Masjidil Haram yang normalnya disesaki ratusan ribu hingga jutaan jamaah juga melakukan pembatasan di masa pandemi. (Foto: Haramain)
Muhammad Ishom
Kolomnis
Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat untuk memperketat aktivitas masyarakat guna mencegah semakin meluasnya penyebaran Covid-19. Kebijakan tersebut kemudian ditindaklanjuti Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dengan mengeluarkan Intruksi Kemendagri (Inmendagri) yang ditandatanganinya pada tanggal 2 Juli 2021.
Instruksi tersebut antara lain berisi agar Gubernur, Bupati dan Walikota melarang setiap bentuk aktivitas/kegiatan yang dapat menimbulkan kerumunan termasuk di tempat ibadah. Menteri Agama juga menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Surat Edaran Menteri Agama No SE 17 tahun 2021 yang antara lain berisi peniadaan sementara peribadatan di tempat ibadah.
Namun kebijakan tersebut mendapat penolakan dari berbagai pihak seperti sejumlah warga di Situbondo, Jawa Timur lewat unggahan video viral berdurasi 52 detik beberapa hari lalu. Alasan penolakannya adalah karena menurut mereka masjid tak berkontribusi dalam penyebaran Covid-19. Mereka menyatakan siap perang apabila Sekda Kabupaten Situbondo tetap melakukan penutupan masjid (Detiknews, 4/7/2021).
Tentu kita prihatin dengan penolakan disertai ancaman perang tersebut sebab hal ini menunjukkan mereka menutup mata terhadap kenyataan bahwa klaster masjid Covid-19 itu ada sebagaimana yang terjadi di Masjid Kota Malang di mana 21 orang dinyatakan postif Covid-19 setelah menjalani rapid antigen. Selain itu, mereka juga menunjukkan kurang paham bahwa menjaga keselamatan jiwa hukumnya wajib sehingga harus lebih diutamakan daripada shalat berjamaah yang hukumnya sunnah menurut sebagian besar ulama.
PPKM Darurat tidak bermaksud melarang orang beribadah tetapi hanya memerintahkan menutup sementara masjid-masjid dan tempat-tempat ibadah umum lainnya di wilayah-wilayah dengan status level 4 dan 3 di Pulau Jawa dan Bali dari tanggal 3-20 Juli 2021. Kebijakan ini sangat krusial dalam rangka mencegah penularan varian baru Covid-19 yang disebut varian Delta. Menurut para ahli, varian baru ini sangat mudah menular dan lebih berbahaya daripada varian sebelumnya.
Umat Islam harus menyadari bahaya tersebut dan wajib berikhtiar menjaga keselamatan jiwanya. Jadi penutupan sementara masjid-masjid selama berlakunya PPKM Darurat harus dipahami sebagai tanggung jawab pemerintah melindungi eksistensi umat Islam dari ancaman Covid-19 terutama varian Delta.
Dilihat dari sudut pandang Islam, kebijakan tersebut sudah benar sebab kaidah fiqih mengamanatkan sebagai berikut:
تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Artinya: “Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan.”
Kemaslahaan yang hendak dicapai pemerintah lewat kebijakan menutup sementara masjid-masjid sebagaimana disebutkan di atas adalah terlindunginya umat Islam dari ancaman besar bahaya Covid-19 yang hingga kini di Indonesia telah merenggut lebih dari 60.582 jiwa. Dari angka sebesar itu kita bisa menduga kuat bahwa sebagian besar dari mereka adalah umat Islam karena mayoritas bangsa ini adalah Muslim.
Menurut Wakasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI), KH Abdul Ghaffar Rozin, data per 4 Juli 2021 menunjukkan 584 kiai telah wafat di tengah pandemi Covid-19 (mui.or.id, 3/7/2021). Hal ini merupakan “kerugian” besar bagi umat Islam sebab satu orang alim (faqih) lebih utama daripada seribu ahli ibadah yang tak berilmu sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radliallau anhu sebagai berikut:
فَقِيهٌ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنْ أَلْفِ عَابِدٍ
Artinya: “Seorang faqih (paham ilmu agama) lebih sulit (digoda) bagi setan daripada seribu ahli ibadah”.
Syariat Islam dan Eksistensi Umat Islam
Maryam Jameelah dalam sebuah bukunya berjudul Islam and Orientalism (Lahore: Mohammad Yusuf Khan & Sons, 1981), halaman 12, menulis sebagai berikut:
“Islam encourages self-protection. Because the individual Muslim personifies Islam itself, Islam could not exist on earth without him (Islam mendorong perlindungan diri sebab setiap individu orang Islam merupakan perwujudan Islam itu sendiri. Tanpa orang Islam, Islam akan lenyap dari bumi ini).”
Dari kutipan di atas kita bisa belajar betapa pentingnya menjaga keselamatan setiap orang Islam dari apapun yang mengancam keselamatan jiwanya. Terlebih di saat sekarang di mana ancaman virus Corona terbukti nyata dan masif. Artinya, Covid-19 harus dipandang secara bersama sebagai virus yang mengancam eksistensi umat Islam. Meninggalnya satu orang Islam saja berarti berkurangynya satu orang pengamal syariat Islam. Jika eksistensi umat Islam terus berkurang lalu habis, maka tamatlah syariat Islam, dan itu artinya tamat pula riwayat masjid-masjid karena akan sama sepinya dengan kuburan-kuburan.
Oleh karena itu, kebijakan PPKM Darurat dengan menutup sementara masjid-masjid tidak sepantasnya ditentang, apalagi dengan ancaman perang, sebab kebijakan ini harus dipahami sebagai upaya pemerintah melindungi umat Islam dari keganasan Covid-19 sekaligus menyelamatkan masjid-masjid dari ancaman sepinya pengunjung karena banyaknya umat Islam yang meninggal dunia akibat virus Corona.
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.
Terpopuler
1
Pertemuan KH Hasyim Muzadi dengan Komandan Hizbullah Sayyid Hassan Nasrallah
2
Cara Mengingatkan Anak yang Berisik ketika Khutbah Jumat
3
Kirim 20 Santri ke Amerika Serikat, Dirjen Pendis Dorong Pesantren Kejar Kemajuan
4
Imam Masjid Nabawi Madinah Puji Perkembangan Ilmu Keislaman di Pesantren NU
5
Ini Makna dan Filosofi Logo Hari Santri 2024
6
Hari Santri 2024, Ketua PBNU Ingatkan untuk Terus Berjuang Isi Kemerdekaan
Terkini
Lihat Semua