Opini

Gus Dur Manusia “Setengah Dewa”: Kenangan Kecil Alumnus PRD

Sel, 27 Desember 2022 | 13:30 WIB

Gus Dur Manusia “Setengah Dewa”: Kenangan Kecil Alumnus PRD

Wilson (duduk paling kiri) dan anggota Tim Relawan Kemanusiaan (TRK) bertemu dengan Gus Dur di kediamannya di Ciganjur, Jakarta Selatan, awal 1999. TRK diinisiasi oleh Gus Dur dan Sandyawan Sumardi untuk membantu para korban penculikan aparat di akhir era Orde Baru. (Foto: NU Online/Dok. Pribadi)

Sewaktu muda di tahun 1990-an, saya beruntung diajak Marsilam Simanjuntak untuk menghadiri diskusi Forum Demokrasi (Fordem) di Gondangdia yang juga kantor Gugus Riset Untuk Perubahan (GRUP). Berapa anak muda lain yang hadir di antaranya Rachland Nashidik dari Yayasan Pijar, Deni Ahmad Salman, dan Rocky Gerung.


Di Gondangdia itulah saya pertama kali melihat Gus Dur secara langsung. Saya merasa seperti fans ketemu idola, seorang manusia “setengah dewa”.


Perubahan suasana terjadi saat Gus Dur masuk. Suasana serius membicarakan politik langsung menjadi cair. Setelah Gus Dur datang, biasanya makan malam dimulai sebelum diskusi. Sering kali menu makan malam kami adalah bakmi terkenal yang dibeli di sekitar Pasar Senen. Gus Dur mengambil piring dan bakmi, lalu mulai makan dengan lahap.


Rocky Gerung yang berani berkomentar mencandai Gus Dur. "Gus, itu bakmi mungkin dimasak pakai minyak babi. Apa enggak haram, Gus?" 


Sambil terus makan bakmi, Gus Dur menjawab candaan Rocky Gerung, "Babinya sudah disunat, sudah enggak haram lagi." Tawa langsung pecah dalam ruangan kecil di Fordem.


Itulah ucapan dari Gus Dur langsung yang pertama kali saya dengar. Bukan analisis politik serius, tapi candaan manusia “setengah dewa”. Sejak itu, saya mulai akrab dengan sifat humoris Gus Dur. Selanjutnya, diskusi dibuka oleh Marsilam sebagai tuan rumah. Lalu para hadirin memberi berbagai komentar, termasuk Gus Dur.


Dalam diskusi Fordem, Gus Dur tampak paling santai dan sering terlihat seolah-olah tertidur. Namun, dia bisa mendadak terbangun dan memberi pendapat yang tajam tentang topik diskusi. Pendapat Gus Dur selalu saya perhatikan secara serius. Lalu Gus Dur seperti melanjutkan tidurnya.


Kemudian terjadilah peristiwa Kerusuhan 27 juli 1996 yang direkayasa rezim Soeharto. Saya dan kawan-kawan dari Partai Rakyat Demokratik (PRD) dinyatakan sebagai pelaku utama. Aktivis PRD ditangkapi di berbagai kota dan organisasi PRD beserta ormasnya dinyatakan terlarang dengan tuduhan subversif. Mayoritas orang dan kelompok demokrasi tiarap. Jadilah kami seperti sendirian menghadapi kekejaman aparat negara Orde Baru.


Ternyata kami tak sendirian. Selain tim pengacara dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), ada Tim Relawan Kemanusiaan (TRK) yang mengurus kami dan keluarga di penjara. Gus Dur bersama Romo Sandyawan Sumardi yang menjadi inisiatornya. Selama kami ditahan di Kejaksaan Agung dan kemudian di LP Cipinang, TRK yang merawat kami. Moral kami yang ambruk pun perlahan bangkit. Bahkan Gus Dur mengirimkan dua ulama NU, salah satunya KH Said Aqil Siradj, untuk membesuk kami di tahanan Kejaksaan. 


Pertemuan dengan utusan Gus Dur itu sangat membantu untuk mengurangi tuduhan membabi buta kepada kami sebagai gerakan komunis gaya baru. Ibu saya yang paling senang mendengar ada utusan NU membesuk kami di tahanan. 


"Alhamdulillah sudah dikunjungi kiai-kiai NU. Ini bukti bahwa tuduhan kalian komunis itu tidak benar," ujar ibu saya. 


Sejak itu ibu saya menjadi pendukung fanatik Gus Dur. Apalagi ketika Gus Dur memberikan amnesti kepada semua tahanan politik PRD saat menjadi presiden.


“Anak-anak Nakal” NU di PRD

Di era Reformasi, PRD lolos sebagai peserta Pemilu 1999, demikian pula Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan dan dipimpin Gus Dur. Dalam PRD sendiri banyak anak-anak muda NU yang terlibat, baik sebagai anggota maupun pengurus pusat partai. Saat itu, Ketua PRD dijabat oleh Faisol Riza yang berlatar belakang NU dan mantan mahasiswa UGM. Faisol bahkan pernah diculik dan disiksa oleh Tim Mawar Kopassus. Istri saya yang berlatar belakang NU juga menjadi pengurus di PRD. 


Suatu hari, saya dan Faisol Riza mendatangi Gus Dur di Ciganjur. Kedatangan kami untuk memberi kabar PRD ikut Pemilu 1999 juga untuk mengurangi stigmatisasi komunis yang masih sering dilekatkan kepada PRD.


Kami mengantri seperti tamu lainnya. Lalu, seorang ibu, yang mengaku berasal dari Madura, sembari menggendong anaknya yang sakit masuk. Ia meminta Gus Dur memegang kepala bayi untuk disembuhkan. Gus Dur kemudian memanggil Banser untuk segera mengantar mereka ke rumah sakit.


"Kalau anak sakit, seharusnya dibawa ke rumah sakit. Nanti kalau anak itu sembuh, itu karena dirawat di rumah sakit, bukan karena saya," ujar Gus Dur.


Lalu giliran kami dari PRD menghadap. Faisol Reza dari KPP PRD menyerahkan beberapa buku partai.


"PRD ini bercanda, orang buta kaya saya dikasih buku," ujar Gus Dur.


Faisol Riza kemudian mengenalkan kami dan bercerita tentang proses PRD lolos pemilu dan stigmatisasi komunis yang masih sering dialami. Setelah mendengarkan, Gus Dur menjawab tentang PRD.


"NU itu macam-macam. Yang mendukung saya ada banyak, yang anti juga ada. Yang nakal-nakal juga ada seperti anak-anak NU di PRD ini. NU itu ada di mana-mana dan tidak ke mana-mana."


Faisol Riza sendiri akhirnya menjadi keluarga besar Ciganjur karena adiknya, Dhohir Farisi, menikah dengan Yenny Wahid. Sementara Faisol juga aktif di kepengurusan PKB dan sekarang menjadi anggota DPR RI dari Fraksi PKB.


Saat Gus Dur menjadi presiden, dia juga bertemu dengan mantan tapol, sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer. Saat itu, Pramoedya sudah menjadi anggota kehormatan PRD yang diangkat pada Maret 1999 menjelang pemilu. Pramoedya bahkan membuat orasi pelantikan dengan judul "Angkatan Muda".


Di zaman kepresidenan Gus Dur, PRD melakukan aksi nasional di depan Istana meminta Presiden Gus Dur untuk menolak agenda-agenda neoliberalisme dalam kebijakannya. Gus Dur mengundang utusan PRD masuk menemuinya. Inilah untuk pertama kali para pimpinan PRD menginjakkan kaki di Istana.


Saat Presiden Gus Dur digulingkan dari jabatan presiden pada Juli 2001, saya bersama Faisol dan Andi Arief mengikuti aksi menjemput Gus Dur di depan Istana. Lalu kami ikut iringan mobil mengantar Gus Dur ke Bandara Soekarno-Hatta.


Alfatihah buat junjungan kami, Gus Dur.


Wilson, peneliti di Perkumpulan Praxis dan mantan tahanan politik PRD