Opini

Hubungan Agama dan Filsafat

Sab, 20 Oktober 2018 | 10:15 WIB

Oleh M. Kholid Syeirazi

Melihat gejala dogmatisme yang menjalar belakangan ini, saya usul selain pelajaran agama, sejak dini pelajar kita juga perlu diperkenalkan dengan filsafat. Filsafat akan membuat agama tidak berhenti menjadi kumpulan dogma. Jangan bayangkan filsafat sebagai barang abstrak yang mengawang-awang di langit. Dia adalah metode berpikir kritis-reflektif-radikal terhadap semua hal dan keadaan. Filsafat bukan sekadar ‘omong kosong’ metafisika yang membingungkan orang. Filsafat adalah perangkat kritis untuk membaca gejala dan fenomena. Bahkan filsafat menuntun kita berpikir kritis terhadap pikiran kita sendiri.

Pertama-tama, filsafat memberi tahu bahwa cara kita melihat gejala dan fenomena selalu mengenakan kacamata. Kacamata itu nama ilmiahnya paradigma atau mazhab. Kacamata itu ada yang sifatnya apriori alias bawaan dan ada yang aposteriori setelah pengenalan. Ini pandangan Immanuel Kant (1724 – 1804). Unsur apriori-nya adalah ruang dan waktu yang tidak bisa ditolak sebagai faktisitas. Unsur apriori ini terbawa sebelum kita melihat kenyataan.

Untuk apriori ruang, posisiku di sini dan posisimu di sana akan menghasilkan sudut pandang berbeda dalam melihat kenyataan. Dalam politik, kubu sini dan kubu sana akan memperoleh ‘tangkapan’ yang berbeda dari suatu keadaan. Diperbesar, orang Barat dan orang Timur punya bawaan apriori yang membuat mereka cenderung melihat sesuatu secara berbeda. Diperkecil, orang Papua dan Jakarta punya bawaan perspektif berbeda melihat masalah. 

Poinnya, filsafat mengajarkan relativitas tangkapan gambar karena apriori ruang. Relativitas itu diakui dan dirayakan. Bentuk lain apriori adalah waktu. Anda pasti pernah dengar pernyataan, “setiap zaman punya ukurannya sendiri.” Ukuran kebenaran, kebaikan, dan keindahan itu relatif. Apa yang benar, baik, dan indah bagi masa lalu belum tentu bagi masa sekarang. Artinya kebenaran, kebaikan, dan keindahan itu tidak absolut. Di titik ini kita perlu berterima kasih kepada Kant yang telah mengoreksi apriori rasio universal Cartesian. 

Descartes (1596-1650), pencetus Cartesianisme, disebut sebagai bapak filsafat modern, sekaligus bapak absolutisme (kebenaran absolut, kepastian absolut, metode absolut) berbasis rasio. Dampak pemutlakan itu adalah narasi tunggal, berlaku universal. Dalam pengetahuan, Cartesian menjelma dalam positivisme (August Comte - Ernst Mach). Dalam politik, menjelma dalam totaliterisme (Hegel-Müller). Ekonominya liberalisasi (Adam Smith). Politiknya demokrasi (Locke-Rousseau). Administrasinya Weberian (hirarkis-sentralistis). Manajemennya Taylorisme (efisiensi). Intinya adalah resep-resep tunggal, berlaku universal. Ibarat kata, teh botol-panadol (apa pun makanannya, teh botol minumannya; apa pun sakitnya panadol obatnya). Kalau mau maju, ikuti Barat (eurosentris). Tempuh rutenya, ikuti metodenya. 

