Opini

Isu Jilbab di Indonesia, Turki, dan Mesir

Sel, 16 Februari 2021 | 09:30 WIB

Isu Jilbab di Indonesia, Turki, dan Mesir

Ketaatan beragama adalah proses kesadaran yang tidak instan dan merupakan bagian hak kebebasan individu.

Pada 3 Februari 2021, keluar SKB 3 menteri di mana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri sepakat tidak memperkenankan sekolah negeri mewajibkan peserta didik untuk memakai jilbab atau busana kekhasan Muslimah; apalagi mewajibkannya kepada non-Muslim. Pakaian seragam sekolah telah diatur dalam permendikbud 45 tahun 2014 dan menjadi kewajiban pengelola sekolah negeri untuk mengikutinya.

 

SKB ini mendapat kritik Majelis Ulama Indonesia (MUI). Mereka menuntut revisi SKB agar sekolah negeri diperkenankan mewajibkan murid Muslimah untuk memakai jilbab dan tidak dikenai sanksi administratif karenanya. MUI berpandangan bahwa sebagai pendidik, sekolah berhak melakukan itu demi pembiasaan murid berbusana sesuai perintah agama. Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, yang mendukung ketaatan beragama seperti tercermin dalam kebijakan sekolah mewajibkan anak didik memakai jilbab.

 

Tidak hanya di Indonesia bahkan di belahan dunia Islam yang lain, seperti Turki, dan negara-negara barat, jilbab menjadi isu yang kerap diperdebatkan. Terutama dalam kaitannya dengan seragam sekolah dan instansi pemerintahan. Perdebatan meliputi: pelarangan pemakaian jilbab, pewajiban jilbab, dan pelepasan jilbab atau pembolehan tidak memakai jilbab di lembaga yang mewajibkannya.

 

Dahulu, pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an di era rezim Soeharto, pemakaian jilbab dilarang di sekolah-sekolah negeri. Penulis teringat pada saat itu datang beberapa siswi Sekolah Menengah Umum di Surabaya ke kantor Koordinasi Masjid (Koormas) Kota Surabaya untuk minta dukungan karena telah dilarang menggunakan jilbab di sekolah. Jilbab pun menjadi isu nasional hingga KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur selaku ketua umum PB Nahdlatul Ulama angkat bicara agar pemakaian jilbab tidak dipermasalahkan pemerintah.

 

Pelan tapi pasti, perjuangan jilbab akhirnya menuai hasil. Pemerintah menetapkan seragam sekolah negeri dua model: biasa dan berjilbab. Ini terjadi setelah munas MUI 1990 yang merekomendasikan peninjauan seragam sekolah hingga akhirnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan SK No. 100/C/Kep/D/1991: ”Siswi (SMP dan SMA) yang karena keyakinan pribadinya menghendaki penggunaan pakaian seragam sekolah yang khas dapat mengenakan pakaian seragam khas yang warna dan rancangan sesuai lampiran III dan IV.” Seragam khas dimaksud tidak lain adalah busana Muslimah dengan jilbab.

 

Gelombang jilbab terus bergelora terutama di kampus-kampus ternama. Emha Ainun Najib menggelar pentas kolosal Lautan Jilbab dan tampil di banyak kampus dan menggemakan puisi Lautan Jilbab:

 

Jilbab adalah keberanian di tengah hari-hari sangat menakutkan.
Jilbab adalah percikan cahaya di tengah-tengah kegelapan.
Jilbab adalah kejujuran di tengah kelicikan.
Jilbab adalah kelembutan di tengah kekasaran dan kebrutalan.
Jilbab adalah kebersahajaan di tengah kemunafikan.
Jillbab adalah perlindungan di tengah sergapan-sergapan.

(Emha Ainun Najib)
 

 

Perkembangan Jilbab

Setelah jilbab sudah tidak lagi dilarang, perkembangan selanjutnya pemakaian jilbab di sekolah-sekolah negeri amatlah masif. Non-hijabis kini seolah menjadi minoritas baru di Indonesia. Dari yang semula dilarang, berubah menjadi boleh dan tuntutan naik di mana ada sekolah negeri yang mewajibkan pemakaian jilbab hingga bagi non-Muslim. SMK Negeri 2 Padang pada Januari kemarin menjadi sorotan karena kasus tersebut. Rupanya di SMAN 2 Rambah Hilir, Rokan Hulu, Riau dan tiga sekolah negeri di Yogyakarta terjadi kasus serupa, pemaksaan non-Muslim memakai jilbab.

