Opini

Habib Luthfi, Nasionalisme, dan Kharismanya di Hadapan Ulama Dunia

Ahad, 31 Juli 2016 | 16:00 WIB

Oleh Much. Ngisom Cholil

Hajatan besar Jam'iyyah Ahlit Thariqah Al Mu'tabarah An Nahdliyyah (JATMAN) berupa Konferensi Ulama Internasional 'bela negara' baru saja usai digelar. Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari dari tangga 27 hingga 29 Juli 2016 di Kota Pekalongan berjalan sangat sukses, setidaknya dari segi pelaksanaan mulai kegiatan penunjang seperti pawai merah putih, pentas musik 'Debu', ta'aruf peserta yang dihadiri Kemenhan RI hingga istighotsah semuanya berjalan dengan lancar.

Sedangkan kegiatan utama berupa konferensi 'bela negara' diikuti oleh ribuan peserta dari dalam dan luar negeri. Dari dalam negeri sendiri tercatat ada 1500 peserta hadir dari utusan pengurus thariqah cabang dan wilayah se Indonesia, akademisi, pesantren dan pengurus NU, kemudian dari luar negeri ada 69 delegasi dari 40 negara.

Tidak hanya itu, forum konferensi ulama internasional juga berhasil merumuskan 15 konsensus atau kesepakatan tentang bela negara yang dibuat oleh para pembicara/nara sumber dan delegasi luar negeri sebagai rekomendasi resmi untuk ditujukan kepada pimpinan pemerintahan Indonesia dan negara asal delegasi. (Baca: Ini 15 Konsensus Hasil Konferensi Ulama Internasional Bela Negara)

Ada satu hal yang menarik dalam proses perumusan konsensus, yakni jika selama ini perumusan konsensus atau kesepakatan bersama biasanya dibuat oleh Steering Committee (SC) atau tim perumus yan telah ditetapkan oleh panitia, kali ini justru pihak panitia sama sekali tidak "cawe-cawe" dalam pembuatan perumusan, semuanya diserahkan kepada delegasi asal luar negeri yang sebagian dari mereka menjadi pembicara dalam konferensi. Maka tidak heran ketika naskah perumusan dibacakan oleh Syech Mohammad Adnan Al Afyuni asal Damaskus masih asli tulisan berbahasa arab dan panitia maupun wartawan belum dapat kopiannya hingga acara pembacaan selesai.

Dari keseluruhan poin konsensus, Syekh Muhammad Rajab Dieb (Mursyid Thariqah Naqsabandiyah di Syiria) dalam pidato penutupan konferensi mengambil benang merah bahwa negara merupakan sebuah wilayah yang ditempati seluruh manusia dengan beragam keyakinan, suku, bangsa, bahasa dan lain-lain sehingga wajib dijaga oleh setiap individu dalam rangka menciptakan kesatuan, persatuan, dan perdamaian. “Untuk tujuan mulia itu, setiap individu atau kelompok yang tentunya mempunyai agama wajib menjaga dan membela tanah air atau negaranya. Dengan kata lain, membela negara merupakan kewajiban agama,” tegas Syekh Muhammad Rajab Dieb.

Syekh Muhammad juga menyampaikan, bangsa Indonesia harus bergembira bahwa negaranya merupakan referensi dunia jika berbicara tentang kecintaan pada tanah air. Oleh karena itu, ulama thariqah dunia yang terinspirasi oleh bangsa dan negara Indonesia menyepakati kewajiban membela negara yang harus dilakukan oleh setiap warganya.

Kewajiban membela negara juga disampaikan oleh Mursyid Thariqah dunia Habib Luthfi bin Yahya ketika berpidato dalam acara penutupan konferensi di tempat yang sama. Rais Aam Idarah Aliyah JATMAN ini mampu membakar semangat ribuan masyarakat yang hadir saat itu ketika membacakan Ikrar Bela Negara.

