Opini

Feminisme dalam Islam

Ahad, 23 Juli 2017 | 11:00 WIB

Oleh Muhammad Shodiq Masrur

Orang masih sibuk bertanya. Orang juga masih saja sibuk berdebat, melontarkan berbagai argumentasi yang bisa jadi dibangun dari interpretasi pribadi. Isu feminimisme memang tidak habis-habisnya diperbincangkan. Tapi sesungguhnya, sudahkah kita bersepakat koridor feminisme yang diperdebatkan?

Bahwa feminisme tidak sama dengan emansipasi, kita harus bisa memahami hal tersebut. Jika emansipasi diterjemahkan sebagai pandangan yang mengusung peran serta wanita di ruang publik. Maka sesungguhnya feminisme lebih dari itu.

Apa yang diperkenalkan oleh Charles Fourier; aktivis sosialis utopis pada tahun 1837 mengenai feminisme adalah bentuk emansipasi secara lebih radikal. Dengan latar belakang kejenuhan akan nasib kaum wanita yang terjadi di barat, feminisme lahir dan mendukung persamaan mutlak hak serta kewajiban antara laki-laki dan perempuan di belbagai bidang. Mulai dari sosial, politik, hingga ekonomi.

Jika feminisme disamaartikan dengan emansipasi maka dalam koridor itu Islam sama sekali tidak mempermasalahkannya. Karena ajaran yang dibawa Islam sama sekali tidak merendahkan martabat wanita. Islam juga tidak datang untuk mengungkung dan memenjarakan mereka dalam sel-sel penjara imajiner di luar batas kemanusiaan.

Feminisme dalam Islam

Orang masih sibuk bertanya. Orang juga masih saja sibuk berdebat, melontarkan berbagai argumentasi yang bisa jadi dibangun dari interpretasi pribadi. Isu feminimisme memang tidak habis-habisnya diperbincangkan. Tapi sesungguhnya, sudahkah kita bersepakat koridor feminisme yang diperdebatkan?

Bahwa feminisme tidak sama dengan emansipasi, kita harus bisa memahami hal tersebut. Jika emansipasi diterjemahkan sebagai pandangan yang mengusung peran serta wanita di ruang publik. Maka sesungguhnya feminisme lebih dari itu.

Apa yang diperkenalkan oleh Charles Fourier; aktivis sosialis utopis pada tahun 1837 mengenai feminisme adalah bentuk emansipasi secara lebih radikal. Dengan latar belakang kejenuhan akan nasib kaum wanita yang terjadi di barat, feminisme lahir dan mendukung persamaan mutlak hak serta kewajiban antara laki-laki dan perempuan di belbagai bidang. Mulai dari sosial, politik, hingga ekonomi.

Jika feminisme disamaartikan dengan emansipasi maka dalam koridor itu Islam sama sekali tidak mempermasalahkannya. Karena ajaran yang dibawa Islam sama sekali tidak merendahkan martabat wanita. Islam juga tidak datang untuk mengungkung dan memenjarakan mereka dalam sel-sel penjara imajiner di luar batas kemanusiaan.

Islam justru memuliakan mereka. Menempatkan mereka sewajarnya manusia bukan barang dagangan, apalagi binatang. Islam juga mendorong mereka untuk ikut berpartisipasi dalam ruang lingkup publik yang lebih luas seperti halnya laki-laki.

Bandingkan dengan peradaban-peradaban lain di masa lalu. Romawi menempatkan wanita ibarat barang. Kepemilikan atas hak kehidupannya dimilliki seutuhnya oleh ayah mereka. Kebudayaan Cina dan Hindu pun tidak lebih baik daripada itu. Hak kehidupan mereka dimiliki selagi suaminya masih hidup. Saat suaminya meninggal, maka ia juga tidak memiliki hak untuk hidup.

Ajaran agama Islam tidak seperti itu. Al-quran sebagai landasan berpikir dan bertindak dalam agama Islam justru melegitimasi eksistensi keberadaan wanita. Wanita diberikan porsi hak, kewajiban serta hukum yang sama dengan laki-laki. Dalam salah satu ayat, Tuhan menyampaikan pesan bahwa ganjaran kebaikan yang diterima wanita sama persis dengan ganjaran yang laki-laki terima dalam mengamalkan kebaikan.

Islam memberikan ruang lingkungan dan sosial yang layak bagi perempuan. Tidak seperti kebudayaan elite Yunani. Yang mengharuskan wanita selalu berada di dalam istana. Islam memberikan ruang bagi wanita untuk keluar dan berinteraksi. Namun dengan beberapa catatan yang memang harus dipertimbangkan demi kemaslahatan bersama.

Wanita juga mendapatkan kebebasan untuk ikut andil dalam menjalankan perputaran roda ekonomi. Mereka memiliki hak untuk mengatur perdagangan seperti halnya kaum laki-laki. Tidakkah apa yang dilakukan Khadijah semasa hidupnya adalah sebuah dalih bagaimana bebasnya wanita mengatur ekonominya?

Islam juga memberikan ruang gerak wanita untuk berpartisipasi dalam ruang publik. Sudah menjadi maklum; bahwa Aisyah-istri nabi Muhammad yang paling muda merupakan salah seorang perawi hadis yang terkenal. Ia mendapatkan ruang publik untuk bebas bergerak dalam bidang pendidikan. Bahkan, ia juga pernah berpartisipasi dalam bidang peperangan sebagai satu dari tiga orang komandan perang di awal kepemimpin khalifah Ali bin Abi Thalib.

