Opini

Fiqh Sosial : Upaya Pengembangan Madzhab Qauli dan Manhaji (lanjutan 1)

Jum, 4 Juli 2003 | 11:54 WIB

Paradigma Fiqh Sosial

Bagian kedua

Syari'at Islam merupakan pengejawantahan dari Aqidah Islamiyah. Aqidah mengajarkan akan adanya jaminan hidup dan kehidupan termasuk kesejahteraan bagi setiap manusia. Jaminan itu pada umumnya mengatur secara rinci cara berikhtiar mengelolanya. Pada prinsipnya tujuan syari'at Islam yang dijabarkan secara rinci oleh para ulama dalam ajaran fiqh ialah penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, kehidupan individual, bermasyarakat dan bernegara.

<>

Syari'at Islam mengatur hubungan antara manusia dengan Allah yang dalam fiqh menjadi komponen ibadah, baik sosial maupur individual, muqayyadah (terikat oleh syarat dan rukun) maupun muthlaqah (teknik operasionalnya tidak terikat oleh syarat dan rukun tertentu). Ia juga mengatur hubungan antara sesama manusia dalam bentul mu'asyarah (pergaulan) maupun mu'amalah (hubungan transaksi untuk memenuhi kebutuhan hidup). Disamping itu ia juga mengatur hubungar dan tata cara keluarga, yang dirumuskan dalam komponen munakahat. Untuk menata pergaulan yang menjamin ketenteraman dan keadilan, ia juga punya aturan yang dijabarkan dalam komponen jinayah, jihad dar qadla.

Beberapa komponen fiqh di atas merupakan teknis operasional dari lima tujuan syari'at (maqasid al-syari'ah), yaitu memelihara dalam arti luas-agama, akal, jiwa, nasab (keturunan) dan harta benda. Komponen-komponen itu secara bulat dan terpadu menata bidang-bidang pokok dari kehidupan manusia dalam rangka berikhtiar melaksanakan taklif untuk mencapai kesejahteraan duniawi dan ukhrawi (sa'adatud darain), sebagai tujuan hidupnya.

Unsur-unsur kesejahteraan dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi bersifat saling mempengaruhi. Apabila hal itu dikaitkan dengan syari'at Islam yang dijabarkan dalam fiqh dengan bertitik tolak dari lima prinsip dalam maqasid al-syari'ah, maka akan jelas, syari'at Islam mempunya i sasaran yang mendasar yakni kesejahteraan lahir batin bagi setiap manusia, Berarti bahwa manusia merupakan sasaran sekaligus menempati posisi kunci dalam keberhasilan mencapai kesejahteraan yang dimaksud.

Apa yang dijelaskan di atas merupakan kerangka paradigmatik di atas mana fiqh sosial seharusnya dikembangkan. Dengan kata lain, fiqh sosial bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial yang kompleks dipandang sebagai perhatian utama syari'at Islam. Pemecahan problem sosial berarti merupakan upaya untuk memenuhi tanggung jawab kaum muslimin yang konsekuen atas kewajiban mewujudkan kesejahteraan atau kemaslahatan umum (al-mashalih al-'ammah). Dalam hal ini, kemaslahatan umum --kurang lebih adalah kebutuhan nyata masyarakat dalam suatu kawasan tertentu untuk menunjang kesejahteraan lahiriahnya. Baik kebutuhan itu berdimensi dlaruriyah atau kebutuhan dasar (basic need) yang menjadi sarana pokok untuk mencapai keselamatan agama, akal pikiran, jiwa, raga, nasab (keturunan) dan harta benda, maupun kebutuhan hajiah (sekunder) dan kebutuhan yang berdimensi takmiliyah atau pelengkap (suplementer).
Klasifikasi kebutuhan dasar manusia di atas memang berbeda dengan apa yang dirumuskan dalam ilmu ekonomi "sekular" yang memandang kebutuhan primer manusia semata-mata dilihat dari sudut kebutuhan biologis, sehinga kebutuhan terhadap agama tidak termasuk kebutuhan primer. Masuknya unsur agama menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia mencerminkan bahwa dari mulai perumusan paradigmatik, fiqh harus menerima paket ilahiyah. Agama sebagai suatu kebutuhan harus diterima secara apa adanya. Dalam konteks ini fiqh memang bersifat paternalistik, seolah-olah memandang manusia belum dewasa sepenuhnya sehingga hares dipaksakan untuk menerima agama sebagai kebutuhan, terlepas dari apakah manusia itu benar-benar merasa butuh atau tidak.

Secara singkat dapat dirumuskan, paradigma fiqh sosial di dasarkan atas keyakinan bahwa fiqh harus dibaca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan manusia yaitu kebutuhan dlaruriyah (primer), kebutuhan hajjiyah (sekunder) dan kebutuhan tahsiniyah (tersier). Fiqh sosial bukan sekedar sebagai alat untuk melihat setiap peristiwa dari kacamata hitam putih sebagaimana cara pandang fiqh yang lazim kita temukan, tetapi fiqh sosial juga menjadikan fiqh sebagai paradigma pemaknaan sosial.

Seperti hasil yang telah dirumuskan dari serangkaian halaqah NU bekerja sama dengan RMI (Rabith Ma'had Islamiyah) dan P3M, fiqh sosi