Opini

Fondasi Integritas NU Ada Sejak 1939, Kita Tinggal Menghidupkannya

Sen, 25 Juli 2022 | 12:45 WIB

Fondasi Integritas NU Ada Sejak 1939, Kita Tinggal Menghidupkannya

Bagi NU, sebagai salah satu ormas terbesar di Indonesia, persoalan integritas sudah menjadi perhatian sejak lama, yaitu sejak tahun 1939.

Membangun karakter bangsa dapat dimulai dari membentuk karakter masyarakat dan individu warganya. Dalam hal ini, peran keluarga sangat vital.


Membangun relasi yang menumbuhkan kasih sayang, memberi pendidikan budi pekerti yang baik, dan menanamkan pandangan sosial yang inklusif dalam lingkup keluarga akan berkontribusi pada pembangunan karakter bangsa secara tidak langsung.


Ormas seperti NU atau Muhammadiyah memiliki jangkauan hingga lembaga keluarga. Hubungan emosional dalam ikatan keorganisasian secara kultural dapat dirasakan dalam ruang keluarga.


Jalur yang ditempuh NU dalam hal pendidikan keluarga, misalnya, sampai saat ini sudah benar. Ormas ini secara khusus menjadikan keluarga sebagai sarana untuk mengembangkan generasi melalui Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK) NU. Lembaga ini, sejak periode kepengurusan yang lalu, telah mengembangkan konsep keluarga maslahah dan dilanjutkan sampai sekarang.


Keluarga maslahah adalah keluarga yang dapat memenuhi atau memelihara kebutuhan primer (pokok), baik lahir maupun batin. Terpenuhi atau terpeliharanya kebutuhan lahir bermakna keluarga tersebut terbebas dari lilitan kemiskinan dan penyakit jasmani. Sedangkan terpenuhi atau terpeliharanya kebutuhan batin bermakna keluarga tersebut terbebas dari kemiskinan akidah (iman), rasa takut, stres, dan penyakit-penyakit batin lainnya.


Setelah dari keluarga, pembangunan karakter dapat dikembangkan ke lingkup yang lebih luas: komunitas, lembaga pendidikan, tempat kerja, dan ruang-ruang publik lainnya. Di institusi pemerintahan dan ormas, mutlak diperlukan pengembangan kultur yang menumbuhkan karakter para aparatur dan menguatkan integritas lembaga.


Integritas berasal dari kata bahasa Latin integer yang berarti utuh dan lengkap. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, integritas diartikan sebagai mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran. Dengan kata lain, integritas merupakan praktik dari kejujuran dan kecakapan yang konsisten dengan prinsip, nilai moral, serta etika yang kuat.


Orang yang berintegritas ditandai oleh satunya kata dan perbuatan. Ia yang mempunyai integritas bukan tipe manusia dengan banyak wajah atau penampilan yang disesuaikan dengan motif dan kepentingan pribadi.


Mabadi Khaira Ummah: Pakta Integritas Warga NU

Indonesia termasuk negara yang memiliki ormas dalam jumlah besar. Kementerian Dalam Negeri menyebutkan hingga hari ini Indonesia memiliki 512.997 jumlah ormas. Di dalam ormas lah seseorang menempa diri dan mengembangkan bakat kepemimpinan supaya nanti siap menjadi calon-calon pemimpin di masyarakat.


Bagi NU, sebagai salah satu ormas terbesar di Indonesia, persoalan integritas sebenarnya sudah menjadi perhatian sejak lama. Muktamar ke-14 NU di Magelang tahun 1939 telah menetapkan prinsip-prinsip pengembangan sosial dan ekonomi yang tertuang dalam konsepsi Mabadi Khaira Ummah, yaitu ash-shidqu (benar, tidak berdusta); al-wafa bil ‘ahd (menepati janji); dan at-ta’awun (tolong-menolong). Ini dikenal dengan ‘mabadi khaira ummah ats-tsalasah’ (Trisila Mabadi).


Untuk menyelaraskan diri dengan perkembangan zaman dan kemajuan ekonomi, dalam Munas NU di Lampung 1992 mabadi khaira ummah ats-tsalatsah itu dikembangkan lagi menjadi mabadi khaira ummah al-khamsah (Pancasila Mabadi) dengan menambahkan prinsip ‘adalah (keadilan) dan istiqomah (konsistensi, keteguhan).


Penjelasan tentang mabadi khaira ummah sebagai berikut:

Ash-shidqu. Butir ini mengandung arti kejujuran, kebenaran, atau kesungguhan. Jujur dalam arti satunya kata dengan perbuatan; ucapan dengan pikiran. Apa yang diucapkan sama dengan yang ada di batin. Tidak memutarbalikkan fakta dan memberikan informasi yang menyesatkan; jujur saat berpikir dan bertransaksi. Ash-shidqu juga berarti mau mengakui dan menerima pendapat yang lebih baik.


Al-amanah wal wafa bil ‘ahdi. Butir ini bermakna melaksanakan semua tugas atau kewajiban yang harus dilakukan terutama hal-hal yang sudah dijanjikan. Karena itu, kata tersebut juga diartikan sebagai dapat dipercaya dan setia dan tepat janji, baik bersifat diniyah maupun ijtimaiyah. Semua ini untuk menghindarkan sikap buruk seperti manipulasi dan berkhianat. Al-amanah ini dilandasi kepatuhan dan ketaatan pada Allah.


Al-’adalah. Istilah ini berarti bersikap obyektif, proporsional, dan taat asas. Prinsip al-’adalah menuntut setiap orang menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, jauh dari pengaruh egoisme, emosi, dan kepentingan pribadi. Distorsi semacam itu bisa menjerumuskan orang pada kesalahan dalam bertindak. Dengan sikap adil, proporsional, serta objektif, relasi sosial dan transaksi ekonomi akan berjalan lancar saling menguntungkan.


At-ta’awun. Tolong-menolong merupakan sendi utama dalam kehidupan bermasyarakat. Manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan pihak lain. Ta’awun berarti bersikap setia kawan serta bergotong royong dalam kebaikan dan takwa. Ta’awun juga mempunyai dimensi timbal balik, yaitu memberi dan menerima. Karena itu sikap ta’awun mendorong orang untuk bersikap kreatif agar memiliki sesuatu untuk disumbangkan kepada yang lain untuk kepentingan bersama, yang juga berarti langkah untuk mengonsolidasi masyarakat.  


Istiqamah. Butir ini bermakna tetap teguh dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, tuntunan para salafus shalihin, aturan main, serta rencana yang sudah disepakati bersama. Ini juga berarti kesinambungan dan keterkaitan antara satu periode dengan periode berikutnya, sehingga kesemuanya merupakan kesatuan yang saling menopang seperti sebuah bangunan. Makna berikutnya: berkelanjutan dalam proses maju yang tidak kenal henti untuk mencapai tujuan.


Kelima fondasi tersebut perlu senantiasa dihidupkan kapanpun dan di manapun, dari tingkat pusat hingga tingkat ranting, bahkan keluarga. Nilai-nilai tersebut sekaligus dapat kita jadikan landasan untuk saling mengingatkan satu sama lain, memberikan saran, kritik, dan masukan agar marwah organisasi NU dapat terjaga dengan baik.


Suraji, Manajer Program Yayasan Bani KH Abdurrahman Wahid