Opini

Intervensi Negara dalam Urusan Agama Individu

Sel, 4 Mei 2021 | 02:30 WIB

Intervensi Negara dalam Urusan Agama Individu

Sebaiknya masyarakat diberikan kepercayaan untuk menjalankannya dengan kesadaran sendiri bukan dengan peraturan negara. Pemerintah mengatur dan memenuhi kebutuhan dasar warga yang berimplikasi luas.

Dalam wawancara dengan Gamal al-Banna, adik kandung Hasan al-Banna pendiri al-Ikhwan al-Muslimun, Mesir pada 1993, muncul pandangan kritis beliau tentang penerapan hukum Islam atau semacam perda syariah di Indonesia. Menurutnya, apa yang terjadi selama ini dalam hal tersebut sangatlah remeh atau yang oleh beliau sebut dengan ijra’un hazil. Dia memberi contoh: perintah berhenti bekerja untuk shalat berjamaah ketika mendengar adzan. Menurutnya, peraturan semacam ini bertentangan dengan ketetapan rentang waktu ibadah shalat. Waktu shalat Dhuhur adalah dari kumandang adzan Dhuhur hingga adzan Asar, biarkan orang melaksanakan antara rentang itu.


Gamal kemudian mengatakan, bahwa penerapan syariat hendaknya lebih pada masalah-masalah besar (makro strategis, penulis), seperti pembentukan Persemakmuran Negara-negara Islam (Islamic Commonwealth) meniru Persemakmuran Inggris yang mampu menjamin kemakmuran anggota. Meski bagi penulis apa yang disampaikannya telah terwakili oleh keberadaan Organisation of Islamic Cooperation (OIC/OKI), tapi pandangannya menunjukkan ketidaksetujuan intervensi negara dalam urusan agama privat.


Bagi Gamal, semacam shalat berjamaah tepat waktu, biarlah berada dalam wilayah informal tanpa diformalkan. 


Dalam ilmu manajemen, kecenderungan mengurusi semua sampai yang sekecil-kecilnya oleh atasan disebut dengan micromanagement. Pola ini dikenal tidak baik sebab menjadikan bawahan terus-menerus diintervensi dan diawasi oleh atasan dan berpengaruh negatif terhadap kualitas kerja. Ketidakpercayaan pada bawahan adalah salah satu penyebab yang membuat hilangnya motivasi dan kreativitas kerja. Padahal, kesuksesan kerja terletak pada kemampuan anak buah berkembang bukan pada pengawasan ketat yang bisa membuat tidak nyaman dan berpikir untuk hengkang. 


Dalam hal ini, dalam urusan keagamaan maka sebaiknya masyarakat diberikan kepercayaan untuk menjalankannya dengan kesadaran sendiri bukan dengan peraturan negara. Pemerintah mengatur dan memenuhi kebutuhan dasar warga yang berimplikasi luas. Pemerintah menciptakan infra-struktur pendidikan yang dengannya mereka mengetahui pentingnya menjaga nilai-nilai sosial dan agama dan mengamalkanya dengan penuh kesadaran. Intervensi negara dalam ibadah privat seperti shalat, bisa mengurangi kelonggaran yang diberikan syariat seperti pelaksanaannya pada rentang waktu yang panjang, tanpa harus on time saat kumandang adzan, seperti kata Gamal. Intervensi ini juga memunculkan masalah-masalah teknis dan menambah beban negara yang tidak sedikit. 


Materi syariat Islam amatlah banyak mulai dari yang wajib dikerjakan hingga yang wajib ditinggalkan. Mulai dari yang sebaiknya dikerjakan (sunnah) dan yang sebaiknya ditinggalkan (makruh) dan yang berada pada posisi antara keduanya yaitu boleh/netral (mubah). Lebih lanjut, masing-masing hukum tadi jika ditelisik terbagi dalam beberapa varian. Kitab Nihayat al-Sul Sharh Minhaj al-Wusul karya ‘Abd al-Rahim al-Asnawi (w. 772 H), yang membahas kaidah-kaidah hukum Islam (usul fiqh), membagi wajib menjadi wajib muwassa’ (longgar), mudlayyaq (sempit), mukhayyar (pilihan), muhtam (tak terelakkan) kifayah (kolektif), dan ‘ain (individual). Dari yang longgar bisa bergeser ke sempit manakala waktu yang tersedia mepet (seperti dalam shalat). Dan masing-masing yang pada posisi pertama bisa bergeser ke yang kedua tergantung kondisinya. Kewajiban agama ada yang bisa ditunda dan ada yang gugur manakala alternatif telah dilakukan (mukhayyar) dan ada yang gugur jika sudah ada orang lain yang telah mengerjakannya. Ini semua bersifat kondisional dan yang bisa menilai adalah individu. Pemahaman yang memadai adalah yang perlu dimiliki dan selanjutnya kesadaran individu yang menentukan. 


Recep Tayyip Erdogan, presiden Turki, berpandangan sama terkait formalisasi syariah. Seperti dalam kasus pemakaian jilbab bagi muslimah, dia berpandangan biarlah hal itu menjadi kesadaran wanita muslimah untuk memakai atau tidak memakainya yang penting jangan sampai negara melarang jilbab seperti selama ini di Turki. Ini dikatakan setelah penguasa Turki itu berhasil melegalkan (membolehkan) pemakaian jilbab di kampus, instansi pemerintahan dan ruang publik setelah sebelumnya terlarang. Bahkan Erdogan tidak melarang penjualan miras seperti yang dia katakan pasca-meledaknya bom di klub malam di Angkara pada 2017 hingga jatuh 39 korban nyawa yang memunculkan tuduhan bahwa ini akibat Islamisasi Erdogan. Pihak kepresidenan menjawab dengan mengutip ucapan Erdogan: “Saya mengabdi sebagai perdana menteri selama 14 tahun. Perkara gaya hidup warga (saya) tidak pernah intervensi dan demikian seterusnya”.


Dalam kejadian lain Erdogan berkata: “Tidak ada urusan gaya hidup warga yang secara sistematis terancam. Katakan siapa yang mengintervensi urusan makan, minum, dan busanamu!” (Lihat bbc.com). Di sini tampak Erdogan tidak setuju negara terlibat dalam urusan ketaatan individu kepada agama. Erdogan fokus pada pembangunan negara dan persaingannya dengan negara-negara Eropa dan dia pun sukses mewujudkan itu.

 

Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya