Opini

Hadiah Cangkir dari Tuhan

Sen, 1 April 2019 | 06:00 WIB

Hadiah Cangkir dari Tuhan

Ilutrasi: nicepng.com

Dalam buku Antropologi Tasawuf, Abdul Kadir Riyadi mengutip pernyataan dari seorang Antropolog Ruth Benedict. Kutipan itu merupakan pedoman hidup bagi masayarakat Indian di Amerika Utara, "Pada mulanya Tuhan memberikan sebuah cangkir pada setiap orang dan darinya mereka meminum air." Benedict lalu menggarisbawahi bahwa, "cangkir-cangkir itu kini telah pecah berkeping-keping."
 
Bagi saya, cangkir-cangkir itu tetaplah utuh, ia tetap terjaga, terawat, dan tetap indah. Namun kini, cangkir-cangkir itu diperselisihkan sedemikian ruwetnya. Mereka saling beradu mulut, beradu jari, dan beradu kebenaran, bahwa cangkirnyalah yang benar-benar datang dari Tuhan. 
 
Cangkir-cangkir itu sekarang berada di tengah kemelut, dengan pemilik-pemilik yang agresif, haus kuasa, dan lapar jabatan. Tapi, ini bukan lagi masalah cangkir, ini masalah isi cangkir, entah air apa yang masuk ke dalam cangkirnya. Cangkir tetaplah cangkir, utuh, suci, dan bersih—isinyalah yang mengotori kesucian cangkir.
 
Awal Allah menghadiahkan cangkir kepada manusia pun beserta cara merawatnya. Ada buku pedoman yang menjelaskan baik dan buruk, ada tutorial cara menggunakannya, yang pasti Tuhan telah memberikan bimbingan utuh kepada setiap cangkir yang diterima manusia. 
 
Tetapi, kadang manusia cuek dan acuh terhadap cara-cara baik dalam merawat cangkir. Mereka lebih memilih pemahaman yang dianggap benar menurut mereka sendiri. Sehingga mereka sibuk berdebat tentang isi cangkir dan berteriak, "isi cangkir saya paling benar, isi cangkirmu salah." 
 
Kalau saya boleh mempersepsikan bahwa cangkir itu adalah agama yang menjadi pegangan hidup manusia. Setiap manusia harus menyadari agama datangnya dari Allah, bukan hasil ciptaan atau rekaan manusia yang boleh kita isi semau kita. Apalagi dilatarbelakangi oleh rasa benci dan hawa nafsu yang terlalu tinggi. 
 
Cangkir itu mempunyai daya tampung sesuai porsinya. Begitupun agama, mempunyai daya jelajah sesuai kemanfaatannya. Secara doktrinal (khususnya dalam Islam), daya jelajah tersebut dibatasi oleh sebuah ketegasan kasih sayang Allah (rahmatan lil ‘alamin). Artinya, terwujudnya kedamaian, persaudaraan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan sebagainya. Sudah sepantasnya kita sebagai orang beragama harus mengikuti daya jelajah kemanfaatan, bukan malah sebaliknya—destruktif. 
 
Allah Swt sudah memperingatkan kita dalam Surat Al-Maidah ayat 2, "Tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran."
 
Allah Swt menghendaki manusia hidup dalam kedamaian bersama, memahami dan menerima semua perbedaan yang ada dan menjadikan hal tersebut sebagai rahmah bukan sebagai musibah atau masalah.
 
Perbedaan itu keniscayaan dan berkembang secara alamiah dalam tatanan sosio-kultural. Perjalanan panjang sejarah manusia dengan berbagai latar belakang tidak mungkin menemukan satu wujud yang tunggal. Begitupun dengan Islam—tidak tunggal, karena Islam berkembang ke seantero dunia menyerap nilai-nilai historis dan norma-norma kultural dimana ia tumbuh dan berkembang.
 
Jadi sangat naif golongan yang mencoba menggiring 'kebenaran' ajaran Islam hanya pada satu titik saja dan mencoba melepaskannya dari dimensi sejarah, ruang, dan waktu yang melingkupinya. Meminjam istilah Stephen Sulaiman Schwartz, 'The Two Faces of Islam' (dua wajah Islam).
 
Dua wajah yang dimaksud Schwartz di sini mewakili dua posisi berseberangan yang sama-sama mengklaim sebagai manifestasi ajaran Islam. Ada wajah moderasi, kesejajaran, kesabaran, kejujuran, yang merupakan wajah santun, toleran, dan inklusif—siap hidup berdampingan dengan siapapun. Sementara, pada sisi lain, ada wajah separatisme, supremasi, sewenang-wenang, dan agresif yang garang, mudah marah, intoleran, dan eksklusif. (Stephen Sulaiman Schwartz, Dua Wajah Islam: Moderatisme vs Fundamentalisme dalam Wacana Global, (dalam catatan penerjemah, hlm. ix).
 
Fenonema dua wajah ini kalau kita baca sejarahnya sudah sangat lama menyelimuti perjalanan Islam, contohnya Khawarij yang menyatakan keluar dari kelompok Ali ibn Abi Thalib ra. Dan sekarang muncul kembali golongan yang sering disebut sebagai neo-Khawarij (lazim memahami teks-teks suci secara harfiah dan mengabaikan aspek sosio-kultural). Mereka ini sering melakukan truth claim (memonopoli kebenaran 'cangkir').
 
Pertanyaannya, apakah fenomena tersebut berkembang di Indonesia? Saya jawab “Yes”. Saya banyak mendengarkan cerita, tidak sedikit kekhawatiran di masayarakat bawah (perdesaan) was-was terhadap gerakan yang akan merubah kebiasaan keberagamaan mereka, seperti; syukuran, kenduren, tahlilan, shalawatan, dan sebagainya. Karena ada satu atau dua kasus di lapangan terjadi pembubaran-pembubaran.   
 
Kekhawatiran itu wajar, mereka hanya takut kehilangan keakraban dengan tetangga, kehilangan harmoni sesama warga, dan kehilangan keintiman bersama Tuhan. Manusia punya jalan masing-masing dalam memadu cintanya dengan Allah Swt.
 
Pertanyaannya lagi, apakah melakukan sikap agresif terhadap kelompok lain termasuk jalan memadu cinta kasih bersama Tuhan? Rasulullah Saw mengajarkan, yang harus kita hidupkan itu bukan sikap yang destruktif agresif, tetapi sikap edukatif. Anehnya, model dakwah agresif (saat ini) di Indonesia cukup digandrungi. 
 
Kebanyakan para pendakwah itu tidak mempunyai kapasitas mumpuni sebagai seorang dai, mereka hanya bermodal suara lantang dan beberapa ayat saja (ketika membacanya pun pletat-pletot)—dikemas ganas dan seakan-akan kebenaran ada di pundaknya. 
 
Di sini letak kekhawatiran saya yang paling paripurna. Sempat viral video seorang kader Nahdlatul Ulama, tepatnya ketua Rijalul Ansor Deli Serdang mencoba tabayun kepada salah satu ustadz yang sering mengolok-olok NU, Banser, Ansor, dan pemerintah. Kader Ansor itu hanya menanyakan landasan ustadz mengkafir-kafirkan Islam Nusantara, dan dia juga menegaskan kalau tidak punya landasan pengetahuan tidak usah mengkafir-kafirkan. Apa yang terjadi? Kader NU itu dipersekusi.
 
Fenomena tersebut secara jujur terjadi akibat ketidakmampuan masyarakat (katanya) agamis dalam mengkomunikasikan kondisi ideal yang diharapkan. Ustadz-ustadznya gagal membangun paradigma moral dalam diri umat, sulutan kebencian, amarah, dan sikap menjatuhkan lebih dominan dalam ceramah-ceramahnya. Saya khawatir kalau ustadz seperti ini terus menerus ada, sedikit banyak berdampak buruk terhadap citra Islam. Khususnya efek kepada kepribadian umat dan kesatuan umat.
 
Sungguh saya bingung sebenarnya apa yang ingin mereka tawarkan terhadap Indonesia? Jika mereka menghendaki NKRI berSyariah atau mungkin sampai mendirikan Negara Islam, dari awal sampai sekarang saya tidak pernah mendengar penjelasan atau penawaran konsep ideal terhadap permasalahan-permasalahan yang ada sekarang, dari segi hukum, politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Mereka hanya marah-marah dan menghujat sana-sini.  
 
Syekh Sa’id Ramdhan Al-Buti menanggapinya dengan mengatakan, "Kebanyakan dari mereka menitik-beratkan perhatian pada seruan untuk menetapkan hukum syariat Islam sebagai pengganti semua peraturan dan tatanan hukum positif yang diserukan oleh pihak lain. Namun, dalam melakukan hal itu mereka tidak memperhatikan dasarnya, yaitu makna agama yang seharusnya justru menjaga akal dan jiwa yang merupakan esensi agama Islam."
 
Berbeda dengan Nahdlatu Ulama, setiap mengusulkan sesuatu selalu didasari konsep dan pengetahuan matang, seperti pada saat KH. MA. Sahal Mahfuz merumuskan Nuansa Fiqh Sosial dan serangkaian halaqah NU yang bekerjasama dengan RMI dan P3M, fiqh sosial memiliki lima ciri pokok yang menonjol; 
 
Pertama, interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual; Kedua, perubahan pola bermadzhab dan bermadzhab secara tekstual (madzhab qauli) ke bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji); Ketiga, verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu’); Keempat, fiqh dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara; dan Kelima, Pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial. (KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarya: LKiS), hlm. xxxvi-xxxvii)
 
Dijelaskan lebih lanjut, lima ciri pokok tersebut memang di dasarkan atas keyakinan bahwa rumusan produk hukum yang tertuang dalam berbagai kitab fiqh banyak yang dapat diterapkan (applicable) untuk memecahkan masalah-masalah sosial kontemporer. Lebih jelasnya, silakan baca saja buku karya KH Sahal Mahfudh.
 
Seharusnya kelompok yang mengatasnamakan diri paling islami harus lebih giat lagi dalam membaca, supaya tidak terjebak pada narasi itu-itu saja. Kekurangan literasi mengakibatkan mereka seolah-olah menjadi penguasa, lantas menganggap kalau Tuhan itu sesuai dengan dirinya, dengan egonya menikung otoritas Tuhan dalam menuntun, mengatur dan menentukan jalan hidup orang lain. Memang setiap orang membela apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Tapi bukan berarti memonopoli kebenaran—dari sini klaim kebenaran atas nama Tuhan atas nama bela agama menjadi menguap dan tidak mudah diredam. Apa penyebab utamanya?
 
Menurut Said Aqil Al-Munawar, "Penyebab utamanya adalah manakala manusia sedang menghadapi kemerosotan legitimasi politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Karenanya, isi klaim sebenarnya tak lebih sebagai upaya mempertahankan apa yang disebut kemapanan politik, ekonomi, sosial, dan budaya itu."
 
Ingat yang dikatakan Gus Dur, "Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan." Nah, pendidikan politik saat ini belum berorientasi pada peningkatan mutu manusia, walaupun para politisi sering bilang, 'masyarakat sudah cerdas'. Praksisnya, masyarakat masih dianggap sebagai objek politik yang bisa dipermainkan. Karena pendekatannya sama sekali tidak edukatif, melainkan konfrontatif dan provokatif. 
 
Isu-isu yang mempunyai daya pengaruh terhadap masa dimainkan, seperti dibenturkannya Negara dengan agama, Pancasila dengan agama, Islam dengan komunis, Islam dengan selain Islam, kelompok yang dianggap kafir, dan sebagainya, siasat politik itu memang sengaja dilakukan untuk membunuh karakter lawan politiknya. Paling gampang dilakukan melalui agregasi ideologi dan agregasi sara, termasuk agama.
 
Maka dari itu, sungguh tidak mudah menjaga cangkir. Cangkir yang tidak terjaga mempunyai potensi dirembesi air-air jahat, kalau kita minum akan menjadi racun. Sebagai manusia memang susah menjaga utuh kesucian cangkir, ada saja kotoran-kotoran yang masuk mempengaruhi kejernihan air. Namun setidaknya air yang masuk tidak merubah esensi cangkir. Air yang dapat melepaskan dahaga, air yang dapat menggontor rasa sesak di tenggorokan, bukan air yang memabukkan—merusak keindahan cangkir.
 
Saya tutup tulisan ini dengan kebijaksanaan dari Mahatma Gandhi dalam bukunya, Semua Manusia Bersaudara, "Setiap nabi dan avatar pernah mengajarkan ahimsa. Tidak satu pun di antara mereka yang pernah mengajarkan himsa. Karena himsa tidak perlu diajarkan. Manusia sebagai sejenis satwa sudah punya watak himsa, namun jiwanya pantang berbuat kekerasan. Pada jiwa terdalamnya manusia tidak mungkin terus besikap keras (arogan). Ia hanya dapat memilih ahimsa atau mengejar kemusnahannya sendiri. Itulah sebabnya para nabi dan avatar membawa ajaran kebenaran, keserasian, persaudaraan, keadilan dan sebagainya."
 

Aswab Mahasin, pembaca NU Online.