Opini

Jangan Sok Tahu tentang Makna Bencana!

Rab, 3 Oktober 2018 | 14:00 WIB

Di kalangan umat Islam, selalu saja ada silang pendapat tentang makna bencana setiap kali terjadi gempa bumi dan Tsunami seperti yang terjadi di Aceh pada tahun 2004 dan di Palu baru-baru ini. Sebagian orang memaknainya sebagai azab dari Allah SWT, dan sebagian yang lain memaknainya sebagai ujian dari-Nya. Perbedaan memaknai itu berimplikasi pada sikap mereka terhadap para korban bencana.
 
Adalah George W. Bush, Presiden ke-43 Amerika Serikat, salah seorang yang melontarkan kritikannya kepada pemerintah negara-negara Arab pada awal tahun 2005 karena mereka dinilainya lamban merespons bencana Tsunami di Aceh pada akhir Desember 2004. Kelambanan ini bisa jadi karena para pemimpin negara-negara petrodolar itu masih mempertanyakan apa makna bencana Tsunami itu sebelum akhirnya mengirimkan bantuannya kepada para korban di Aceh.
 
Sikap seperti itu memang berbeda dengan sikap para pemimpin negara-negara Barat yang dengan cepat memberikan bantuan kepada pemerintah Indonesia guna mengatasi banyaknya persoalan kemanusiaan terkait dengan bencana Tsunami di Aceh yang merenggut ratusan ribu jiwa manusia dan meluluhlantakkan hampir seluruh bangunan di sana. 
 
Ada kecenderungan, orang-orang yang memaknai bencana sebagai azab dari Tuhan lebih sulit diharapkan solidaritas sosialnya terhadap para korban. Seringkali mereka malahan melakukan blaming the victims, yakni menyalahkan para korban dengan misalnya, mengatakan bencana itu terjadi sebagai hukuman dari Tuhan akibat mereka berbuat banyak dosa. Beberapa tokoh di Indonesia masih saja ada yang memegang makna ini termasuk yang terkait dengan gempa bumi dan Tsunami di Palu pada 28 September lalu.
 
Sikap seperti itu berbeda dengan mereka yang memaknai bencana sebagai ujian dari Allah SWT. Umumnya, mereka lebih berempati dan mudah mengulurkan bantuan-bantuan yang diperlukan para korban. Mereka juga mendoakan yang baik-baik bagi para korban yang meninggal dunia seperti memohonkan husnul khatimah, dan kesabaran bagi korban yang selamat namun mengalami berbagai macam luka dan patah tulang serta kerugian-kerugian lain.
 
Paradoksnya, mereka yang tidak mengaitkan bencana dengan agama terkadang lebih cekatan dalam merespons para korban dengan mengirimkan apa saja yang diperlukan dalam rangka meringankan beban mereka. Mereka ini umumnya melihat para korban bencana semata-mata dari kacamata kemanusiaan tanpa dipusingkan dengan persoalan-persoalan teologis yang sebetulnya memang bisa dipilahkan dan bukan merupakan urusan mereka. 
 
Seharusnya memang, para korban bencana segera kita bantu tanpa mempersoalkan apa makna bencana itu bagi para korban di hadapan Tuhannya. Hal ini untuk menghindari jangan sampai mereka mengalami apa yang disebut sudah jatuh tertimpa tangga pula. Mereka sudah kehilangan harta benda dan bahkan nyawa, mengapa masih dituding sebagai manusia yang diazab Tuhan. 
 
Sikap seperti itu tidak etis dan tidak sesuai dengan petunjuk di dalam Al-Qur'an, surat Al-Baqarah, ayat 156, yang mengisyaratkan bahwa ketika sebuah musibah menimpa orang-orang mukmin maka hendaklah mereka bersabar dan mengembalikan permasalahannya kepada Allah subhanu wataála.  Ayat itu berbunyi: 
 
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
 
Artinya: “Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.”
 
Ayat di atas seharusnya menjadi rujukan bahwa sebagai sesama manusia dan mukmin hendaklah kita memiliki solidaritas kepada mereka yang tertimpa bencana, dan mengembalikan makna bencana itu kepada Allah Yang Maha Menghendaki dan Maha Tahu, dan bukan malah sok tahu tentang maknanya. Apalagi jika hanya bermaksud menghakimi para korban sebagai orang yang diazab Tuhan. Hal seperti ini sudah pasti amat menyakitkan tidak saja bagi korban itu sendiri tetapi juga bagi orang-orang yang menaruh hormat dan cinta mendalam kepada mereka. 
 
Kita patut belajar dari sikap yang ditunjukkan KH Husein Muhammad dari Cirebon ketika ditanya tentang kenapa bencana sebagai hukuman Tuhan tidak melanda daerah-daerah yang dikenal banyak maksiat atau negeri-negeri kafir. Pertanyaan itu tentu terkait dengan bencana yang melanda Palu yang mayoritas berpenduduk Muslim pada Jumát lalu. 
 
Sebagaimana ditulis dalam akun Facebooknya pada tanggal 30 September lalu, Buya Husein Muhammad menulis singkat, “Aku tidak menjawab.” Artinya beliau menghindari sikap sok tahu terkait makna bencana dengan tidak memberikan jawaban kecuali kalimat singkat itu. 
 
 
Muhammad Ishom adalah dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.