 

Bagi penulis, hal ini tidak selalu dimaknai sebagai tindakan koersif atau pemaksaan tapi bisa jadi motif penyeragaman membuat pengambil kebijakan lupa batas materiil. Tuntutan seragam sama membuat mereka memutuskan pilih salah satu: jilbab semua atau tidak semua. Di awal pelarangan jilbab pada 1980-an, alasan serupa muncul di mana pemakaian jilbab membuat baju sekolah tidak seragam. Sekarang kebalikannya, karena mayoritas berjilbab, maka yang tidak berjilbab menjadi tidak seragam sehingga diharuskan mengikuti mayoritas jilbab. Kasus pewajiban jilbab bagi non-Muslim dengan demikian ber-mindset sama dengan masa Orde Baru yang anti-keragaman. Pewajiban jilbab atas siswi Muslim pun dinilai oleh SKB 3 Menteri melanggar kebebasan beragama. "SKB 3 menteri melindungi hak dan kebebasan beragama sesuai dengan peraturan yang berlaku"; “Tak Ada Kewajiban dan Larangan Pakai Jilbab ataupun Salib", kata Jumeri Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Dasar, dan Menengah (Paudasmen) seperti dikutip dari di JPNN.com. 

 

Ketaatan beragama adalah proses kesadaran yang tidak instan dan merupakan bagian hak kebebasan individu. Kewajiban menganut agama sesuai sila Ketuhanan yang Maha Esa tidak berarti pemaksaan menjalankan perintah agama. Sangat banyak materi agama dan biarlah penganut menjalankan sesuai kemampuannya secara bertahap. SKB 3 Menteri turun untuk menghindari sekolah berlaku eksesif baik positif seperti pewajiban jilbab bagi non-Muslim, dan negatif seperti pelarangan memakai jilbab bagi siswi Muslim di daerah mayoritas Hindu seperti di Bali atau Kristen seperti di Papua.

 

Turki

Jika pada 1991, Indonesia sudah melegalkan pemakaian jilbab bagi siswi sekolah, Turki baru melegalkan pada Februari 2008 saat Erdogan masih perdana menteri. Turki yang berpegang pada sekularisme mengkhawatirkan legalisasi jilbab akan menggerus ideologi tersebut. Mereka berpandangan bahwa dunia pendidikan adalah urusan duniawi yang seharusnya tidak dicampuri agama. Dunia pendidikan dan keilmuan menuntut orang untuk bebas berpikir dan berkreasi sementara agama, sebaliknya, mengharuskan orang untuk taat tanpa terkecuali. Mereka juga ingin mempertahankan haluan Barat dan Eropa dalam tata sosial-politik mereka, bukan Islam dan Arab. Pelonggaran pemakaian jilbab pun bertahap dilakukan di Turki. Mulai dari kampus, fasilitas publik, instansi pemerintahan, hingga militer.

 

Mesir

Di Mesir, pada 1990an (entah sekarang?!) Universitas al-Azhar tidak menolak mahasiswi yang tidak berjilbab untuk kuliah di sana. Meski ia adalah lembaga Islam, ia tidak serta merta memberlakukan kewajiban busana Muslimah secara keras saat itu. Al-Azhar pun tak luput dari kontroversi seputar jilbab. Ketika majalah resmi al-Azhar, Sawt al-Azhar pada September 2018 mengusung isu “Pelecehan Seksual” dan menampilkan sampul 30 wajah wanita yang menyampaikan pandangan mereka terkait isu. Karena ada yang tidak berjilbab, sampul itu menjadi sasaran serang kelompok tertentu. Mereka menuduh al-Azhar mendukung wanita untuk tidak berjilbab. Padahal bagi al-Azhar, hal itu untuk menunjukkan fakta keberagaman Muslimah. Sebuah pembahasan idealnya merepresentasikan semua kelompok bukan didominasi kelompok tertentu (berjilbab) tanpa yang lain (tak berjilbab) (lihat hafryat.com).


 

Al-Azhar juga mengeluarkan fatwa dilarang sedikit pun melecehkan dan merendahkan wanita yang tidak berjilbab. Siapa yang melakukan itu, berarti melanggar perintah agama dan tidak berhati nurani. Antara memakai hijab dan akhlak adalah dua hal yang berbeda. Orang bisa berjilbab tapi tidak berakhlak dan bisa sebaliknya, tidak berjilbab tapi berakhlak. Sehingga tidak boleh memandang buruk orang yang tidak berjilbab dengan menganggapnya wanita rendahan apalagi murahan. Fatwa tersebut juga mengatakan bahwa kualitas individu seseorang hanya Tuhan yang tahu. Tidak bisa menilai seseorang hanya dari lahirnya saja (lihat youm7.com).

 

Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya