Opini

Rumus Kebahagiaan Imam Al-Ghazali

Sel, 2 Februari 2021 | 08:35 WIB

Rumus Kebahagiaan Imam Al-Ghazali

Ilustrasi Imam Al-Ghazali. (NU Online)

Oleh Mahmud Yunus Mustofa


Kebahagiaan adalah suatu tujuan yang ingin dicapai oleh semua orang, tak terkecuali di tahun 2021 ini. Tentu saja masing-masing pribadi berbeda dalam menafsirkannya. Sebagian orang memahaminya dengan keadaan di mana ia memiliki pangkat yang tinggi dan harta yang melimpah, itulah orang yang memahami kebahagiaan melalui cara pandang kaum materialis. Sebaliknya, jika kebahagiaan dipahami sebagai bagian dari pencapaian apapun itu walaupun sederhana, berarti ia memahaminya dari sudut pandang kaum idealis. Lantas bagaimana dengan Anda?


Penulis memahami bahagia adalah sebuah keadaan di mana seorang individu senantiasa aktif untuk melakukan hal yang positif. Karena pada dasarnya bahagia tidak hanya bisa didapatkan begitu saja, melainkan harus diperoleh melalui jalan yang tentunya dinamis. Kebahagiaan juga penulis pahami sebagai sebuah kepercayaan, keinginan dan pola pikir. Kepercayaan akan adanya Tuhan, keinginan untuk bertemu dengan sang pencipta dan pola pikir yang positif akan segala hal.


Seorang Fisikawan kenamaan, Albert Einstein juga dikenal lewat theory of happiness-nya, Ia mengatakan: A calm and modest life brings more happiness than the pursuit of success combined with constant restlessness.

 

Ilmuwan penemu teori relativitas itu menyebutkan bahwa hidup yang tenang dan sederhana membawa lebih banyak kebahagiaan daripada mengejar kesuksesan yang dikombinasikan dengan kegelisahan yang terus menerus. Baginya kebahagiaan mengajarkan kita kepada kebenaran yang mendalam (profound truth) berdasarkan nilai bukan materi.


Jauh sebelumnya, Imam Al-Ghazali yang dikenal sebagai sang “Hujjatul Islam”, memahami kebahagiaan ini adalah sebuah proses, di mana siapa pun bisa meraihnya. Tentu hanya orang-orang tekun yang mampu mendapatkannya, bukan jalan dan laku orang biasa. Proses ini ia tuangkan dalam risalahnya yang berjudul Kimiya’ as-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan).


Karya beliau memiliki folosofi yang sangat dalam. Penulis Ihya’ Ulumiddin ini menyebutkan sebuah proses manusia sebagai salik senantiasa meniti jalan kebahagiaan melalui laku mujahadah yang terus menerus, sehingga sampailah ia kepada musyahadah karena tersingkapnya tabir antara makhluk dan sang khalik. Kenikmatan inilah yang ia maknai sebagai  kembalinya manusia kepada sang pencipta an-Tarji’a Min ad-Dunya Ila Allah. Karena pencapaian ini baginya adalah nikmat kebahagiaan yang tak terkirakan. Lalu, bagaimana kita bisa meraihnya?


Ma’rifat an-Nafs, sebuah Analisis SWOT


Al-Ghazali berpandangan bahwa yang paling pertama harus dilakukan seorang salik adalah mengenali dirinya sendiri karena ini merupakan kunci untuk mengenal Allah Swt. Baginya tidak ada yang lebih dekat dari dirimu kecuali diri sendiri. Orang yang sudah masuk dalam maqam ini disebut sebagai ‘arif.


Orang ‘arif adalah orang yang telah mengenal dirinya dan Tuhannya. Seperti apa yang disabdakan oleh Nabi Saw: “Barang siapa yang mengenal dirinya maka benar-benar mengenal Tuhannya”. Maka dari itu pengenalan diri sebagai manusia sangatlah penting guna mencapai derajat selanjutnya yaitu mengenal Allah Swt.


Jika kita lihat, usaha ini bisa dikategorikan sebagai analisis SWOT terhadap diri sendiri. Analisis ini dilakukan agar kita mengetahui kualitas diri dengan seksama. Hal ini penting dilakukan terutama di awal tahun seperti sekarang ini. Tujuannya agar kita mengetahui kekuatan (strengths) apa yang kita miliki, kelemahan (weaknesses) apa yang harus kita benahi. Sehingga kita bisa menganalisis apa yang menjadi kesempatan (opportunities) di kemudian hari, serta mengantisipasi ancaman (threats) yang mungkin akan dihadapi.

 

Mujahadah, upaya optimalisasi diri 


Ketika seseorang sudah mengetahui kekuatan serta kelemahan yang ada dalam dirinya, step selanjutnya adalah mengoptimalkan apa yang ia miliki. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekuranganya masing-masing. Fokus kepada pengembangan kapasitas diri menjadi salah satu jalan agar kekuatan yang dimiliki bisa senantiasa dimaksimalkan.


Mujahadah yang dianjurkan oleh Imam Al-Ghazali tidak hanya dimaknai sebagai laku spiritual dengan zikir dan berdoa semata. Melainkan dengan menyeimbangkan (balancing) antara keduanya. Tentunya doa tanpa dibarengi dengan adanya usaha yang maksimal akan sia-sia, begitu juga sebaliknya.


Mujahadah harus dimaknai sebagai kesungguhan yang optimal, karena barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil, man jadda wajada. Perilaku optimis ini penting ditanamkan dalam diri, agar segala macam kegiatan yang kita lakukan menjadi maksimal.


Sa’adah, sebuah pencapaian akhir


Step by step yang telah diajarkan oleh Imam Ghazali harus dilakukan dengan maksimal. Dimulai dari pengenalan diri, melakukan analisis SWOT, kemudian bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu, dengan itu bukan tidak mungkin kebahagiaan akan tercapai.


Di tengah kondisi global yang belum menentu, pandemi yang tak kunjung usai, ada satu hal yang tak boleh dilupakan oleh kita yaitu: “jangan lupa bahagia”. Kalimat ini mungkin sederhana, tetapi jika di sugestikan ke dalam alam bawah sadar kita maka akan memunculkan sikap optimis di segala hal. Kalimat ini juga menjadi stimulus agar pekerjaan yang kita jalani menjadi ringan karena dilakukan dengan hati yang bahagia. Mindset ini juga bisa menjadi imun bagi tubuh kita, agar pikiran tetap terjaga nalar positifnya, sehingga bisa memunculkan ide-ide kreatif yang tentunya menjadikan kita semakin produktif.


Tahun 2021 bisa saja menjadi gelap atau pun terang tergantung kepada kita sendiri, cerah redupnya berdasar dari pola pikir yang kita miliki. Agar narasi tahun ini memiliki akhir yang bahagia happy ending, maka mari kita isi episode awal ini dengan skenario yang positif, agar walaupun di tengah cerita nanti terjadi dinamika, namun tetap memiliki akhir yang bahagia. Lantas, sudahkah anda bahagia hari ini? 


Penulis adalah mahasiswa pascasarjana UIN Walisongo Semarang, Pengajar di Pondok Pesantren An-Nahdliyah Banyuputih Batang