Oleh Zaim Ahya
Kemarin salah seorang teman menanyakan kapan sebuah kitab yang sedang ia teliti ditulis. Tertera tahun di sampul kitab tersebut, namun ia bingung, apakah itu tahun diterbitkannya, atau tahun selesai penulisannya. Karena kitab itu sudah lama hilang dari peredaran pengajian di pesantren-pesantren dan baru dicetak baru-baru ini.
Kebingungan teman penulis adalah hal yang wajar, apalagi akan digunakan sebagai data penelitiannya.
Beberapa hari kemudian penulis menelaah kitab tersebut. Saat membaca halaman akhir kitab itu, sebelum sang pengarang kitab mengakhiri dengan pujian kepada Allah dan shalawat atas Nabi, ada keterangan kapan kitab itu selesai ditulis, lengkap dengan hari, tanggal dan tahun menurut kalender Hijriah.
Temuan di atas penulis sampaikan ke teman tadi dan ia langsung mengajak diskusi. Di sela-sela diskusi yang saling belajar itu, terbersit dalam pikiran penulis, jangan-jangan ulama yang lain pun demikian. Lamat-lamat penulis juga ingat beberapa kitab mencantumkan kapan kitab itu ditulis.
Setelah mengecek beberapa kitab, rata-rata mengakhiri dengan pujian kepada Allah dan shalawat atas Nabi atau hanya shalawat atas Nabi. Namun tak semua mencantumkan kapan karyanya selesai ditulis.
Kitab Bidayatul Hidayah dan Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali adalah contoh yang tak menyebutkan waktu kapan selesai ditulis di halaman akhir kitab. Sedangkan contoh kitab yang menyebutkan kapan selesai ditulis yakni seperti kitab Murah Labib atau Tafsir Munir karya Syekh Nawawi Banten. Beliau menulis di akhir kitabnya, "telah selesai apa yang dianugerahkan Allah kepada kami, dari makna-makna dan lafaz-lafaz yang dimudahkan, pada hari kelima bulan Rabiul Akhir malam Rabu tahun 1305 H...." lalu beliau mengakhiri dengan shalawat atas Nabi, keluarga dan sahabat Nabi, seluruhnya, lalu pujian Atas Allah.
Di karya yang lain, yakni kitab Maroqil Ubudiyyah, Syekh Nawawi juga menulis kapan karyanya selesai ditulis, namun setelah ia memuji Allah dan membaca shalawat atas Nabi, kebalikan dengan Tafsir Munir.
Selain Syekh Nawawi, ada Syekh Abdurahman al-Akhdhori. Dalam kitab Sulam Munaroq fi Ilmil Mantiq, yang berbentuk bahar rajaz, yang beliau tulis saat umur dua puluh satu tahun itu, sebelum mengakhirinya dengan shalawat atas Nabi, beliau mengatakan, "penulisan (kitab berbentuk) bahar rajaz yang dinadhamkan ini terjadi pada awal-awal bulan Muharram 941 Hijriah."
Ada juga yang menyebutkan kapan karyanya selesai ditulis, namun bukan dengan tanggal, tapi dengan hari kelahiran ulama besar, misalnya Syekh Ibrahim Baijuri. Dalam akhir kitabnya Hasyiah Baijuri penjelas dari kitab Fathul Qorib, beliau menulis, "penulisan ini selesai bertepatan dengan hari kelahiran (maulid) tuanku Ahmad al-Badawi r.a.
Kenapa ada yang menyebutkan kapan karyanya selesai ditulis, ada pula yang tidak? Tentu ini membutuhkan penelitian lebih lanjut, yang mendalam. Namun ada beberapa dugaan penulis, hal tersebut berhubungan dengan masa dan tempat para ulama itu hidup.
Misalnya Imam Ghazali yang hidup kisaran tahun 500-an Hijriah (Imam al-Ghazali wafat tahun 505 H.), tak menyebutkan kapan kedua karyanya, yang telah disinggung di atas, selesai ditulis. Berbeda dengan Syekh Abdurrahman Akhdhori yang hidup tahun 900-an H. atau Syekh Nawawi Banten yang hidup di tahun 1300-an H. Mereka berdua menyebutkan kapan karyanya ditulis atau selesai ditulis.
Di kalangan ulama Nusantara, tradisi menulis kapan sebuah karya selesai ditulis, tak hanya dilakukan oleh Syekh Nawawi Banten. Contoh Kiai Anwar Batang, yang menulis kitab Aisyul Bahri. Beliau menyebutkan kitabnya selesai ditulis pada malam Ahad (Minggu) dua puluh empat bulan Safar tahun 1339 H.
Penulis pernah jadi santri di berbagai pesantren, founder takselesai.com