Opini

Ramalan Gus Dur dan Tanggung Jawab Transformasi Keempat Nahdlatul Ulama

Sen, 22 Agustus 2022 | 10:36 WIB

Ramalan Gus Dur dan Tanggung Jawab Transformasi Keempat Nahdlatul Ulama

Peserta Latihan Instruktur (LI) 1 yang berlangsung di Asrama Haji Embarkasi Jakarta Bekasi, Jl. Kemakmuran No.72, Kota Bekasi, dari Kamis sampai Ahad (18-21/8/2022). 

Beberapa anak muda berjas lengan pendek warna hijau, berkopiah hitam, dan bercelana panjang hitam tengah antre di sebuah ruangan. Ketika saya perhatikan atribut mereka, di dadanya di luar kemeja berwarna putih ada sebuah dasi berwarna hitam. Dasi itu tidak berayun-ayun karena tertutup jas yang dikancingkan. Di dada mereka juga tergantung sebuah id card

 

Atribut dan aktivitas itu saya saksikan melalui potongan video yang dikirim Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Barat, Deni Ahmad Haedari, yang dikirim secara pribadi ke aplikasi perpesanan WhatsApp. 

 

Saya terus menyimak video berdurasi 30 detik itu. Mata kamera kemudian menyorot aktivitas mereka dari sebelah kiri sehingga tampaklah di bagian pundak sebelah kiri jas terdapat dua buah lencana. Paling atas berbentuk lengkung pelangi dengan tulisan GP Ansor berwarna kuning emas. Sementara di bawahnya, lencana berbentuk segitiga yang menampakkan logo bertuliskan Ansor dengan juga berwarna kuning emas. 

 

Kemudian satu per satu mereka berjalan perlahan ke depan. Saya menduga anak-anak muda yang antre itu tengah menghadap pimpinan mereka yang berkacak pinggang dan berkumis tebal yang siap menghardik. Ternyata bukan. Video itu kemudian menampakkan situasi dan benda-benda di hadapan mereka. Beberapa meter dari mereka tampak ada orang-orang yang berjas Ansor juga sedang duduk-duduk. Mungkin para pengurus dan panitia sebuah acara. Namun dari gerak-geriknya, jelas orang yang duduk-duduk itu tidak terkait dengan aktivitas antrean saat itu.   

 

Anak-anak muda yang sedang antre itu ternyata memang tidak sedang menghadap pengurus atau pimpinannya, melainkan mendekati sebuah ponsel yang disangga sebuah tripod berwarna hitam. Tinggi benda berbentuk silinder itu diatur hingga seukuran dada orang dewasa. 

 

Kemudian satu orang pengantre berdiri selama beberapa detik di hadapan ponsel itu. Jarak antara keduanya sekira satu setengah hingga dua jengkal orang dewasa. Ia mendekatkan dada yang digantungi id card itu ke hadapan ponsel.   

 

“Kring…” begitu telinga saya mendengarnya ketika id card bertemu dengan ponsel. Namun tidak benar-benar berbunyi kring, tapi mengacu kepada sebuah notifikasi. 

 

Saya perhatikan setiap keduanya bertemu, selain bersuara, ponsel itu berkedip seolah mati sebentar ditandai dengan layar menghitam. Lalu menyala lagi.  

 

Setelah dipastikan ponsel berbunyi dan berkedip, maka pengantre akan keluar dari antrean. Lalu, pengantre di belakangnya melakukan hal serupa. Setelah dipastikan ponsel berbunyi dan berkedip ia juga melakukan hal yang sama, keluar antrean. Begitu seterusnya. 

 

Rupa-rupa gaya pengantre itu saat berhadapan dengan ponsel. Ada yang memegang id card-nya dengan satu tangan. Ada yang dengan dua tangan. Ada juga yang lepas tangan. Namun, rata-rata hanya dengan satu tangan. 

 

Video yang saya tonton itu hanya merekam 7 anggota antrean. Padahal, menurut Deni Ahmad Haedari, ada 77 orang dalam antrean itu. Mereka adalah peserta Latihan Instruktur (LI) 1 yang berlangsung di Asrama Haji Embarkasi Jakarta Bekasi, Jl. Kemakmuran No.72, Kota Bekasi, dari Kamis sampai Ahad (18-21/8/2022). 

 

Para peserta itu berasal dari Pimpinan Cabang GP Ansor di 27 kota dan kabupaten Jawa Barat. Tiga di antaranya berasal; satu orang dari PW GP Ansor Aceh. Dua di antaranya berasal dari PW GP Ansor DKI Jakarta.  

 

Absensi Digital dan Transformasi NU 

Menurut Deni, para peserta LI 1 yang antre di hadapan sebuah ponsel itu sedang melakukan absensi digital pada sebuah sesi. Setiap sesi biasanya berdurasi 2 jam. Kemudian istirahat beberapa saat. Kemudian tiap peserta melakukan absensi digital lagi ketika akan memasuki sesi berikutnya. Dengan absensi semacam itu, antrean 77 orang hanya membutuhkan waktu tak lebih dari 15 menit. 

 

“Untuk pertama kalinya GP Ansor Jawa Barat melakukan absensi digital pada sebuah acara. Tos paperless sadayana ge (seluruh kegiatan itu tak lagi menggunakan kertas),” ungkapnya.

 

“Ya kehadiran jadi elemen pokok penilaian kelulusan, kalau masih manual tentu lebih mudah dimanipulasi. Termasuk monitoring RTL juga digital pelaporannya,” lanjut dia. 

 

Sementara Kepala Sekolah Kaderisasi PW GP Ansor Jawa Barat yang menangani kegiatan tersebut, Subhan Fahmi, mengatakan, gagasan penerapan absensi digital itu diawali diskusi dan evaluasi tim instruktur kaderisasi sebulan sebelum acara. 

 

“Yang mana terkait absensi manual yang kurang efektif, maka kita memutuskan untuk pakai absensi digital yang kemudian dibuat oleh salah satu instruktur Sahabat Atep Taopik Mukhtar; maka dibikin absensi dalam bentuk barcode yang menempel di id card peserta,” jelasnya. 

 

Ungkapan tos paperless, efektif, menunjukkan GP Ansor Jawa Barat sudah mempraktikkan khas era digital. Harus menjadi catatan di sini, praktik digital yang dilakukan secara organisasi, berlangsung sejak para pengurus dan anggotanya akrab dengan dunia itu. Namun, diakui Ketua Pimpinan Wilayah dan Kepala Sekolah Kaderisasi GP Ansor Jawa Barat pemberlakuan absensi digital pada LI 1 itu yang pertama kali diberlakukan. 

 

Padahal, absensi semacam itu telah menjadi praktik di organisasi-organisasi lain. Bahkan perusahaan-perusahaan besar telah lebih dulu melakukannya. Memang bagi GP Ansor masih jarang dan terlambat memberlakukannya. Meski demikian, kini dan seterusnya, GP Ansor Jawa Barat sudah dan akan menerapkannya. 

 

Subhan Fahmi, yang merupakan Ketua Bidang Kaderisasi dan Sumber Daya Manusia (SDM) PW GP Ansor Jawa Barat ini, menegaskan, metode absensi digital akan menjadi tradisi dan standar pelaksanaan kaderisasi GP Ansor di semua tingkatan. 

 

“Kita harus beradaptasi dengan zaman yang sudah industri 4.0, yang serba digital supaya tidak tertinggal,” katanya. 

 

Menurut dia, pemberlakuan itu jangan menunggu para pengurus dan anggota menyatakan siap, tapi siap tidak siap, harus siap. Pokoknya harus siap, bukan lagi gagasan, tapi mempraktikannya. Berdasarkan pengalaman, ketika di awal pandemi Covid-19, GP Ansor Jabar merasa susah beradaptasi dengan rapat atau diskusi secara virtual, tapi ketika dipaksakan untuk dimulai, akhirnya beradaptasi, dan kemudian jadi terbiasa.

 

“Bahkan kaderisasi waktu itu di gelar secara hibrid, beberapa instruktur menyampaikan secara online pakai Zoom,” ungkapnya.

 

Apa yang diberlakukan GP Ansor Jawa Barat ini mengingatkan saya pada sebuah artikel KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang ditulis pada 1991. Artikel itu memang tidak membahas tentang absensi digital sebagaimana cerita di atas, tapi sedikit banyak masih ada relevansinya terutama pada semangat mengikuti gerak zaman.  
 

Pada artikel itu dikatakan, menjelang usia seabad, Gus Dur menyebutnya mulai 2010, NU memasuki transformasi keempat. Transformasi ini adalah dalam bidang teknologi informasi yang sudah digital. Menurutnya, anak-anak muda NU; dalam hal ini, IPNU, IPPNU, PMII, Fatayat NU, dan GP Ansor; bertanggung jawab menjadi garda depan dalam membawa NU sukses dalam menjalani transformasi keempat ini. Jangan sampai gagal sebagaimana transformasi sebelumnya, yaitu ekonomi. 

 

Jika menyimak aktivitas anak-anak muda NU di dunia pada teknologi informasi hari ini, apa yang diperintahkan Gus Dur itu bisa jadi terlaksana. Pengurus dan warga NU sudah ramah dalam bidang teknologi informasi sejak tahun 2000-an. Sebagai contoh, anak-anak muda NU berhasil dalam memproduksi dan menyebarkan informasi tentang ke-NU-an melalui situs resmi NU Online yang berlangsung secara konsisten sejak 2003. Bahkan, beberapa tahun terakhir ini menjadi web layanan informasi keislaman nomor 1 di Indonesia. 

 

Namun, tentu saja, keberhasilan itu harus dipertahankan dan ditingkatkan. Bahkan, harus lebih maksimal lagi, terutama dalam pengelolaan di seluruh platform media sosial populer saat ini, tempat nongkrong warganet di dunia maya. 

 

Beberapa akun atas nama NU secara organisasi dan beberapa tokohnya memang memiliki jumlah pengikut yang menggembirakan. Namun, jika melihat pengikut pada akun lain, dari kalangan “sebelah”, kita masih harus terus berjuang secara berjamaah untuk meningkatkannya, mengingat Nahdliyin berjumlah puluhan juta.

 

Selain itu, menurut hemat saya, pada era teknologi informasi digital ini, NU, pengurus, dan warganya tidak hanya sebagai penerima manfaat, sekadar konsumen, tapi harus menjadi bagian yang berperan, pemain, dan bahkan produsen. Semoga!

 

Abdullah Alawi, Pemerhati kajian sejarah tinggal di Bandung