Opini

Haji sebagai Sarana Menggapai Puncak Kesadaran

Jum, 24 Juni 2022 | 21:15 WIB

Haji sebagai Sarana Menggapai Puncak Kesadaran

Haji lebih dari sekadar prosesi ibadah fisik, dan mampu menangkap berbagai rahasia agung ilahiyah.

Haji bisa jadi adalah ritual fisik. Berbagai rangkaian pelaksanaan rukun dan wajibnya menuntut kekuatan fisik yang memadai. Haji adalah ibadah yang bahkan bagi mereka yang tidak memiliki kesanggupan fisik diperkenankan untuk meminta bantuan orang lain untuk mengerjakan rukun-rukun dan wajibnya agar menjadi sah.

 

Sekalipun demikian, ibadah haji juga bisa menjadi sarana bagi seorang Muslim untuk melenting ke tingkat maqam spiritualitas yang sangat tinggi. Spiritualitas tertinggi ini juga bisa disebut sebagai puncak kesadaran. Dalam arti bahwa melalui haji, seseorang akan menemukan sebuah kesadaran baru. Seperti seseorang yang sanggup mengenali diri dan hal-hal di sekitarnya karena tersorot sinar, setelah sebelumnya berada dalam kegelapan. Kesadaran itu seperti sebuah cahaya. Karena itu, orang yang mendapatkan kesadaran itu dianalogikan seperti orang yang keluar dari kegelapan untuk memasuki terang cahaya (min al-dhulumati ila al-nur).

 

Ibadah haji merupakan ibadah yang menapaktilasi teladan kepasrahan Nabiyullah Ibrahim kepada Allah. Dikisahkan, Nabi Ibrahim bermimpi di mana di dalam mimpi tersebut dia mendapat perintah dari Allah untuk menyembelih putranya. Mimpi pertama terjadi pada malam tanggal 8 Dzulhijjah. Ada sedikit keraguan terhadap mimpinya tersebut. Betulkah mimpi itu datang dari Allah? Apalagi sebagai seorang ayah, tentu ada sedikit kebimbangan atas perintah untuk menyembelih anaknya. Karena itu, hari tanggal 8 ini disebut hari tarwiyah yang bermakna kesempatan untuk berpikir.

 

Ternyata, malam tanggal 9 Dzulhijjah, mimpi yang sama datang lagi. Mimpi kedua ini membawanya pada sebuah keyakinan bahwa mimpinya itu betul. Nabi Ibrahim seakan telah melewati lorong keraguan dan sampai pada pengetahuan yang benar dan meyakinkan. Karena itu, hari ketika Nabi Ibrahim sampai pada kebenaran yang meyakinkan ini disebut dengan arafah, yang bermakna mengetahui dengan yakin.

 

Bagi orang yang sampai pada puncak kesadaran spiritual seperti Nabi Ibrahim ini, pengetahuan tidak hanya berhenti menjadi pengetahuan, tapi mengantarkannya pada kebulatan tekad untuk mengambil keputusan dengan penuh ketulusan. Ketika Nabi Ibrahim mengorbankan putra terkasihnya, Nabi Ismail, pada tanggal 10 Dzulhijjah atau dikenal dengan sebutan Idul Adlha, itu sesungguhnya adalah ketakwaan total yang merupakan buah dari puncak kesadaran. Kesadaran seperti inilah yang akhirnya mendapatkan taburan kasih sayang dari Allah. Nabi Ibrahim tak pernah kehilangan putranya melalui ritual pengorbanan, karena Allah menggantinya dengan domba. Peristiwa ini diabadikan dalam al-Qur’an, surah al-Shaffat:107.

 

Dalam seluruh rangkaian ibadah haji, Rasulullah Muhammad menegaskan bahwa Wuquf di Arafah adalah puncaknya. Beliau bersabda, “al-Hajju Arafah” (Inti haji adalah wuquf di Arafah). Dijelaskan bahwa barang siapa yang mendapatkan malam Arafah sebelum terbit fajar dari waktu sore pada hari Arafah, maka hajinya telah sempurna.

Meski hadits tersebut menegaskan bahwa puncak atau inti ibadah haji terletak pada hari Arafah, namun jamaah haji masih mempunyai kewajiban serangkaian ibadah lanjutan, baik yang terkait dengan rukun, wajib, maupun sunah-sunahnya.

