Opini AHAMAD NUR KHOLIS

Dua Hikmah dari Mbah Sahal

Kam, 13 Februari 2014 | 09:21 WIB

Beberapa waktu lalu,tepatnya pada 6-8 September 2013 saya membaca banyak media NU, baik cetak maupun on line, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melaksanakan Rapat Pleno di Pondok Pesantren UNSIQ Al-Asy’ariyah Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah. KH MA Sahal Mahfudh Rahimahullah menyampaikan khutbah iftitah. <>

Bagi saya pribadi, pidato Mbah Sahal itu mempunyai dua pelajaran (hikmah) penting. Yang pada intinya adalah ajakan atau arahan untuk menjaga pergerakan Nahdlatul Ulama tetap istiqamah dalam Khittahnya.

Hikmah pertama adalah himbauan yang bersifat jangka pendek. Dan hikmah kedua adalah himbauan yang bersifat jangka panjang. Himbauan jangka pendek, warga NU dan para pengurus diminta menjaga diri dalam pemilu tahun 2014 agar tidak membawa NU kedalam politik praktis, yang secara eksplisit disebutkan menjelang akhir wacana Kiai Sahal dalam pidatonya. Sebagaimana dimuat dalam NU Online.

Pesan Beliau berbunyi : ‘........ menjelang tahun 2014 yang merupakan tahun politik bangsa kita, karena dikhawatirkan tidak sedikit pengurus NU di berbagai tingkatan yang memperlakukan NU seakan-akan sebagai sebuah partai politik (hizb Siyasi), yang bergerak pada tataran politik praktis alias politik kekuasaan.’

Sedangkan yang bersifat jangka panjang adalah berkaitan dengan keharusan semua warga NU untuk menjaga khittah. Inilah yang sangat menarik untuk dipelajari dan dianalisis. 

Dalam khutbah iftitahnya, Sang Kiai mengingatkan kembali kepada semua warga Nahdliyiin bahwasanya NU adalah Jam’iyyah Diniyyah Ijtima’iyyah (organisasi keagamaan yang bersifat sosial), yang berperan dalam pembangunan masyarakat, baik dalam pembinaan agama, maupun sosial. NU bukanlah sebuah partai politik, yang memiliki peran utama dalam permainan politik. Sebagaimana ditegaskan dalam khittah bahwa lahan pekerjaan utama NU adalah bidang Agama (dakwah), Pendidikan (maarif) dan sosial (mabarrat).

“Sebagai organisasi keagamaan Islam, tugas utama NU adalah menjaga, membentengi, mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam menurut pemahaman Ahlussunnah wal Jamaah di bumi nusantara pada khususnya dan di seluruh bumi Allah pada umumnya.” Demikian Kiai Sahal seperti dilansir NU Online.

Dalam kaitannya dengan tugas NU sebagai organisasi keagamaan ini, Kiai Sahal menyampaikan bahwa NU memiliki tugas besar dan berat, untuk mengembangkan agama dari kepicikan pemikiran, yang berujung pada kecenderungan saling mencaci maki, dan bahkan mengakfirkan sesama muslim. Ia berargumen bahwa kebebasan berfikir seharusnya memunculkan suatu sikap saling menghormati (tasamuh) terhadap pendapat orang lain yang berbeda.

Dalam hal ini Kiai Sahal mengutip Pendapat Imam Syafi’i dalam bahasa Arab yang artinya: ‘Pendapat saya benar namun mungkin memuat kesalahan, pendapat orang lain salah namun mungkin juga ada benarnya.’

Terkait posisi NU sebagai bagian dari elemen bangsa Indonesia, ia mengingatkan kembali kepada kita bahwa politik kebangsaan dan kerakyatan adalah suatu hal yang harus dilakukan Nahdlatul Ulama, yang disebut Kiai Sahal sebagai (high politics), bukan semata-mata politik praktis atau kekuasaan yang disebutnya politik rendahan (low politics).

Ia menyebutkan: "Politik kebangsaan berarti NU harus istiqamah dan proaktif mempertahankan NKRI sebagai wujud final negara bagi bangsa Indonesia. Politik kerakyatan antara lain bermakna NU harus aktif memberikan penyadaran tentang hak-hak dan kewajiban rakyat, melindungi dan membela mereka dari perlakuan sewenang-wenang dari pihak manapun." 

Inilah bagian yang sangat menarik bagi saya. Sebuah pemikiran hebat tersirat dalam pernyataannya itu. Tersirat pemberitahuan kepada seluruh masyarakat bahwa dalam pembangunan sebuah bangsa (nation) dan negara (state) peran politik ulama yang dalam hal ini bisa diterjemahkan sebagai NU tidak boleh dikesampingkan. Peran ulama harus ada dalam membangun peradaban sebuah bangsa. Tapi tidak boleh secara praktis.

NU seharusnya tidak boleh berada dalam pemerintahan, tapi jangan ditinggalkan. Karena NU harus berperan dalam mendidik kedewasaan politik. Dan ini memang benar saat ini, karena kita telah mengetahui bahwa partai politik sekarang sudah gagal dalam mendidik kedewasaan berpolitik masyarakat.

Tidakkah ini adalah sebuah pemikiran cemerlang dari seorang kiai desa tapi faqih? Kini Mbah Sahal sudah meninggalkan kita semua. Tidakkah menjadi tugas kita sebagai generasi selanjutnya untuk melaksanakan cita-cita itu? Kepada beliau, Alfatihah.......

 

Ahmad Nur Kholis, Kontributor NU Online Malang Jawa Timur