Opini

Goresan-goresan Kaligrafi di MTQ Riau

Jum, 21 Desember 2018 | 00:00 WIB

Oleh Didin Sirojuddin AR
Tulisan dan lukisan kaligrafi di MTQ Provinsi Riau XXXVII (11-18/12/2018) tambah dahsyat saja. Dahsyat dan  memikat. Bukan hanya bikin hati saya senang. Saya malah terseret ke  kenangan tahun 1994. Itulah waktu  diselenggarakannya MTQ Nasional XVI di "Bumi Lancang Kuning" Riau.

Saya ketika itu ditunjuk sebagai salah satu jurinya. Sebelumnya, saya sudah delapan kali bolak-balik Jakarta-Pekanbaru untuk menggembleng delapan khattat (kaligrafer) Riau agar kuat berkompetisi dalam musabaqah akbar tersebut.

Dalam MTQ Nasional 1994, saya bikin dialog kaligrafi yang disisipi dengan deklarasi Lancang Kuning  Agreement  (Kesepakatan Lancang Kuning), yaitu, sepakat meniru Lancang Kuning.

Lancang Kuning adalah kapal layar kebanggaan Kerajaan Melayu Riau. Bila berlayar malam dengan gelombang menerjang, Lancang Kuning harus dikemudikan nakhoda ahli supaya tidak tenggelam.

Deklarasi itu sengaja dibuat sebagai titik tolak semangat  "pengembangan kaligrafi di Indonesia", dari MTQ Nasional 1994 di Bumi Lancang Kuning Riau. Sebab, waktu itu, MKQ (مسابقة خط القرآن) masih dalam tahap belajar, sederhana, sedang mencari bentuk jati dirinya, dan memerlukan "gebrakan". Gebrakannya dimulai dari "semangat menerjang gelombang" sang bahtera Lancang Kuning.

Berikut ini lirik lagu Lancang Kuning Jamal Abdillah agar serasa diayun ke alam mimpi:

Lancang Kuning
Lancang Kuning belayar malam
Belayar malam...

Lancang kuning
Lancang Kuning belayar malam
Hai belayar malam...

Haluan menuju
Haluan menuju ke laut dalam
Haluan menuju

Kalau nakhoda
Kalau nakhoda kuranglah paham
Hai kuranglah paham...

Kalau nakhoda
Kalau nakhoda kuranglah paham
Hai kuranglah paham...

Alamatlah kapal
Alamatlah kapal akan tenggelam
Alamatlah kapal
Alamatlah kapal akan tenggelam...

Lancang Kuning belayar malam... (2x)

Lancang Kuning
Lancang Kuning menentang badai
Menentang badai...

Lancang Kuning
Lancang Kuning menentang badai
Hai menentang badai...

Seperti serentetan mitraliur yang ditembakkan, semangat "menerjang gelombang" dibawa seluruh peserta MKQ-MTQ Nasional  ke seluruh penjuru Indonesia. Sejak 1994 itu, Kaligrafi di Indonesia tidak lagi hanya keterampilan, apalagi skill zonder ilmu. Para khattat mengembangkannya ke pemikiran. Maka, jadilah  kaligrafi benar-benar seni (الخط فن), kaligrafi benar-benar ilmu (الخط علم), kaligrafi benar-benar filsafat (الخط فلسفة).

Para peserta musabaqah tambah menguasai (dengan tingkat kehalusan menggores) ragam khat Naskhi, Tsulus, Farisi, Diwani, Diwani Jali, Kufi, dan Riq'ah dengan rincian lekak-lekuknya. Unsur seni rupanya juga show bizarre warna-warna yang semakin sensasional.

Inisiatif berkreasi penuh inovatifnya disokong terus oleh kehadiran gaya-gaya kaligrafi kontemporer (tradisional, simbolik, figural, ekspresionis, dan abstrak) yang, aduhaaai, menambah greget saja dalam berkarya.

Persaingan yang  bertambah ketat, berekses ke kompetisi yang semakin keras. Berbeda dengan karya-karya sebelum 1994 yang kalem bin adem, pasca-1994 semuanya jadi karya-karya perjuangan yang lebih liar.


Saya lihat para peserta lomba berdatangan di arena musabaqah  dengan tampang-tampang pejuang seperti Yulius Caesar datang di kota Roma dengan teriakan "vini, vidi, vici" ("aku datang, aku lihat, aku menang") dan seperti datang untuk menyimak wejangan amir al-syu'ara (raja penyair) Ahmad Syauqi:

قف دون رأيك فى الحياة مجاهدا • إن الحياة عقيدة وجهاد

Artinya, "Perjuangkanlah pendapatmu sekuat tenaga dalam mengarungi hidup • Sesungguhnya hidup adalah keyakinan dan perjuangan."

Teringat, di tahun 1994, saya melatih beberapa kader Riau:  Muktamar, Ali Muhsin, Nana Natsiruddin, Abdul Lathif, Syamsul Rizal, Umi Kalsum,  Siti Rahayu, dan Yelia Erawati. Kini, 24 tahun kemudian, mereka sudah jadi tokoh dan pembina kaligrafi di Riau.

Hari ini di tahun 2018, Riau memiliki lebih 200 khattat/kaligrafer profesional, mayoritas alumni Pesantren Kaligrafi Alquran Lemka, Sukabumi. Uniknya, santri Lemka pertama berasal dari Riau. Dari Riau pula jumlah santri terbanyak saban tahun. Ini mengundang dan menggoda santri dari 30 lebih provinsi lainnya, meneladani Riau.

Di mana-mana anak muda menulis dan melukis kaligrafi. Gelombang air laut dan badai mengamuk tambah menjadi-jadi. Hebatnya, bahtera Lancang Kuning malah berlayar tambah kencang. Teruuuslah melaju tambah kencang.


*) Penulis adalah pengasuh Lembaga Kaligrafi (Lemka) yang juga pengajar pada Fak. Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah.