Opini

Full Day Sarungan, Simbol Perlawanan Kaum Pesantren

Kam, 17 Agustus 2017 | 09:02 WIB

Full Day Sarungan, Simbol Perlawanan Kaum Pesantren

Ilustrasi (foto: Romzi Ahmad)

Oleh Sulthan Fatoni

Beberapa hari belakangan muncul plesetan FDS menjadi “full day sarungan” dari Pondok Pesantren Lirboyo. Sepertinya “full day sarugan” sengaja digulirkan ke media sosial sebagai antitesa full day school yang digulirkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendi. Full Day Sarungan sebagai gambaran proses pembelajaran keislaman di teras surau, mushala, masjid, bangunan madrasah diniyah yang mulai digerakkan secara sistematis dan masif oleh Nahdlatul Ulama sejak tahun 1929 saat Muktamar di Semarang.

Institusi pendidikan keislaman tersebut digerakkan dengan dana masyarakat, bukan dana dari kolonial Belanda. Di teras surau, mushola, masjid, bangunan madrasah diniyah itulah yang sejak dini menanamkan nilai dan norma keislaman sehingga secara alami muncul kesadaran hidup yang berpengetahuan, kasih sayang dan ekspresi perilaku baik. Sehingga saat ini muslim Indonesia mempunyai kemampuan merespons situasi sosial budaya—meminjam istilah Thomas Lickona (2013)—secara bermoral.

Tradisi ratusan tahun tersebut tiba-tiba akan dibongkar sejak pertengahan 2016 lalu oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendi melalui wacana full day school. Penolakan masyarakat cukup luas saat itu hingga gagasan full day school redup ditelan waktu. Namun gagasan itu muncul kembali di pertengahan 2017 sudah dalam bentuk Permendikbud No 23/2017.

Tentu saja masyarakat kembali bereaksi keras karena beberapa hal, pertama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meninggalkan dialog dengan kelompok-kelompok civil society pelaku pendidikan di tanah air. Di era reformasi yang bercirikan demokrasi dan penghormatan terhadap pendapat civil society ini, dialog adalah ruh kehidupan. Kedua, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meninggalkan tradisi sosialisasi gagasan arah pendidikan nasional sebelum mengeluarkan Permendikbud.

Di antara kelompok yang menolak Permendikbud No.23/2017 adalah para kiai pondok pesantren melalui Nahdlatul Ulama. Para kiai Nahdlatul Ulama sangat terpukul dengan keputusan pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbut) No. 23/2017 yang didalamnya mengatur tentang delapan jam sekolah. Artinya, anak usia sekolah tidak mempunyai lagi waktu di sore hari untuk belajar dan praktik keislaman. Bahkan tidak hanya sore hari, waktu malam pun terdampak dan sulit dimanfaatkan untuk belajar teori dan praktik keislaman kepada ustadz dan kiai.

Suara kencang para kiai setidaknya berangkat dari beberapa kegelisahan, pertama, Permendikbud No.23/2017 pada praktiknya menghilangkan waktu belajar agama Islam bagi pelajar yang biasanya berlangsung sejak siang hingga malam hari.

Kedua, Permendikbud No.23/2017 menggiring pelajar dan santri untuk belajar agama Islam kepada guru agama di sekolah yang tidak berkualitas baik.  Beberapa hari lalu saat kunjungan ke Kabupaten Jember, Presiden Jokowi telah menegaskan bahwa tidak ada keharusan sekolah menerapkan full day school. Ketegasan statemen Presiden Jokowi tersebut merupakan indikasi Permendikbud dicabut dan Perppres yang direncanakan pun urung disahkan.

Perlu memahami Nahdlatul Ulama yang tanpa kompromi menolak full day school. Nahdlatul Ulama itu sejatinya perkumpulan para kiai dan pengikutnya. Berarti kebijakan full day school ini telah menyentuh dua kelompok penting negeri ini, yaitu kaum agamawan (kiai) dan masyarakat pesantren (santri-kiai).  Para kiai meyakini bahwa full day school itu tidak tepat dan jika dipaksakan akan mematikan karakter keislaman Muslim Indonesia dan menimbulkan dua kelompok Islam non mainstream sumber kegaduhan beragama dan radikalisme beragama. Istilah kekinian disebut “sekularisasi”. KH Hasyim Asyari pada 1912 telah merilis hasil penelitian beliau tentang hal ini. Sedangkan masyarakat pesantren secara otomatis terganggu oleh full day school karena dalam praktiknya telah mengganggu interaksi harmonis dan kontinyu antara kiai dan santri.

Makna penolakan NU terhadap full day school berarti wujud suara aspirasi masyarakat pesantren yang telah terancam ketergantungan positifnya terhadap kiai. Padahal relasi kiai-santri telah terbukti memberikan kontribusi besar terhadap bangunan karakter masyarakat Indonesia yang religius. Gerakan sistematis pemisahan santri-kiai melalui Permendikbud No.23/2017 ini akhirnya melahirkan perlawanan kolektif  untuk mencapai tujuan bersama (Johnson dan Johnson, 1987), yaitu mencabut peraturan tersebut demi kesinambungan pembangunan karakter keagamaan masyarakat Indonesia.

Kemunculan Permendikbud No.23/2017 saat ini yang ditolak keras Nahdlatul Ulama juga pernah terjadi pada 1927 yang lalu dimana saat itu Nahdlatul Ulama memutuskan untuk melakukan perang kebudayaan saat identitas kolonial Belanda mulai berdampak negatif bagi masyarakat Indonesia. Perang Kebudayaan ini untuk menolak perkataan Snouck Hurgronje dalam Nederland en de Islam yang mulai nyata, yaitu bidang pendidikan dapat menggeser seorang Muslim dari genggaman Islam. Kasus serupa terulang kembali saat kolonial Belanda memberikan subsidi sekolah. Karena tercium tendensi merusak identitas keagamaan masyarakat Nusantara, pada Muktamar NU 1939 di Magelang para kiai minta agar kolonial Belanda mencabut subsidi sekolah tersebut.

Melalui Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, NU telah mengeluarkan surat instruksi agar masyarakat muslim Indonesia menolak keputusan pemerintah yang menerapkan full day school. Melalui surat tersebut Nahdlatul Ulama menunjukkan bahwa saat ini adalah puncak kemarahan Muslim Indonesia. Surat tersebut sekaligus upaya Nahdlatul Ulama untuk melakukan kendali dan kontrol agar tidak terjadi benturan sosial di tengah masyarakat. Saat ini secara struktural—dari ibukota hingga desa—Nahdlatul Ulama mengambil tanggung jawab atas gerakan penolakan full day school yang dilakukan umat Islam.

Bangsa ini tentu tidak ingin mengalami kehilangan identitas keagamaannya dan terserap ke dalam struktur sosial kelompok kecil lainnya yang sekuler. Memaksakan kebijakan yang buruk tidak akan melahirkan kebaikan masyarakat justru sebaliknya menggiring masyarakat agar membelah diri menjadi beberapa unit sosial yang terpisah-pisah. Disintegrasi sosial yang mulai menggiring Nahdlatul Ulama ini bisa makin parah jika pemerintah kehilangan alat ikat yang mampu mempersatukan Nahdlatul Ulama dengan yang lain.

Pasca surat instruksi Nahdlatul Ulama tentang penolakan full day school idealnya pemerintah menyadari bahwa sebuah kebijakan harus melalui kajian mendalam. Diantara parameter yang diuji adalah pemastian bahwa kebijakan tersebut tidak merombak identitas sosial masyarakat Indonesia yang religius.


Penulis adalah Ketua pengurus Besar Nahdlatul Ulama