Opini

Defisit Tradisi dan Budaya Nusantara (2)

NU Online  ·  Selasa, 27 November 2018 | 23:00 WIB

Oleh Zastrouw Al-Ngatawi

Mencari suasana yang akrab, dekat dan besahabat dalam menikmati kesenian tradisional dalam zaman sekarang sudah sulit. Selain karena seni tradisi yang makin langka, juga karena sempitnya ruang gerak berkreasi bagi para seniman tradisional akibat tekanan dan beban yang makin berat.

Seni tradisi saat ini menghadapi tekanan dua arus besar yang datang dari kiri dan kanan. Dari sisi kiri, seni tradisi digerus oleh arus kapitalisme dan materialisme yang menuntut kesenian menjadi barang industri.

Arus kapitalisme ini hanya memberikan ruang gerak bagi seni budaya yang laku dijual, bisa membawa keuntungan secara materi untuk tumbuh dan berkembang dan diberi kesempatan berekspresi secara lebih luas. Sebaliknya kesenian yang tidak laku dijual akan dilindas dan ditutup ruang ekspresinya dan tidak diberi kesempatan berkreasi.

Ukuran tinggi rendahnya kesenian dan lebudayaan, baik buruk suatu produk seni tidak lagi dilihat nilai estetik dan derajat kreatif yang ada di dalamnya, tetapi berdasar pada respon pasar. Serendah apapun nilai estetik suatu karya seni akan tetap dianggap hebat jika laku dijual dan diterima baik oleh pasar.

Demikian sebalikya sehebat apapun bobot kreatif suatu karya seni, setinggi apapun nilai estetiknya jika tidak laku dijual dan tidak bisa mendatangkan keuntungan maka akan sulit mendapatkan akses dan ruang untuk tampil apalagi memperoleh dukungan dana untuk produksi.

Kondisi ini dialami oleh para seniman tradisional, khususnya para pemain dan pengelola kethoprak. Jangankan untuk dijadikan sumber pendapatan, untuk sekedar biaya produksi saja tidak ada. Kethoprak tobong yang pernah jaya pada dekade 70-an dan awal 80-an kini bangkrut karena minimnya penonton dan dukungan dari pemerintah dan masyarakat.

Pada era kejayaannya, kethoprak tobong bisa pentas di suatu daerah sampai enam bulan. Untuk menggaet penonton biasanya pihak manajemen kethoprak melakukan kerja sama dengan lurah atau aparat setempat dengan sistem prosentase. Tapi sekarang hal itu tidak bisa lagi dilakukan, sebagaimana dijelaskan Bondan Nusantara, era kejayaan ketoprak tobong telah habis, karena kegagalannya masuk dalam arus industrialisasi seni kapitisme.

Beberapa penggiat seni tradisi mencoba bertahan dari gempuran arus mapitalisme ini. Seperti yang dilakukan oleh Dwi Tirtayasa yang harus nomboki Rp 500.000 pada setiap penampilan kethoprak tobong. Pengorbanan ini juga dilakukan oleh para pemain yang kadang cuma menerima honor Rp50.000 sudah termasuk transport dan konsumsi.

Namun akhirnya mereka menyerah sehingga terpaksa menghentikan pertunjukan ketoprak tobong. Pentas pamit yang menandai matinya ketoprak tobong sebagai simbol kesenian tradisional dilakukan oleh grup ketoprak Kelana Bakti Budaya pada tanggal 5 Mei 2010 di Yogyakarta.

Dari sisi kanan, seni tradisi menghadapi arus puritanisme dan fundamentalisme agama. Arus ini secara vulgar, kasar dan keras melindas berbagai bentuk seni terutama yang terkait dengan adat dan tradisi karena dianggap mengotori kemurnian ajaran agama (Islam).

Atas nama kesucian dan kemurnian agama sekelompok orang tidak segan-segan menghancurkan suatu tradisi dan berbagai bentuk seni yang ada. Seperti yang terjadi pada kasus penyerangan dan perusakan perlengkapan upacara sedekah laut di Bantul beberapa waktu lalu. Dengan alasan menjaga kemurnian akidah mereka tega merusak berbagai produk seni bernilai tinggi seperti terlihat pada kasus perusakan patung di Purwakarta.

Arus fundamentalisme dan puritanisme agama yang melakukan persekusi terhadap kesenian dan tradisi tidak saja menyebabkan hancurnya karya seni dan tradisi tetapi juga telah membelenggu nalar kreatif para seniman dan budayawan. Di sini teks suci agama tidak lagi menjadi sumber kreatifitas yang melahirkan karya seni dan tradisi adiluhung.

Di tangan kaum fundemtalis skripturalis, teks dan ajaran agama berubah menjadi rantai borgol dan palu godam yang setiap saat akan membelenggu dan menghantam para seniman yang dianggap salah oleh kaum fundamentalis yg merasa punya otoritas terhadap teks dan ajaran agama. Kondisi ini membuat para seniman selalu berada dalam tekanan dan ancaman yang bisa membunuh kreatifitas mereka.

Lawakan yang segar dan jenaka seperti yang dilakukan Markum dan Kecik tidak akan muncul dalam suasana memcekam seperti sekarang ini. Demikian juga lakon yang bisa mengkritisi ulama secara vulgar seperti lakon saridin atau Syekh Siti Jenar akan sulit dipentaskan di tengah masyarakat yang sensitif.

Karena desakan kedua arus yang berlawanan tersebut terjadi defisit tradisi dan budaya Nusantara. Banyak upacara adat dan seni tradisi yang punah. Beberapa daerah yang dulu selalu menjalankan upacara adat yang menampilkan berbagai ragam seni budaya sekarang tidak lagi menyelenggarakan ritual tersebut.

Munculnya fenomena defisit seni tradisi dan budaya Nusantara ini merupakan kondisi yang memprihatinkan, karena ini sama saja proses penghancuran suatu bangsa. Hilangnya seni dan tradisi sama saja dengan hancurnya jejak sejarah dan sistem nilai suatu bangsa. Bangsa yang hidup tanpa seni, tradisi dan budaya adalah bangsa yang rapuh, mudah hancur dan gampang dikendalikan bangsa lain.


Penulis adalah pegiat budaya, dosen Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama (UNUSIA) Jakarta