"Wahai bangsaku, relakah negeri kita ini terpecah belah? Jika tidak, ikuti kata-kata saya, 'bismillaahirrahmaanirrahiim, asyhadu ala ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah, radhiina billahi robba, wa bil islami dina, wa bi muhmmadin nabiyya wa rasula. Kami berikrar: BELA NEGARA ADALAH WAJIB, BELA NEGARA ADALAH WAJIB, BELA NEGARA ADALAH WAJIB'," tegas Habib Luthfi serempak diikuti ribuan masyarakat yang hadir. Dikatakannya, ikrar ini tentu disampaikan kepada seluruh bangsa Indonesia.

Sukses gelaran acara bertaraf internasional baik pelaksanaan maupun hasil yang dicapai, tidak lepas dari sosok ulama kharismatik asal Pekalongan Jawa Tengah yang telah mendunia. Beliau adalah Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya. Tamu-tamu asal luar negeri yang di negaranya menyandang gelar mufti besar atau mursyid thariqah pun selalu menaruh hormat dan ta'dzim kepada sosok yang sangat dekat dengan umat di segala lapisan ini.

Meski telah dinobatkan sebagai pimpinan thariqah mu'tabarah tingkat dunia, Rais Aam Idarah Aliyah Jatman selama tiga periode berturut-turut, menggelar pengajian rutin setiap Selasa malam, Rabu pagi maupun setiap Jumat Kliwon. Belum lagi berbagai aktivitas lainnya, membuat rumahnya di Jalan dr Wahidin Noyontaan Gang 7 tak pernah sepi dari tamu yang datang dari berbagai losok tanah air.    

Seabrek jabatan yang diembannya, tak membuat Habib Luthfi merasa capek dan merasa berat memikul amanah. Saat ini saja Habib Luthfi Bin Ali Yahya dipercaya menjabat sebagai Ketua Umum MUI Kota Pekalongan untuk yang kedua kalinya dan pernah sebagai Ketua Umum MUI Jawa Tengah. Di samping  beliau seorang Mursyid Thariqah Syadzaliyah, juga sebagai Rais Aam dari Jam’iyyah Ahlit Thariqah Al Mu’tabaroh An Nahdliyyah hasil Muktamar Thariqah ke-9 dan ke-10 yang digelar di Kota Pekalongan, serta ke-11 digelar di Kota Malang, Jawa Timur.

Bahkan tak jarang di antara mereka menyempatkan bertemu secara khusus di kediamannya meski harus antre berjam-jam untuk sekadar berkonsultasi problematika kehidupan sehari hari. Maka rumah mewah di belakang komplek Kanzus Sholawat yang cukup luas pun tak mampu menampung tamu-tamu Habib  yang datang silih berganti selama 24 jam. Itulah gambaran aktivitas rutin sehari hari Habib Luthfi bin Ali bin Yahya, seorang ulama besar yang lahir, dibesarkan dan hidup di Kota Pekalongan.

Berbincang-bincang dengan Abu Muhammad Bahaudin Muhammad Luthfi bin Ali Bin Hasyim bin Umar Bin Toha bin Yahya, nama lengkap dari Habib Muhammad Luthfi bin Ali Yahya, sangat mengasyikkan, terutama persoalan kethariqahan. Menurutnya, sejak kepengurusan Jam’iyyah Ahlit Thariqah Al  Mu’tabaroh An Nahdliyyah dia pegang sudah banyak kemajuan dibanding kepengurusan periode sebelumnya. Hingga saat ini saja telah terbentuk kepengurusan tingkat wilayah sebanyak 34 Pengurus Idarah Wustha, kemudian tingkat cabang sebanyak 350 lebih Pengurus Idarah Syu’biyah.

Perkembangan yang cukup pesat ini sungguh sangat menggembirakan, ujar Habib. Pasalnya hampir seluruh thariqah berjalan dengan baik, seperti Syadzaliyah, Kholidiyah, Naqsabandiyah, Syatariyah, Qadiriyah, Tijaniyah dan lain lain. Indikator lainnya ialah banyaknya kaum muda yang mulai aktif sebagai pengikut thariqah, “Padahal mereka sebelumnya kenal saja tidak apalagi menjadi pengikut, sehingga kesan bahwa thariqah hanya dapat diikuti oleh sekelompok manusia usia lanjut mulai terkikis”.

“Yang mesti dipahami ialah bahwa thariqah bukan alat berpolitik dan bukan untuk berpolitik, akan tetapi semata mata untuk mendidik kehidupan manusia agar berdekatan dengan Allah dan Rasul-Nya dan yang terpenting ialah meningkatkan kesadaran sebagai manusia apa kewajibannya sebagai hamba kepada Tuhan dan Rasul-Nya juga sesama manusia”, ujar suami dari Syarifah Salmah Binti Hasyim Bin Yahya. “Sekarang ini perkembangan thariqah di kalangan anak anak muda cukup menggembirakan, seperti yang saya hadapi di Pekalongan ini, justru yang paling banyak masuk thariqah dari anak anak muda”, ujarnya.

Bela negara yang menjadi tema Konferensi Ulama Internasional, menurut Abah panggilan Habib Luthfi sengaja dimunculkan menjadi tema sentral dalam perhelatan yang digelar Jatman. Mengingat 'bela negara' selalu dimaknai dengan angkat senjata atau berperang. Padahal bela negara memiliki makna luas, yakni dengan ikut mengisi dan ikut membangun negeri ini.

“Jangan diartikan sempit, hanya sekadar angkat senjata saja. Bela negara bisa dimaknai dengan ikut mengisi dan ikut membangun negeri ini,” ucapnya. Tidak diragukan lagi bahwa yang berpayah-payah merebut kemerdekaan Indonesia adalah para ulama. Maka, sudah seharusnya ulama yang ikut bertanggungjawab mempertahankannya.

Habib Luthfi menyebut kolaborasi ulama dengan TNI adalah keharusan. Ini faktor penting pertahanan negeri. Di Indonesia TNI dan Polri menyatu dengan masyarakat dan terjun ke bawah. “Semoga di belahan dunia Islam lainnya demikian pula. Jika ulama dengan pemerintah bekerja sama secara baik akan memperkuat dan memperkokoh kemajuan bangsa,” pesannya. Bendera merah putih yang dimiliki bangsa ini tanpa huruf, hanya warna saja. Karena ini milik semua bangsa Indonesia. “Di dalam merah putih itu ada wibawa, ada kehormatan bangsa di situ, maka kita pun hormat kepadanya, kepada sang saka merah putih,” tegasnya.

Habib Luthfi mengaku salut dan kagum melihat apa yang terjadi dalam Konferensi Ulama Internasional tersebut. Di mana dia melihat unsur pemerintah, ulama, TNI, Polri dan masyarakat bisa hadir bersama dan bersatu padu menunjukkan kekuatan yang luar biasa. Puluhan ulama yang hadir dari berbagai negara, juga telah diikat oleh Islam sehingga bersedia hadir ke acara tersebut.

“Kalau di setiap negara bisa seperti ini, pemerintah, ulama TNI dan Polri bisa bersatu dan mau turun ke bawah ini bisa menjadi awal perdamaian dunia. Seluruh bangsa bisa melahirkan kedamaian. Untuk itu melalui niat baik ini, kami ingin mengajak dan menarik kepedulian kita semua untuk bersama menciptakan kedamaian di dunia karena tantangan bangsa semakin jauh akan semakin besar,” ucapnya.

Menurut KH. Zakaria Ansor Wakil Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Pekalongan yang juga orang dekat Habib menjelaskan, banyak sudah prestasi yang ditorehkan Habib Luthfi selama menjadi pimpinan salah satu Badan Otonom NU, antara lain berhasil menata organisasi thariqah dari Sabang sampai Merauke, seperti perkembangan thariqah di Sumatera Utara dan Sulawesi sangat menggembirakan, bahkan beberapa waktu yang lalu dari Papua minta dikirimi buku-buku tentang  thariqah. Kemudian Habib juga berhasil menertibkan silsilah sanad thariqah, di samping itu juga berhasil menebas fanatisme thariqah yang berdampak kepada pengerdilan thariqah-thariqah yang lain dan yang lebih penting ialah kegiatan thariqah menjadi lebih terbuka, sehingga banyak kaum muda yang berminat.

Habib Muhammad Luthfi bin Yahya dilahirkan di Pekalongan pada hari Senin, pagi tanggal 27 Rajab tahun 1367 H. Bertepatan tanggal 10 November, tahun 1947 M. Dilahirkan dari seorang syarifah, yang memiliki nama dan nasab: sayidah alKarimah as Syarifah Nur binti Sayid Muhsin bin Sayid Salim bin
Sayid al Imam Shalih bin Sayid Muhsin bin Sayid Hasan bin Sasyid Imam ‘Alawi bin Sayid al Imam Muhammad bin al Imam ‘Alawi bin Imam al Kabir Sayid Abdullah bin Imam Salim bin Imam Muhammad bin Sayid Sahal bin Imam Abd Rahman Maula Dawileh bin Imam ‘Ali bin Imam ‘Alawi bin Sayidina Imam  al Faqih al Muqadam bin ‘Ali Ba'alawi.

Sementara nasab beliau dari jalur ayah: Rasulullah Muhammad Saw — Sayyidatina Fathimah Azzahro+Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib–Imam Husein ash-Sibth — Imam Ali Zainal Abidin — Imam Muhammad al-Baqir–Imam Ja’far Shadiq — Imam Ali al-Uraidhi Imam Muhammad an-Naqib — Imam Isa An-Naqib ar-Rumi — Imam Ahmad Al-Muhajir — Imam Ubaidullah — Imam Alwy Ba’Alawy — Imam Muhammad — Imam Alwy — Imam Ali Khali Qasam — Imam Muhammad Shahib Marbath — Imam Ali — Imam Al-Faqih al-Muqaddam Muhammd Ba’Alawy — Imam Alwy al-Ghuyyur — Imam Ali Maula Darrak — Imam Muhammad Maulad Dawileh — Imam Alwy an-Nasiq — Al-Habib Ali — Al-Habib Alwy —
Habib Hasan– Imam Yahya Ba’Alawy — Habib Ahmad — Habib Syekh — Habib Muhammad — abib Thoha — Habib Muhammad al-Qodhi — Habib Thoha — Habib Hasan — Habib Thoha — Habib Umar — Habib Hasyim — Habib Ali — Habib Muhammad Luthfi.

Masa Pendidikan

Pendidikan pertama Maulana Habib Luthfi diterima dari ayahanda Habib al Hafidz ‘Ali al Ghalib. Selanjutnya beliau belajar di Madrasah Salafiah. Guru-guru beliau di Madrasah itu diantaranya: Sayid Ahmad bin ‘Ali bin al Qutb As Sayid ‘Ahmad bin Abdullah bin Thalib al Athas Sayid  Habib Husain bin Sayid Hasyim bin Sayid Umar bin Sayid Thaha bin Yahya (paman beliau sendiri) Sayid Abu Bakar bin Abdullah bin ‘Alawi bin Abdullah bin Muhammad al ‘Athas Bâ ‘Alawi Sayid Muhammad bin Husain bin Ahmad bin Abdullah bin Thalib al ‘Athas Bâ ‘Alawi. Beliau belajar di madrasah tersebut selama tiga tahun.

