Opini

Gus Mus dan Fenomena Kiai Era Digital

Jum, 19 Oktober 2018 | 06:20 WIB

Oleh Ahmad Rozali

Setiap Jumat tiba, 1.9 juta follower Gus Mus menungu tweet jumatnya. Biasanya diberi tanda pagar #TweetJumat untuk mempermudah penyebaran dan pencariannya.

Jumat kali ini (19/10), Gus Mus kembali dengan nasihat anjuran untuk menghargai orang lain. Gus Mus menulis “Belajar menghargai orang lain adalah bagian dari ikhtiar menghargai diri sendiri”. Hanya selang tiga jam, kalimat yang diunggah pukul 6.38 Wib itu sudah mendapat respon hampir 5 ribu engagement baik berupa like, retweet, atau komentar dari netizen.

Dua Jumat belakangan juga demikian. Pada Jumat (12/10) lalu misalnya, saat Gus Mus men-twit tentang semangat belajar yang hanya terdiri dari 10 kata, langsung ramai disambut like dan retweet juga ribuan orang. Begitu juga twit Jumat (5/10) sebelumnya tentang bahaya kepentingan duniawi yang kerap membuat orang terlena yang langsung direspon oleh 7 ribu kali lebih. 

Tweet Gus Mus, khusunnya Tweet Jumatnya memang sudah lama menjadi favorit warga dunia digital. Sejak menjadi ‘anggota’ resmi twitter pada November 2010, followernya semakin bertambah. Di twitter, model komunikasi tak hanya searah saja. Gus juga kerap berinteraksi dengan followernya dengan menjawab pertanyaan atau mengomentari pendapat warga dunia digital.

Walau begitu, Gus Mus tak melulu hanya men-tweet kalimat nasihat saja. Beberapa kali, Gus Mus juga menyelingi ‘menu’ dengan hal lain seperti foto keakraban dengan anak-anaknya, atau sekedar unggahan menu makanannya, atau sekedar guyonan kecil ala pesantren. 

Dengan unggahan itu, beliau seolah ingin menunjukkan sisi lain seorang Gus Mus sebagai manusia pada umunya, sebagai seorang ayah yang doyan makan ikan dan doyan guyonan. Dalam sebuah pidato, Gus Mus pernah berkata bahwa, menjadi manusia ‘biasa’ bisa menjaga kita dari sifat melebih-lebihkan dalam berbagai hal. 

Jauh sebelum jadi influencer di media sosial, kiai kelahiran Rembang 10 Agustus 1944 ini adalah seorang kiai dengan segudang pengalaman. Alumni Universitas Al Azhar Kairo, 1964-1970 ini awalnya sangat masyhur dengan puisi-puisi tasawufnya yang dalam seperti 'Bila Kutitipkan', 'Di Basrah', 'Ibu', 'Bagaimana?', dan seterusya. 

Namanya juga telah luas dibicarakan bersama dengan menyebarnya artikel-artikel tulisannya yang sejak muda telah beredar di sejumlah media nasional seperti Kompas, Tempo, Detak, Editor, Forum, Humor,  Media Indonesia, Republika, Suara Merdeka, Wawasan, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Jawa Pos, Bali Pos, Duta masyarakat (Baru), Pelita, Panji Masyarakat, Ulumul Qur’an, Ummat, Amanah, Aula, Mayara. (gusmus.net)

Latar belakang organisasi Pimpinan Pondok Pesantren Roudlatuth Tholibin ini juga terbilang sangat kuat. Sepulang dari Kairo pada tahun 70-an, Gus Mus mulai aktif di PCNU Rembang, lalu menjadi Katib Syuriah PWNU Jawa Tengah pada 1977, Wakil Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah, hingga Rais Syuriyah PBNU (1994, 1999). Puncaknya, Gus Mus menjadi Rais ‘Aam PBNU menggatikan KH Sahal Mahfudz. Namun setelah itu, Gus Mus menolak untuk dicalonkan sebagai Rais ‘Aam pada muktamar NU di Jombang tahun 2015 lalu.

Era digital yang membuka kesempatan setiap orang untuk berinteraksi lebih luas digunakan dengan sempurna oleh Gus Mus. Melalui produk digital, Gus Mus membangun hubungan yang timbal balik antara dirinya dengan jutaan orang dan sekaligus menyampaikan pesan kebaikan. 

Efeknya, nama Gus Mus kini tak lagi dikenal di kalangan Nahdliyin saja, namun lebih luas dikenal oleh banyak kalangan yang semakin merindukan wajah Islam yang teduh yang terpancar dari ajarannya, termasuk dari Tweet Jumat di akun twitternya.

Tentu nama besar Gus Mus memiliki nilai pemberitaan yang juga luas. Istilah ‘Big Name is a Big News’ juga berlaku di sini. Di NU Online sendiri, nama besar Gus Mus melahirkan berita besar pula. Setiap artikel tentang Gus Mus, apalagi yang ditulis dengan judul mengandung kata ‘Gus Mus’ atau ‘KH Mustofa Bisri’ akan dilahap hingga puluhan ribu dalam hitungan jam mengalahkan artikel lainnya. 

Tak berlebihan jika Gus Mus disebut sebagai sebuah fenomena ‘Kiai Jaman Now’ yang mampu eksis, baik sebagai seorang kiai simbol sebuah pondok pesantren dan sekaligus hadir dan diterima dengan begitu luas di jagad media sosial.

Walaupun tak begitu banyak kiai yang memiliki ‘fenomena’ demikian, tapi Gus Mus juga tak sendirian. Di Jogjakarta ada Kiai Ahmad Muwafiq atau yang biasa dipaggil Gus Muwafiq yang juga punya daya tarik tersendiri di media sosial. Bedanya, Gus Muwafiq lebih banyak muncul dengan video pendek dan ceramah panjang di Channel Youtube dari pada rangkaian kata kalimat di sosial media. Menantu Gus Mus sendiri, Mas Ulil Abshar Abdalla juga aktif di jagad dunia digital melalui rutintas pengajian ihya’ ‘ulumuddin yang disebarluaskan melalui aku facebooknya.

Sejauh ini, fenomena Gus Mus juga telah menular pada sejumlah kalangan kiai muda dan para santri. Gerakan digital komunitas kiai muda dan santri milenial kini sudah mulai ramai bisa kita temukan di sosial media dan channel YouTube. Sejumlah kegiatan baik lomba maupun pelatihan untuk mengingkatkan arus dakwah digital ini sangat cukup banyak bisa ditemukan.

Jika dihitung barangkali sejak tiga tahun terakhir gerakan digital sudah mewabah di kalangan kaum sarungan. Sepertinya sebagian dari kalangan sarungan sudah menyadarai betapa pentingnya melakukan dakwah baik di dunia nyata dan di dunia yang sering kita sebut ‘maya’. 

Penulis adalah Redaktur NU Online