Kita berterima kasih kepada Kant yang telah membongkar dogmatisme rasio Cartesian. Kita berterima kasih kepada Marx yang telah memperingatkan bahaya resep tunggal kapitalisme; Lenin yang menyadarkan risiko imperialisme kapitalisme; Teori Kritis Mazhab Frankfurt yang membeberkan patologi modernisme; Mercuse yang menyingkap tabir gelap demokrasi; dan Habermas yang mempertajam teori kritis Kant. Tidak lupa, kita perlu berterima kasih kepada para filsuf posmodernis. Meski banyak pemikirnya ‘sinting’ karena memikirkan hal-hal yang tidak lumrah (Nietzsche, Foucault, Derrida) tujuan mereka jelas: menolak narasi tunggal merayakan keragaman; menolak dogmatisme-postivisme, menentang universalisme.

Lalu apa urusan ‘ngalor-ngidul’ ngomong filsafat ini dengan agama? Kalau di Barat ada pemutlakan rasio selepas kungkungan seribu tahun abad gelap, di belahan dunia Islam sedang berlangsung pemutlakan agama dengan menolak filsafat. Kritikus keras filsafat adalah Imam al-Ghazali. Tetapi, karena kritiknya sangat filosofis, para pengikutnya terbuka kepada filsafat. Yang menolak mentah-mentah adalah Ibn Taymiyah dan pengikutnya yang kelak menjelma dalam Wahabisme. Mazhabnya kebenaran tunggal. Agama isinya dogma. Metodenya halal-haram, benar-salah. Paradigmanya absolut. Sudah pasti menolak filsafat karena dianggap merusak akidah. Narasi tunggal ini diminati orang-orang eksak yang terbiasa berpikir positivistik. Slogannya ala teh botol-panadol Cartesian: apa pun masalahnya, agama jalan keluarnya. Apa pun soalnya, khilafah solusinya. Paradigma narasi tunggal begini bahaya untuk masa depan peradaban. 

Saya menyimak khutbah Jumat belakangan ini. Temanya soal gempa dan bencana. Intinya khatib loncat ke agama, bicara soal azab dan sebagainya. Bagi saya, ini risiko beragama sebagai dogma. Kalau agama adalah nalar (ad-dîn aqlun), mestinya gempa dijadikan objek untuk mengeksplorasi pengetahuan kebumian sehingga melahirkan ilmu geologi. Gempa adalah ayat Allah untuk menghasikan ilmu, bukan loncat ke pengadilan moral. Agama perlu membersamai sains dalam menjelaskan kenyataan sehingga yang lahir bukan cacian gusar para pembela agama yang tidak paham caranya. 

Saya jelas menolak agama berhenti sebagai kumpulan dogma. Dalam Islam yang saya pahami, komponen dogma yang sifatnya qath’i absolut hanya 30 persen. Selebihnya disisakan Allah untuk organ paling mulia yang diciptakan-Nya: akal. 

Kita perlu belajar filsafat agar tidak dogmatis dalam beragama, dalam berilmu pengetahuan, dan bahkan tidak dogmatis terhadap pikiran dan persepsi kita sendiri. 

Melihat gejala dogmatisme agama sebagaimana terekam dalam banyak survei, saya kira semakin mendesak filsafat dan metode filosofis diperkenalkan sejak dini. Pesantren juga perlu mengenalkan kitab filsafat kepada santri. Kitab Ibn Rusyd, Fashl al-Maqâl fî Mâ baina al-Hikmah wa asy-Syarî‘ah min al-Ittishâl, yang dibuat untuk sedikit mereparasi damage serangan Imam al-Ghazali bisa dijadikan pengantar. Dalil pertama yang dikutip Ibn Rusyd agar orang Islam belajar filsafat adalah ayat: Fa‘tabirû yâ ulil abshâr (ambillah pelajaran wahai orang-orang yang punya nalar). Dulu Islam mengalami zaman emas pada masa Khilafah Abbasiyah abad ke-9 - 13 M karena buku-buku filsafat, bukan kitab-kitab fiqih. Di tengah dogmatisme agama dan dominasi pendekatan fiqih, filsafat perlu dijunjung tinggi lagi.


Penulis adalah Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)