 

Setelah mengambil miqat haji atau titik berangkat haji dari hotel masing-masing, jamaah telah digiring menuju Arafah sejak hari tarwiyah tanggal 8 Dzulhijjah. Setelah wuquf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, jamaah kemudian mabit (menginap) di Muzdalifah hingga lewat tengah malam. Pada tanggal 10 Dzulhijjah, ketika lewat tengah malam, jamaah bergerak menunju Mina untuk melakukan lempar jumrah aqabah dan tahallul awal atau cukur rambut di jamarat (lokasi pelemparan jumrah). Jamaah masih melanjutkan mabit di Mina pada tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah diserta dengan melempar jumrah ula, wustha dan aqabah untuk nafar awal. Untuk nafar tsani, mabit dan lempar jumrahnya dilakukan hingga tanggal 13 Dzulhijjah. Kegiatan selanjutnya, jamaah melakukan tawaf ifadlah, sa’i dan tahallul tsani tanpa disertai dengan cukur rambut. Inilah sebetulnya rangkaian ibadah haji.

 

Mengapa Arafah dinyatakan sebagai puncak ibadah haji, padahal kegiatan pasca-wuquf masih banyak? Inilah yang penting untuk diulas. Wuquf umumnya sebatas dimaknai dengan berhenti sejenak. Meski makna dan praktik ini tidak mengurangi keabsahan ibadah haji, namun makna ini belum menyentuh nilai dasar dan makna spiritualnya. Padahal, wuquf memiliki makna spiritual yang sangat mendasar.

 

Wuquf yang secara harfiyah bermakna ‘berhenti’ dapat dimaknai sebagai kebulatan tekad untuk menghentikan segala bentuk perbuatan dosa maupun berbagai perilaku rendah. Kebulatan tekad ini, sebagaimana kebulatan tekad Nabiyullah Ibrahim, semestinya akan mengantarkan seseorang untuk menghentikan seluruh perilaku dosa sejak saat itu hingga akhir hayatnya.

 

Wuquf dapat dimaknai sebagai kebulatan tekad untuk menetapkan nilai-nilai kebaikan sebagai potensi dasar yang dapat ditumbuhkembangkan dalam kehidupan individual, sosial, bangsa, dan negara. Wuquf juga bisa dimaknai sebagai kebulatan tekad untuk senantiasa merawat dan melestarikan nilai-nilai kebaikan sehingga bisa berdaya guna untuk kepentingan dunia dan akhiratnya.

 

Tentu saja, kebulatan tekad itu harus disertai dengan kegiatan nyata. Waktu wuquf yang diawali sejak tergelincirnya matahari, yang dikenal dengan istilah ba’da al-zawal, memberi pesan kepada kita akan kecenderungan hati untuk senantiasa mendekatkan diri (muqarabah) pada Allah. Kecenderungan hati ini disertai dengan keyakinan mendalam bahwa dalam melakukan apa pun dan dalam keadaan apa pun, manusia senantiasa dalam pengawasan Allah dengan sebutan muraqabah.

 

Ketika seorang jamaah haji sampai pada waktu wuquf, sesungguhnya ia telah berada dalam tahap pendakian puncak kesadaran. Meminjam istilah ma’rifat dari al-Ghazali, jamaah haji di tahap ini memiliki kesempatan untuk melihat berbagai rahasia aturan Allah dan tanda-tanda kebesaran-Nya. Dalam prosesi wuquf di Arafah, seorang jamaah haji diperlihatkan oleh Allah secara langsung keteraturan pada setiap ciptaan-Nya.
 

Bagi mereka yang sanggup menembus rahasia-rahasia keilahian saat haji dan mampu mencapai puncak kesadaran dalam ibadah hajinya, maka dia akan memasuki fase baru dalam hidupnya. Hidupnya akan berubah secara signifikan. Segala perilakunya diarahkan untuk melampaui apa yang selama ini menjadi kebiasaan yang lumrah. Seorang yang berhasil mencapai puncak kesadaran akan berusaha menembus dan melampaui batas-batas kelumrahan yang selama ini dikerjakan. Mereka menjadi sangat mudah melakukan hal-hal baik yang sebelumnya terasa berat dilakukan. Misalnya, dia mudah membantu orang lain sekalipun orang lain itu tidak pernah memberikan sesuatu padanya. Mereka juga mudah memberikan maaf sekalipun terhadap orang yang sering melakukan aniaya terhadapnya. Atau, mereka berusaha tetap membangun silaturrahim dengan orang yang telah sengaja memutus hubungan dengannya.

 

Haji yang sanggup melampaui prosesi ibadah fisik dan mampu menangkap berbagai rahasia agung ilahiyah inilah yang akan mengantar seseorang pada puncak kesadaran spiritual tertinggi. Di level ini, haji akan melahirkan manusia-manusia baru dengan kualitas ruhani dan perilaku yang istimewa. Inilah yang disebut haji mabrur, yang tidak ada imbalan apa pun yang layak baginya kecuali surga dari Allah swt.

 

                                                                                                            

Aswadi Syuhadak, Guru Besar UINSA Surabaya; Konsultan Ibadah Haji di Arab Saudi