Opini

Generasi Muda dan Jalan Terjal Pemilu 2019

NU Online  ·  Jumat, 12 April 2019 | 11:00 WIB

Oleh Sabolah Al Kalamby

Bangun pagi, selesai shalat shubuh layaknya generasi milenial muslim lainnya yang akrab dengan media sosial, tanpa terencana karena sudah hampir menjadi rutinitas, saya selalu membuka handphone (HP) dan melihat media sosial (medsos).

Sepagi itulah saya, mungkin khalayak dan generasi lainnya juga mendapatkan suguhan yang sama tentang pemberitaan, broadcast, kiriman dari grup Whatsapp (WA), Facebook (FB), Twitter dan lain-lain yang berisi tentang keriuhan jelang pesta demokrasi pada 17 April 2019 mendatang.

Boleh dicek dan boleh juga dihiraukan, hampir semua pemberitaan dan informasi di medsos selalu ada kaitan dan dikait-kaitkan dengan pemilu mendatang. Tidak hanya dari kalangan politisi yang memang sudah menjadi profesi dan merupakan dunia mereka membicarakan tentang itu, tapi juga kalangan akademisi, konglomerat, pengusaha, mahasiswa, buruh, dan bahkan sampai ke dapur ibu rumah tangga, Pemilu ini menjadi topik hangat tiap harinya untuk dibicarakan.

Apa menariknya dan apa sesungguhnya yang terjadi?. Sesekali saya bergumam sendiri menerka-nerka jawaban dalam hati. Satu-satunya pilihan kata yang saya jadikan jawaban tepat, minimal untuk saya sendiri, adalah karena tujuannya untuk masyarakat dan masa depan bangsa kedepan, termasuk generasi muda di dalamnya.

Jalan terjal dan berliku dalam Pemilu 2019 adalah pilihan diksi yang tepat dalam benak saya untuk mengilustrasikan keadaan yang saya lihat akhir-akhir ini. Betapa tidak, sejak penetapan Calon Presiden dan Wakil Presiden pada September 2018 lalu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), kita secara sadar mulai  masuk jalanan ini. Sampai hari ini kita sudah menempuh jalan tersebut cukup panjang, jauh dan hampir sampai di penghujungnya.

Maaf saja, ketika saya menengok ke belakang ternyata baru sadar jalanan ini cukup terjal, berliku dan berbahaya. Saya merasa penting berhenti sejenak dan harus menuliskan ini untuk memberitahu dan memberikan informasi nantinya bagi orang-orang yang belum kesini, mereka mesti tahu betapa berbahayanya jalanan yang saya dan kita semua tempuh ini jika tidak dicarikan solusi.

Tapi jangan khawatir, saya tidak dalam rangka menakut-nakuti. Biasanya senekat-nekatnya orang menempuh jalanan yang berbahaya pasti karena mengejar sesuatu yang besar, berharga dan berhubungan dengan masa depan banyak orang, minimal bagi dirinya sendiri. Hingga wajar sesuram apapun medannya, itu harus ditempuh.

Namun pertanyaan selanjutnya, sebenarnya adakah jalan lain menuju tujuan yang besar itu?. Menurut saya ada, dengan catatan kita semua mau membangun kesepakatan, saling mengerti, menghormati dan menghargai satu dengan yang lainnya selama dalam perjalanan. 

Oleh karena kita mengejar sesuatu yang sama dengan banyak orang, maka otomatis akan timbul persaingan. Jalan berliku yang harusnya normal dan bisa kita lewati dengan santai, akan menjadi berbahaya kalau kita berebut dan bersaing dengan orang lain yang tujuannya sama dengan kita, menuju titik tertentu.

Saling mengerti, menghargai, menghormati dan saling menjaga untuk tujuan bersama lagi-lagi adalah kunci. Melewati medan ini pertama kali tentu rasa khawatir dan cemas pasti datang, dengan cobaan yang bermacam-macam dalam tiap jarak tempuhnya.

Jalan yang kita tempuh ini sangat baru karena kali pertama Pemilihan Presiden dibarengi dengan Pemilihan Legislatif (DPR RI, DPD RI dan DPRD). Untuk pertama kalinya pula negara mengeluarkan anggaran yang besar dalam sejarah Pemilu Indonesia kurang lebih mencapai 25 triliun rupiah.

Sejak September tahun lalu, baru kita sadar (semoga bukan hanya saya) ternyata betapa berliku dan berbahayanya medan yang sudah kita tempuh ini. Berbagai tantangan terus datang menghadang perjalanan kita. Isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) dan maraknya berita hoaks menjadi lubang yang terpapar di sepanjang jalan yang kita sedang lalui ini. Jika kaki salah melangkah, maka kita akan terjatuh dan bahkan menjadi lumpuh.

Beberapa hari ke depan kita akan sampai di penghujung jalan tersebut, tepatnya 17 April 2019. Sebagai orang yang sama-sama baru menempuh jalanan ini, masing-masing kita tentu menerka berdasar pengetahuan sendiri tentang kondisi jalanan yang tersisa di depan. Apakah lebih terjal dan berliku ataukah lebih baik dari jalan yang sudah kita lewati.

Semoga saja jalanannya lebih mulus dan baik agar sesampainya di tujuan, semua merasa puas dan senang. Tidak ada yang merasa capek berlebihan, kehausan sendiri, apalagi merasa dicurangi saat berada di dalam perjalanan.

Kehadiran Presiden dan wakil rakyat yang mampu membawa kesejahteraan bagi rakyat adalah dambaan kita semua. Karenanya kita harus secara sukacita melewati rute ini. Semua orang tentu merasa sudah bersusah payah sampai sejauh ini untuk mengejar tujuan itu, karenanya kita semua harus sampai.

Seberat apapun kondisi jalanan yang akan kita tempuh ke depannya, kita harus pastikan semua orang senang sesampai ditujuan. Insyaallah kita yang hari ini berjuang di jalan yang berliku ini dengan profesi dan keahlian masing-masing, pasti akan mendapatkan balasan hasilnya sendiri, “Wamanjaahada fa’innamaa yujaahidulinafsihi”. Aku masih yakin dan percaya akan hal itu.  

Lanjut ke perjalanan, sisa perjalanan yang tidak terbayang kondisinya di depan, harus kita siapkan diri untuk menghadapinya. Minimal kita membayangkan kondisi di depan sama dengan jalanan sebelumnya. Sisa beberapa hari pemilu, semua orang harus bisa menahan diri secara baik, menahan emosi berlebihan, menahan amarah yang menumpuk, saling menjaga, menghormati, menghargai antar sesama, serta bertutur kata yang baik dalam bentuk dan kondisi apapun. Sebab, tujuan bersama ini adalah kebaikan, harusnya kita dapatkan dengan cara-cara yang baik pula.

Apa yang sudah lewat harus jadi pelajaran di sisa perjalanan berikutnya. Anggaran yang besar dari negara untuk pesta ini, tidak boleh disia-siakan. Karenanya kita semua harus berkomitmen menyukseskan bersama Pemilu mendatang agar mandat uang rakyat, yang kita berikan kepada negara untuk dikelola tersebut tidak cuma-cuma, tapi mendatangkan kemaslahatan bagi kita semua.

Lubang lain di jalanan yang sudah lewat adalah tentang media sosial (medsos) menjadi media saling hujat, menyebarkan hoaks, fitnah, dan caci maki antar sesama anak bangsa. Bahkan ekstremnya, medsos membuat tali silaturrahim menjadi putus hanya karena perbedaan pilihan. Inilah fakta jalan berlubang yang sudah kita tempuh.

Isu agama dan kelompok adalah situasi ekstrem lainnya yang kita temukan dalam tikungan yang berbeda yang juga sangat berbahaya bila kita temukan di sisa perjalan kedepan. Semakin dekat dengan tujuan maka orang akan makin kejar-kejaran secara cepat dengan berbagai cara untuk menuju kemenangan. Karena kita sudah sadar telah melewati jalanan panjang dan berbahaya tersebut, tinggal kita saling jaga untuk sampai pada tujuan secara bersama dengan meminimalisir apa yang telah kita temukan di sepanjang jalan yang sudah lewat.

Dalam perspektif dunia pendidikan, situasi kompetisi yang tidak sehat sama sekali tidak bernilai mendidik generasi penerus yang ke depan akan menuju tujuan yang sama seperti ini, bahkan dengan kemungkinan tantangan perjalanan yang berbeda, bisa lebih terjal ataukah lebih mudah dari yang sudah berlalu.

Sebagai orang yang telah melewati itu dan tahu bahayanya di mana, sudah selayaknya kita memperhatikan generasi selanjutnya termasuk kami yang masih muda. Buatkan kami jalanan yang baik, atau minimal berikan contoh dan cara yang baik dalam melewati jalan ini. Sehingga generasi muda sebagai penerus estafet kepemimpinan bangsa tidak melewati kembali jalanan yang terjal dan berbahaya seperti yang sudah dilewati akhir-akhir ini.

Generiasi muda hari ini juga harus cerdas memilah dan memilih informasi, tutur kata dan sikap secara baik, mengingat di jalanan ini semua serba sensitif. Generasi muda yang masih belajar harus mulai belajar dan boleh belajar memberi contoh. Imam Syafii mengatakan “Sungguh pemuda itu distandarisasi dari kualitas ilmu dan ketakwaannya. Jika keduanya tidak melekat pada struktur kepribadiannya, ia tidak layak disebut pemuda”. Pemuda hari ini adalah pemimpin di masa depan “Syubbanul yaum rijalul ghod”.

Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita bahwa pemuda adalah aset utama bangsa, pelanjut dan penerus estafet kepemimpinan. Menurut ahli kepribadian, usia itulah (15-30 tahun) yang menentukan arah dan pertumbuham kehidupan seseorang, karenanya kami generasi muda merasa penting menjadi alasan kebaikan orang-orang tua hari ini.

Seperti sabda Rasulullah SAW yang artinya , “Aku wasiat-amanatkan kepadamu terhadap pemuda-pemuda (angkatan muda) supaya bersikap baik terhadap mereka. Sesungguhnya hati dan jiwa mereka sangat halus. Maka sesungguhnya Tuhan mengutus aku membawa berita gembira, dan membawa peringatan...”.

Menurut beberapa buku dan literatur, generasi milenial mencapai angka kurang lebih 40% di Indonesia dari total penduduk kita kurang lebih 267 juta. Angka ini besar dan menjadi kabar baik. Sebaliknya kabar buruk jika tidak disiapkan, dikelola dan diberikan contoh yang baik dari sekarang. Allah SWT mengingatkan kepada kita agar tidak meninggalkan generasi yang lemah. Lemah iman, lemah ilmu, lemah akhlak, dan lemah ekonomi,

Walyahsyalladziina lautarakuu min khalfihim zurriyyatan di’aafan khaafuu ‘alaihim falyattaqullaaha wal yaquuluu qaulansadiidan”. Artinya: Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.” (QS: An-Nisa/4:9). 

Ayo sukseskan Pemilu dengan cara-cara yang baik sesuai dengan kemampuan dan profesi masing-masing.

Penulis adalah Sekretaris Jenderal PB PMII