Opini

Di Balik “Supremasi Syuriyah Mutlak” KH Miftachul Akhyar

Jum, 14 Januari 2022 | 17:00 WIB

Di Balik “Supremasi Syuriyah Mutlak” KH Miftachul Akhyar

Rais Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar saat menyampaikan khutbah iftitah pada pembukaan Muktamar Ke-34 NU, Rabu (22/12/2021) di Pondok Pesantren Darusaadah Gunungsugih, Lampung Tengah. (Foto: NU Online)

“Perlu diingat, sebagaimana disebutkan dalam Surat Thaha, setelah berubah menjadi ular naga dan berhasil menumpas kezaliman, maka ular-ular itu harus kembali kepada bentuknya semula yaitu tongkat. Manakala sudah dianggap cukup oleh para Masyaikh, Syuriah, maka kader-kader Nahdlatul Ulama harus siap kembali menjadi tongkat. Itulah sistem komando. Dan sikap pusaka kebanggaan kita adalah sami’na wa atha’na, maka supremasi Syuriyah mutlak.”


Kutipan tersebut merupakan potongan khutbah iftitah yang disampaikan oleh Rais ‘Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar dalam acara pembukaan Muktamar Ke-34 NU, Rabu (22/12/2021) di Pondok Pesantren Darusa’adah Gunungsugih, Lampung Tengah. “Supremasi syuriyah mutlak” merupakan penegasan rais ‘aam mengenai posisi syuriyah sebagai pimpinan tertinggi NU yang diisi oleh oleh para ulama dan masyayikh.

 


KH Miftachul Akhyar ingin mengembalikan posisi Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) NU sebagai regulasi tertinggi jam’iyah yang perlu ditaati oleh seluruh anggota, kader, dan pengurus NU. Pengasuh Pondok Pesantren Miftachus Sunnah Surabaya itu juga berupaya menegaskan prinsip dan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah yang dibarengi sikap setia terhadap NKRI, baik dalam kondisi normal maupun sebaliknya.


“Kita wajib menjaga dan mengamalkan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah. Juga mengembangkan nilai-nilai kebangsaan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ini kewajiban setiap anggota yang tercantum dalam AD-ART Nahdlatul Ulama. Pada tingkat pengurus, wajib memberikan arahan dan kontrol kepada anggota. Hal itu berlaku dalam situasi normal. Dalam situasi seperti sekarang, saat banyak kelompok ingin mengganti posisi Nahdlatul Ulama dan mengikis Ahlussunnah wal jamaah, maka kader-kader Nahdlatul Ulama harus berperan seperti tongkat Nabi Musa,” tegas KH Miftachul Akhyar dalam khutbah iftitahnya itu.


Penegasan KH Miftachul Akhyar hendaknya tidak dipandang sebagai sesuatu yang berlebihan. Karena salah satu konsekuensi dari prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jamaah ialah timbulnya paham keulamaan.


Hal itu terlihat pada nisbat jam’iyah NU yang menyandarkan pada ulama-ulama terkemuka seperti Imam Asy’ari dan Imam Maturidi dalam bidang akidah, salah satu imam mazhab (Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Hanbali, dan Imam Hanafi) dalam bidang fikih, Imam al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi dalam bidang tasawuf. Termasuk menghormati ulama dan mengakui kepemimpinan serta otoritasnya. (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010)


Pada awalnya, paham keulamaan itu hanya berlaku di kalangan pesantren dan masyarakat sekelilingnya. Tata hubungan antara santri dengan kiai dan anggota masyarakat dekat pondok pesantren, penuh simbol kesopanan yang pada dasarnya merupakan pengakuan terhadap kepemimpinan dan otoritas ulama. Namun, dengan lahirnya jam’iyah Nahdlatul Ulama, paham keulamaan ini semakin menampakkan bentuknya dalam formulasi yang cukup jelas, yaitu syuriyah.


Penempatan atau positioning syuriyah pada struktur paling atas dalam kepengurusan NU merupakan bukti dan implementasi paham keulamaan dalam prinsip Ahlussunnah wal Jamaah. Secara formal, hal itu dijelaskan dalam AD dan ART NU yang menyatakan, syuriyah adalah pimpinan tertinggi Nahdlatul Ulama (pasal 14 ayat 3 Anggaran Dasar NU). Syuriyah bertugas dan berwenang membina dan mengawasi pelaksanaan keputusan-keputusan organisasi sesuai tingkatannya (pasal 18 Anggaran Dasar NU).


Dari uraian ini dapat dilihat bahwa Nahdlatul Ulama merupakan jam’iyahnya para ulama. Peranan ulama di dalam tubuh NU tidak hanya sebagai pimpinan tertinggi, tetapi juga sebagai pembina dan pengawas terhadap keputusan-keputusan organisasi yang dijalankan oleh tanfidziyah (pelaksana).


Terkait kriteria ulama, KH Achmad Siddiq dalam Khittah Nahdliyah (2005) menjelaskan sebagai berikut. Pertama, norma pokok yang harus dimiliki oleh seorang adalah ketakwaan kepada Allah swt sesuai firman Allah dalam QS Fathir ayat 28, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama…”.


Kedua, seorang ulama mempunyai tugas utama mewarisi misi (risalah) Nabi Muhammad saw. Baik dalam ucapan, ilmu, ajaran, perbuatan, tingkah laku, mental, dan moralnya. Para ulama adalah pewaris para Nabi (al-‘ulama waratsatul anbiya).


Ketiga, seseorang bisa disebut ulama apabila memiliki ciri utama dalam kehidupan sehari-hari seperti tekun beribadah, zuhud, mempunyai ilmu akhirat, mengerti kemaslahatan umat, dan mengabdikan seluruh ilmunya untuk Allah disertai niat benar dan baik dalam berilmu maupun beramal.


Implementasi paham keulamaan juga diterapkan KH Abdul Wahab Chasbullah ketika mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan di Surabaya. Nahdlatul Wathan resmi mendapatkan Rechtspersoon (badan hukum) pada 1916 sebagai sebuah lembaga pendidikan untuk menggembleng nasionalisme para pemuda. Nahdlatul Wathan digawangi oleh KH Abdul Kahar sebagai direktur, KH Abdul Wahab Chasbullah sebagai pimpinan dewan guru (keulamaan), dan pimpinan madrasah KH Ridwan Abdullah.


Paham keulamaan tersebut berdampak pada penerapan kurikulum Madrasah Nahdlatul Wathan. Ia merupakan lembaga yang berdiri di tengah masyarakat yang mengimplementasikan tradisi keilmuan pondok pesantren.


Fathoni Ahmad, Redaktur NU Online dan Pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia)