Opini

Gus Dur dan Pluralisme Agama

NU Online  ·  Rabu, 7 Februari 2018 | 15:00 WIB

Oleh: Ahmad Naufa Khoirul Faizun

Bersama teman-teman Gusdurian Purworejo, Senin (5/2) kemarin saya menghadiri puncak peringatan sewindu haul Gus Dur di Universitas Sanata Dharma (USD), Yogyakarta. Disebut puncak karena semenjak awal Januari lalu lalu ada 4 negara, 66 kota dan 99 titik peringatan dengan beragam kegiatan keagamaan maupun kebudayaan. Dan yang di kampus USD ini, adalah puncaknya.

Ada beberapa hal menarik di acara itu. Pertama, adalah peringatannya yang tak monoton atau melulu tahlilan dan pengajian. Sebagaimana kita ketahui bersama, tradisi haul merupakan tradisi-keagamaan NU untuk memperingati jasa, peran dan keteladanan tokoh tertentu. Haul biasanya diadakan setahun sekali, dengan pembacaan doa (tahlilan, yasinan) dan pengajian umum. Namun, agak berbeda untuk haul Gus Dur, sang Guru Bangsa.

Dan haul Gus Dur kali ini sedikit berbeda, tak hanya tahlil kebangsan dan pengajian seperti pada haul-haul pada umumnya. Ada pentas kesenian, bernyanyi, stand up comedy, doa lintas agama, pameran foto dan lukisan.  Di Purworejo sendiri, beberapa waktu lalu, selain dengan doa, peringatan sewindu Gus Dur diadakan dengan pameran lukisan, pentas musik akustik, pembacaan puisi dan talkshow kebangsaan yang membedah sosok Gus Dur. Ini tak lepas dari sosok Gus Dur yang juga dianggap sebagai budayawan.

Kedua, adalah tempat penyelenggaraan. Tempat penyelenggaraan puncak acara haul Gus Dur bertajuk “Ziarah Budaya: Menjadi Gus Dur, Menjadi Indonesia” ini pun  sangat unik dan diluar kebiasaan: Universitas Sanata Dharma, sebuah kampus yang dikenal milik “Yayasan Katholik”. Ini menunjukkan, betapa Islam yang diterjemahkan Gus Dur dapat diterima oleh agama lain, tanpa saling mencampuradukkan. 

Tak heran jika USD menerima teman-teman Gusdurian yang menginisiasi acara, oleh karena di USD pun toleransi berkembang cukup baik. Misalnya, yang saya lihat dan gunakan sendiri, adalah adanya mushalla di sana. Meskipun kecil, namun adanya mushala di “Kampus Khatolik” ini adalah bukti nyata toleransi telah mengakar kuat di Indonesia.

Ketiga, adanya kolaborasi pemuda-pemudi Paduan Suara GKI Gejayan dengan Seni Hadrah para santri yang menampilkan Syi’ir Tanpo Waton. Betapa, dua hal yang selama ini dianggap kontras, bisa bersatu mendendangkan syair dengan apik dan kompak. Ini membuktikan bahwa perbedaan bukanlah hal yang melemahkan, justru perbedaanlah yang dapat menjadi kekuatan dan bahkan keindahan, jika disatukan dalam konteks kebangsaan.

Ketiga hal itu, saya kira, cukup mewakili sedikit dari nilai-nilai yang telah Gus Dur ajarkan. Perbedaan tak menjadikan satu sama lain bertengkar dan menebar kebencian. Toleransi yang Gus Dur ajarkan adalah nilai-nilai s yang menempatkan agama sebagai pilihan dan pegangan hidup, sekaligus paham universalita yang dapat membela kemanusian yang Nabi Muhammad ajarkan, yaitu mengayomi dan mengasihi semua umat manusia, apapun suku dan agamanya. Dalam term lain disebut sebagai rahmatan lil alamin.

Pluralisme Ala Gus Dur
Mengapa umat non-muslim di Indonesia begitu terbuka dengan umat Islam? Salah satu sebabnya, menurut saya, adalah peran dari Gus Dur. Sebagai seorang tokoh pluralisme, Gus Dur banyak bergaul dengan berbagai tokoh lintas agama, budaya, aktivis, etnis dan golongan. Dalam terminologi politik, Gus Dur mengakrabi dari yang paling kiri sampai paling kanan. Wajarlah kalau tindak-tanduknya sering disalah artikan, seperti soal Pluralisme, misalnya. Banyak yang gagal-faham.

Dalam puncak acara malam itu, Prof Mahfud MD yang di daulat sebagai pembicara menyampaikan pluralisme Gus Dur. Soal pluralisme, kata Mahfud, diibaratkan Gus Dur sebagai tinggal di rumah besar yang memiliki banyak kamar.

Gus Dur mengibaratkan setiap kamar dihuni oleh pemeluk masing-masing agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia. Di kamar itu, tutur Mahfud, setiap orang bebas bertindak sesuai aturan kamar masing-masing. Namun, begitu keluar dari kamar dan berkumpul di ruang keluarga, semua harus tunduk pada kesepakatan bersama.

“Indonesia adalah ruang besar itu, yang telah dibentuk oleh pendahulu bangsa dengan kebesaran hati. Indonesia tidak bisa diubah tata kehidupannya dengan aturan dari satu kamar saja. Ada kamar Islam, kamar Hindu, kamar Katolik, kamar Kejawen, biarkan saja. Tetapi ketika kita ketemu di lapangan perjuangan, politik, kenegaraan bernama Indonesia, kita harus bersama. Itulah yang disebut Gus Dur sebagai pluralisme,” kata Mahfud, disambut tepuk tangan hadirin.

Kita bisa menangkap, bahwa dalam hal doktrin dan internal umat bergama, kita meyakini dan mengamalkan ajaran agama masing-masing. Namun, begitu keluar dalam bingkai Indonesia dengan beraneka warna, suku, budaya dan agama, kita mesti saling menghargai dan mendekatkan persamaan-persamaan yang ada. Misalnya, persamaan bahwa semua agama mengutuk korupsi, mencintai lingkungan hidup, menolak kekerasan dll. Ruang keluarga dalam gambaran Gus Dur itu, adalah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Demikianlah, banyak sekali warisan Gus Dur yang ditinggalkan kepada kita semua, khususnya para generasi muda.  Baik perupa tulisan, ucapan maupun perilaku yang kian hari kian dibutuhkan ditengah maraknya intoleransi dan ujaran kebencian. Upaya Mbak Alissa Wahid dengan Gusduriannya untuk terus menebar paham keberislaman yang diajarkan Gus Dur layak diacungi jempol. Jika virus itu menular pada generasi muda, persatuan dan kerukunan di Indonesia tentu takkan menjadi masalah lagi. Di masa depan, Indonesia siap memetik bonus demografi dengan karya dan pembangunan yang kongkret untuk membangun negeri.


Jurnalis NU Online.