Selanjutnya pada tahun 1959 M, Habib Luthfi melanjutkan studinya ke pondok pesantren Benda Kerep, Cirebon. Kemudian Indramayu, Purwokerto dan Tegal. Setelah itu beliau melaksanakan ibadah haji serta menziarahi datuknya Rasulullah Saw., disamping menimba ilmu dari ulama dua tanah Haram; Mekah-Madinah. Beliau menerima ilmu syari’ah, thariqah dan tasawuf dari para ulama-ulama besar, wali-wali Allah yang utama, guru-guru yang penguasaan ilmunya tidak diragukan lagi. Dari Guru-guru tersebut beliau mendapat ijazah Khas (khusus) dan juga ‘Am (umum) dalam Da’wah dan nasyru syari’ah (menyebarkan syari’ah), thariqah, tasawuf, kitab-kitab hadits, tafsir, sanad, riwayat, dirayat, nahwu, kitab-kitab tauhid, tashwuf, bacaan-bacaan aurad, hizib-hizib, kitab-kitab shalawat, kitab thariqah,  sanad-sanadnya, nasab, kitab-kitab kedokteran. Dan beliau juga mendapat ijazah untuk membai’at.

Habib Luthfi tidak saja menjadi idola masyarakat Pekalongan dan sekitarnya. Setiap menjelang Pilpres misalnya, Habib Luthfi kebanjiran tamu istimewa. Disebut istimewa pasalnya tamu-tamu yang menyempatkan hadir di rumah Habib Luthfi adalah para calon presiden maupun wakil presiden. Sebut saja Capres Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono, Amin Rais, Puan Maharani (Putri Megawati), Hamzah Haz, Prabowo. Sedangkan cawapresnya Sholahudin Wahid dan Hasyim Muzadi. Dari semua yang hadir, rata rata mereka selalu berdalih hanya silaturrahmi biasa, tidak ada misi khusus berkaitan dengan kunjungannya. Akan tetapi aktifitas mereka selalu dibaca sebagai upaya untuk mohon do’a restu dan minta dukungan, apalagi di antara mereka ada yang berbicara empat mata dengan Habib, sehingga  mereka bisa diduga kehadirannya untuk keperluan pemilu yang baru saja digelar.

Tamu Habib memang datang dari berbagai kalangan, mulai dari pejabat pemerintah, anggota dewan, pengusaha, seniman, artis hingga rakyat jelata. Dengan tekun Habib Luthfi mendengarkan satu persatu  permasalahannya, kemudian beliau memberikan solusi sehingga mereka pun pulang dengan perasaan puas. Hal ini diakui mantan Wakil Wali Kota Pekalongan yang juga mantan Ketua PCNU Kota Pekalongan H. Abu Almafachir juga santri Habib Luthfi. Selama 40 tahun sebagai santrinya, ada satu hal yang sangat dikaguminya, yaitu dalam hal stamina. Beliau kuat duduk berjam-jam untuk sekadar ngobrol dengan para tamunya, meski tamunya itu tidak beliau kenal, ujarnya. “Abah fisiknya luar biasa, jarang sakit  meski aktifitasnya cukup tinggi, padahal makan saja tidak teratur”.

Disamping itu, Habib Luthfi tidak pernah membeda bedakan asal muasal tamu. Sehingga ratusan tamu yang datang kediamannya setiap hari, selalu dilayani dengan sabar dan penuh kesungguhan. Kadang mereka harus menunggu berhari hari jika Abah sedang berada di luar kota, ujar H. Fachir selalu memanggil Abah kepada Habib Luthfi.

Pernah suatu ketika, seorang bekas gali (geng pencuri) datang untuk bertobat dan minta diakui sebagai santrinya Habib, tanpa banyak pertanyaan, habib langsung membaiat gali tersebut dan kemudian diterima sebagai santrinya untuk menjadi salah satu murid thariqah.


Penulis adalah Ketua PC LTN NU Kota Pekalongan dan kontributor NU Online tinggal di Kota Pekalongan Jawa Tengah