Apa yang dilakukan oleh Khadijah dan Aisyah yang notebene keduanya disebut-sebut sebagai ummahatul mu’minin (ibu dari orang-orang yang beriman) adalah sebuah bukti bahwa Islam mengakui dan meghormati eksistensi serta peran wanita dalam berbagai segmentasi kehidupan. Entah itu ruang privasi maupun ruang publik. Tak ayal bila dapat dipahami bahwa Islam masih selaras dengan feminisme dalam koridor tersebut. Tapi apakah itu berarti Islam juga menerima gagasan persamaan peran dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan secara mutlak? Sebentar, tunggu dulu.

Sudah menjadi rahasia umum, salah satu dasar pemikiran feminisme adalah pandangan bahwa peran dan tanggung jawab yang berbeda antara laki-laki dan perempuan didasarkan atas nama budaya. Karenanya di tahun 2012, DPR RI memunculkan wacana pengesahan RUU KKG ( kesetaraan dan keadilan gender ) yang sarat kontroversi. Dalam pasal satu ayat yang pertama, disebutkan “Gender adalah perbedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.”

RUU KKG ini terlihat menganggu pikiran Adian Husaini. Dalam salah satu bukunya, ”Seputar Paham Kesetaraan Gender” ia mempermasalahkan sebuah doktrin yang didasarkan pada kontruksi sosial budaya. Terlebih jika itu doktrin agama, maka tidak ada lagi nilai-nilai yang tetap dan bisa dijadikan acuan dalam hidup manusia secara universal. Tidak ada lagi yang sakral, semua bisa diubah sekehendak hatinya. Manusia juga menjadi sangat bebas, bahkan hingga tahapan enggan terikat dengan campur tangan Tuhan.

Memang, dalam khazanah disiplin ilmu ushul fikih dikenal satu kaedah, al-adah muhakamah. Bahwa suatu adat istiadat dapat menjadi landasan legitimasi suatu hukum dalam agama Islam. Namun ia tidak serta-merta mutlak. Ia memiliki batasan-batasan berdasarkan aturan ketetapan Tuhan.

Batasan-batasan inilah yang kontradiktif dengan tuntutan kesetaraan 50 berbanding 50 ala feminis. Tuhan sudah menetapkan wanita dengan kodratinya sebagai wanita. Fisik dan psikologinya jelas berbeda dengan laki-laki.

Ia mengalami fase melahirkan dan menyusui yang tidak mungkin dialami oleh laki-laki. Kedua fase tersebut dan ditambah dengan berbagai faktor lain membuat mereka mendapatkan porsi hukum yang berbeda dengan laki-laki. Di dalam masalah ibadah, jelas sekali mereka mendapatkan dispensasi taklif untuk tidak menjalankan ibadah semisal shalat dan puasa saat mereka mengalami masa menstruasi.

Kemudian, ketetapan-ketetapan lain dalam hukum Islam yang kerap dituntut oleh para feminis sebenarnya mengandung hikmah yang mendalam dalam hukum tersebut. Dalam pembagian harta warisan misalkan, feminisme memandang ajaran agama Islam sebagai ajaran yang tidak adil. Seorang laki-laki yang mendapatkan bagian dua kali lipat dari wanita adalah sebuah ketidaksetaraan yang harus diubah begitu saja.

Padahal jikalau dikaji lebih mendalam, terdapat hikmah yang sebenarnya sangat sederhana. Laki-laki mendapatkan bagian dua kali lipat dari wanita karena laki-laki memiliki tanggung jawab untuk menafkahi istri dan anaknya. Berbeda dengan wanita, harta yang ia miliki benar-benar miliknya sendiri. Ia tidak punya tanggungjawab menafkahi orang lain.

Kemudian terkait kepemimpinan, tidak bisa dielak bahwa isu tersebut merupakan isu yang paling panas nan seksi sampai saat ini. Terlepas dari pro-kontra kepemimpinan wanita yang terjadi, cukuplah kondisi wanita yang memungkinkan hamil, melahirkan, menyusui dan mendidik anak sebagai alasan untuk lebih fokus akan tanggung jawab mereka. Karena untuk menjadi seorang pemimpin, dibutuhkan banyak pengorbanan waktu, tenaga dan tentunya pikiran. Hal ini dapat menyebabkan gugurnya kandungan, terbengkalainya nasib anak dan lain sebagainya.

Meskipun memang, dalam realitanya tidak semua wanita lebih lemah dan tidak dapat memimpin laki-laki. Zakarya al-anshory dalam maha karyanya lubbul ushul menyinggung ayat arrijalu qawwamuna alan nisa’. Bahwa laki-laki lebih kuat dan lebih tangguh daripada wanita. Ia mengatakan, lafal arrijal dan annisa’ dalam ayat di atas sama-sama bersambung dengan alif-lam yang disebut mahiyah jinsiyah. Singkatnya, memang pada hakikatnya laki-laki lebih kuat daripada wanita, namun itu tidak menutup kemungkinan sebaliknya. Bahwa wanita memiliki kemampuan dan kapabilitas dalam memimpin kaum laki-laki itu mungkin saja. Hanya saja, itu terjadi sebagai sesuatu yang jarang,tidak secara global dan menyeluruh.


Penulis adalah alumnus (Program Keagamaan) MAN 1 Surakarta. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Islam Indonesia sekaligus Mahasantri di Pondok Pesantren Nailul Ula, Plosokuning, Sleman, Yogyakarta.