Opini

Gus Yahya Membela Palestina

Rab, 13 Juni 2018 | 12:30 WIB

Gus Yahya Membela Palestina

Ilustrasi (© Reuters)

Oleh M. Imdadun Rahmat

Kehadiran KH Yahya Tsaquf di Israel menuai kontroversi. Bagi kalangan yang pro, apa yang dilakukan kiai yang akrab dipanggil Gus Yahya sebagai bentuk upaya membela Palestina. Kunjungan itu dipandang hal yang biasa saja sebagai upaya membangun, mendorong dan memperkuat prosessolusi perdamaian Palestina-Israel. Topiknya pun aktual “Pergeseran dari Konflik ke Kerja Sama”. Sebab, perkembangan mutakhir hubungan Palestina-Israel sedang meruncing akibat Yerussalem Timur dianeksasi Israel secara sepihak untuk dijadikan ibukota. Korban berjatuhan di pihak Palestina. 

Tapi bagi  yang kontra, kehadirannya dinilai sebagai pengakuan terhadap eksistensi Israel. Yahya dituduh menyalahi posisi Indonesia yang mendukung Palestina. Di media social ia dihujat sebagai pendukung Zionisme, boneka AS dan Israel, penghianat terhadap Palestina, bahkan dianggap musuh Islam.  

Dalam menilai yang sedang diakukan Gus Yahya, melihat rekam jejaknya sangatlah membantu kita lebih objektif. Di NU, Gus Yahya dikenal sebagai salah satu jubir penting NU di luar negeri. Ia mendapatkan mandate khusus dari PBNU sejak Gus Yahya menjabat sebagai wakil katib tahun 2010. Sejak itu Gus Yahya lebih sering berbicara tentang NU, Islam Indonesia dan Islam damai di luar negeri dari pada di dalam negeri. Amerika dan Eropa adalah kawasan yang paling sering dikunjunginya untuk menjelaskan hakekat Islam. Ia sering diundang dalam forum-forum internasional untuk menggalang perdamaian Barat dan Islam yang meruncing pasca tragedi WTC. Ia sangat dihormati  di kalangan Muslim di Amerika dan Eropa karena pidato-pidatonya dinilai efektif bagi upaya mengurangi Islamofobia. Ia punya hubungan baik dengan para pejabat dan para aktivis NGO yang concern pada isu perdamaian di Amerika Utara dan negara-negara Eropa.  

Bagi Gus Yahya, perdamaian, dialog dan kerjasama adalah jalan untuk membangun dunia yang lebih makmur, harmonis, dan adil. Sebagai kiai sekaligus aktivis perdamaian, ia tidak memilih jalan kekerasan, penggunaan senjata dan perang dalam menyelesaikan konflik dan sengketa. Baginya, membela Palestina tidak harus dengan bom bunuh diri, mengirim roket atau menantang perang Israel. Bukan hanya karena untuk saat ini mustahil memenangi perang,  tetapi juga karena dampak buruk yang diakibatkan perang itu sendiri bagi rakyat Palestina. 

Jalan senjata terbukti melahirkan lingkaran setan kekerasan, balas membalas, dan kebijakan represif Israel terhadap rakyat Palestina seperti blockade perbatasan, pembangunan tembok, dan pengawasan super ketat. Setiap serangan atas target Israel oleh pihak Palestina selalu menjadi legitimasi serangan membabi buta militer Israel. Ujungnya yang paling menderita adalah warga sipil Palestina. Jalan damai adalah penyelesaian realistis. 

Perbedaan pendapat, polemik dan kontroversi tentang “jalan lurus” perjuangan membela Palestina tidak hanya terjadi di luar Palestina, termasuk di Indonesia, tetapi lebih-lebih di Palestina sendiri. Perbedaan itu menghasilkan keragaman faksi perjuangan, partai politik, dan pengelompokan masyarakat. Perbedaan itu bahkan menghasilkan konflik kekerasan dan perang saudara. Sesama rakyat Palestina, sesama muslim saling membunuh karena perbedaan pendapat tentang strategi perjuangan.

Kontroversi Sepanjang Masa

Sebagai hasil dari empat kali perang (tahun 1948, 1956, 1967, dan 1973) dan berkali-kali upaya diplomasi antara lain Konferensi Madrid (1991), Perundingan Oslo (1993), KTT Camp David II (2000),  dan pembicaraan Peta Jalan Damai (Peace Road Map, 2002) konflik Palestina (Arab)-Israel, tercapai kondisi yang mengarah kepada “co-existent” di mana Israel mengakui status “semi otonom” otoritas Palestina di bawah kepemimpinan PLO melalui konsep “Land for Peace (Tanah untuk Perdamaian). Israel mengembalikan wilayah Tepi Barat Sungai Jordan dan Jalur Gaza dengan perbatasan pasca Perang 1967. Otoritas Palestina  di bawah Yasser Arafat diteruskan Mahmod Abbas inipun belum diakui sebagai negara penuh di PBB dan diganggu dengan masalah pemukiman Yahudi yang tidak kunjung dibongkar bahkan terus berkembang. 

Apakah “solusi dua negara” ini diterima semua rakyat Palestina? Tidak. Ada yang memilih “satu negara dua bangsa” yakni sebuah negara sekuler meliputi seluruh tanah yang dikuasai Israel dan Palestina dengan bangsa Yahudi dan Arab hidup bersama.   Namun, pendukungnya sedikit. Ada banyak orang Palestina yang menginginkan merebut kembali semua tanah Palestina dan menghapuskan Israel dari peta dunia. Kelompok ini banyak didukung oleh mereka yang menjadi pengungsi di negara-negara tetangga yang tanahnya menjadi wilayah Israel. 

Hak mereka untuk kembali ke tanah air yang telah menjadi Negara Israel ditutup rapat oleh Israel. Israel bersikeras melawan Resolusi PBB No. 194 untuk mengembalikan pengungsi Arab karena jika warga Arab boleh pulang akan menjadi kekuatan politik besar bahkan bisa memenangkan pemilu di Israel. Orang Palestina di pengungsian menolak “solusi dua negara” karena mereka terancam menjadi pengungsi secara permanen. Bagi mereka, PLO dan negara-negara yang setuju dengan “solusi dua negara”, Arab Saudi, Mesir, Emirat Arab dan Yordania adalah penghianat. 

Perbedaan cara berfikir dan kepentingan kelompok membentuk spectrum luas gerakan perlawanan Palestina. Terdapat keragaman ideologi dan paradigma yang senantiasa berebut pengaruh. Secara general ada dua kecenderungan yang selalu berkontestasi. Kelompok yang berorientasi “moderat” dan yang “radikal”. Kelompok pertama menempuh jalur ganda perjuangan; perlawanan senjata dan diplomasi. Mereka siap berunding untuk solusi tengah (solusi dua negara berdaulat). Ini direpresentasikan oleh PLO yang didominasi faksi Fatah. 

Sedangkan kelompok kedua menolak berunding, menolak eksistensi Israel dan hanya satu jalan, perlawanan bersenjata.  Kelompok ini diwakili oleh Ihwanul Muslimin, Hizb al-Tahrir,  faksi-faksi pro-Khomeini (antara lain Hezbollah), al-Da’wah wa al-Tabligh, dan organisasi-organisasi jihad seperti Hamas, Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP) dan faksi pro-intifada yang bermarkas di Damaskus, Syiria. (Emile F. Sahliyeh 2001). 

Kontestasi antar kelompok di Palestina mengerucut pada persaingan politik di pemilu antara PLO (Fatah) dan Hamas (Ikhwanul Muslimin). Pada Pemilu 2006 Hamas menangi Pemilu legislatif. Pimpinan Hamas Ismail Haniyeh menjabat perdana menteri, mendampingi presiden Mahmod Abbas.  Ada matahari kembar. Masing-masing jalan sendiri. Fatah kooperatif dengan Israel sebagai konsekwensi proses perdamaian yang sedang berjalan, sebaliknya, Hamas berkonfrontasi dengan gerilya, serangan mortar, dan bom bunuh diri. 

Sebagai otoritas resmi, pasukan pemerintah, Fatah melakukan penertiban terhadap para pelaku serangan dengan perlucutan senjata. Hamas menolak dan terjadilah perang saudara di Jalur Gaza. Fatah mengontrol 40 ribu pasukan resmi pemerintah dan beberapa ribu anggota Brigade Syahid Al-Aqsa, Hamas mengontrol 20 ribu pasukan bersenjata anggota Brigade Izzuddin Al-Qassam.  Perang saudara selama dua tahun ini menewaskan 83 pasukan Hamas, 165 tentara Fattah, dan 98 warga sipil Palestina. Meskipun kini Fatah dan Hamas telah bersedia berdamai atas mediasi Mesir, namun berbagai perbedaan antara keduanya tetap potensial memicu kembali konflik.

Pentingnya Upaya Damai

Dalam situasi yang memanas pasca sengketa Al-Aqsha dan Yerussalem Timur,  upaya penyelesaian damai harus didukung seluas-luasnya. Masyarakat internasioal yang berpihak pada kemanusiaan dituntut untuk mendesak pihak-pihak yang terlibat dalam konflik ini untuk menempuh langkah diplomasi. Agar proses penyelesaian menyeluruh Palestina-Israel bisa diwujudkan. 

Untuk mengawali sebuah diplomasi diniscayakan “jeda kemanusiaan” (moratorium) berupa penghentian kekerasan oleh semua fihak. Ini tidak mudah mengingat syarat menuju diplomasi semacam ini harus berlomba dengan sikap anti-dialog dan cara kekerasan yang terus dipelihara oleh kalangan fundamentalis-radikal di Israel maupun Palestina. Secara internal, faksi-faksi pro perdamaian bersaing dengan kelompok radikal-kanan. Di Israel, Partai Buruh yang pro-perdamaian bersaing dengan Partai Likud yang agresif terhadap Palestina. Di Palestina, Fatah bersaing dengan Hamas. 

Saat ini, partai Likud menjadi penguasa di Israel. Benyamin Netanyahu menerapkan kebijakan yang tidak mendukung perdamaian; meneruskan pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina, agresi militer, membuat terowongan Al-Aqsha, dan merebut Yerusalem Timur menjadi ibukota. Kebijakan yang tidak populer macam ini menjadi ciri pemerintahan Likud. 

Partai  Likud memang didukung oleh para imigran asal Eropa dan Amerika (Askenazim) yang mengalami radikalisasi karena holocaust, pembantaian bangsa Yahudi oleh Nazi. Pengalaman sejarah yang pahit ini menyebabkan interpretasi mereka atas doktrin “tanah yang dijanjikan” yang ada dalam Bible sangat berlebihan. Mereka meyakini bahwa tanah yang membentang dari sungai Eufrat di Irak hingga sungai Nil di Mesir adalah hak mereka dan wajib direbut. Selain itu, berbeda dengan pendukung Partai Buruh yang berasal dari wilayah Arab, Asia dan Afrika (Shepardim), mereka tidak memiliki pengalaman sejarah hidup berdampingan secara damai dengan bangsa Arab sebelum gerakan migrasi (settler movement). (Roger Garaudi, Falisthin Ardl al-Risalat al-Ilahiyyah, 1986) 

Di pihak Palestina, gerakan untuk mensabotase berbagai upaya perdamaian juga sering dilakukan oleh berbagai kelompok garis keras semisal Hamas, Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP) dan faksi-faksi pro-kekerasan yang bermarkas di Damaskus, Syiria. Kelompok garis keras ini, sebagaimana pendukung Likud, mengalami radikalisasi karena penderitaan yang berkepanjangan yang dialami oleh bangsa Palestina karena Zionisme.  Bagi mereka, berdamai dengan Israel tidak berguna karena negara Yahudi menanggung dosa yang tak terampuni atas rakyat Palestina dan umat Islam. Sikap ini memperoleh pembenaran dari penafsiran yang literal terhadap ayat “Yahudi dan Nashrani tidak akan rela atas kalian hingga kalian mengikuti jalan mereka” dan ayat-ayat senada lainnya.

Melihat hal di atas, usaha untuk “menjinakkan” kecenderungan anti dialog baik dalam tubuh Likud maupun faksi radikal Palestina menjadi kunci pokok jalan atau mandeknya proses solusi damai. Dalam hal ini keprihatinan terbesar ada pada pihak Likud. Sebab, Likud memiliki supremasi sumberdaya baik politik maupun militer karena kekuasaannya di Israel. Ia sangat powerfull hingga PBB pun tidak berdaya menghadapinya. Sebagaimana biasanya ia hanya patuh kepada AS. Partai Buruh dan para penganjur perdamaian seringkali tidak didengar oleh Likud. Meski demikian, suara internasional termasuk suara dunia Islam hars dihadirkan di Israel untuk memperkuat arus perdamaian di sana. 

Sedangkan untuk “mengendalikan” faksi-faksi radikal di Palestina, tidaklah sesulit Likud. Sebab, pergulatan yang dinamis antara Partai Likud dan Partai Buruh yang moderat dalam pemerintahan Israel dan Knesset, sangat mempengaruhi konstelasi antar faksi yang ber-interplay dalam tubuh gerakan kemerdekaan Palestina. Pengaruh tersebut berlangsung dalam pola yang sangat rumit. Tetapi jika disederhanakan, kita temukan pola; jika kebijakan radikal dilakukan Israel, maka pengaruh dan legitimasi gerakan radikal di Palestina juga meningkat. Tetapi, jika Israel lunak, dukungan rakyat terhadap gerakan perlawanan bersenjata akan menyurut dan akibatnya faksi-faksi radikal tersebut akan lumpuh dengan sendirinya. 

Dalam konteks kontestasi antara jalan damai vs jalan senjata inilah, seharusnya kita melihat makna kehadiran  Gus Yahya di Israel. Gus Yahya diundang oleh orang Israel yang mendorong pendekatan damai. Pengundang Gus Yahya adalah kalangan yang beroposisi dengan penguasa Likud yang keras kepada rakyat Palestina. Menjadi jelas di sini posisi Gus Yahya sebagai penerus Gus Dur yang bertemu Simon Peres untuk mendukung jalan damai yang sedang ditempuh Partai Buruh, Kaum Sephardimdi saat Partai Likud, kaum Askenazim memilih jalan keras terhadap rakyat Palestina. 

Selain itu, para penghujat Gus Yahya di Indonesia juga bisa dipahami dalam konteks keperpihakan mereka terhadap persaingan jalan damai vs jalan senjata ini. Menjadi jelas dan masuk akal mengapa mereka penghujat Gus Yahya. Sebab, kehadiran Gus Yahya merugikan madzhab kerasnya Hamas. Kaum Ikhwanul Muslimin di Indonesia  pasti tidak suka dengan yang dilakukan Gus Dur dan Gus Yahya. Wallahu A’lam.


Penulis adalah Direktur Said Aqil Siroj (SAS) Institute dan pengamat Timur Tengah