.

 

Banser Faturossi, Security yang Kuliah di UI 

Setelah menemukan dua cerita itu, saya teringat akan seorang anggota Barisan Serbaguna (Banser) di Kota Depok, Faturossi, yang tahun lalu saya baca beritanya. Banser yang kesehariannya sebagai security selama belasan tahun itu, hanyalah lulusan SMP, kemudian, menempuh Paket C untuk persamaan tingkat SMA. 

 

Kemudian atas dorongan teman-temannya di Banser dan GP Ansor, dan dukungan PCNU Kota Depok, ia mendaftarkan diri melalui seleksi mandiri kampus (SIMAK) ke Universitas Indonesia (UI). Ia ternyata diterima di Program Studi Hubungan Masyarakat Program Pendidikan Vokasi. 

 

Saya tergerak untuk menghubungi Banser itu, ingin mengklarifikasi perkembangannya tahun ini. Pertanyaan yang muncul pertama saat ini, apakah ia masih tetap berlanjut atau berhenti. Kemudian tentang IPK, dan aktivitasnya sebagai security dan anggota Banser. 

 

Setelah berkomunikasi dengan Ketua GP Ansor Jabar, Ketua GP Ansor Depok, akhirnya saya mendapatkan nomor kontaknya. Kami sempat ngobrol melalui panggilan di aplikasi perpesanan selama 20 menit. 

 

Saya bersyukur ternyata dia masih tetap melanjutkan kuliahnya meskipun harus pandai-pandai membagi waktu. Tugasnya sebagai security, memang membutanya sering bentrok dengan jadwal kulihanya. Apa boleh buat satu mata kuliah jadi korban, tertinggal dan tak mendapatkan nilai di satu semester. Saat ini, masuk semester 3, ia mengantongi IPK 2.40. 

 

Pria keturunan Betawi ini menceritakan, pendidikannya selama ini terkendala karena masalah biaya. Pada saat menempuh pendidikan SMP di Pondok Pesantren Al-Karimiyah Sawangan, biaya pendidikannya tersendat-sendat mengingat orang tuanya juga harus membiayai saudara yang lain. Ia adalah anak ke-12 dari 13 bersaudara.

 

Namun, ia bersyukur berhasil lulus jenjang menengah pertama. Kemudian mencoba melanjutkan ke tingkat menengah atas di pondok pesantren yang sama, tapi hanya mampu sampai kelas 2. Ia mundur dan terpaksa harus mencari uang terlebih dahulu. 

 

Ia mundur bukan karena patah arang, melainkan mengambil ancang-ancang. Semangatnya untuk melanjutkan pendidikan tetap menggumpal dalam dadanya meskipun usia tak lagi muda. Kesempatan itu datang pada 2001 saat Pimpinan Anak Cabang GP Ansor Bojongsari Kota Depok bekerja sama dengan PKBM Langgeng Ikhlas membuka Program Paket C. Ia bersama Banser-banser lain yang putus sekolah mendapatkan persamaan tingkat SMA.   

 

“Saya diajarkan di pesantren agar mencari ilmu itu sepanjang hayat,” kata lajang kelahiran 1987 ini. 

 

Brigadir J., Andika, dan Faturossi memiliki aktivitas dan dunia yang berbeda. Namun, ketiganya memiliki kesamaan, yaitu sama-sama memiliki semangat belajar yang tak pernah padam dihempas gelombang kesibukan dan kebutuhan. Dan saya, para Banser, perlu mencontohnya.

 

Abdullah Alawi, Penulis esai dan pemerhati sejarah tinggal di Bandung