Opini

KB Seharusnya Dilakukan Laki-laki, Bukan Perempuan

Jum, 5 Januari 2018 | 15:30 WIB

KB Seharusnya Dilakukan Laki-laki, Bukan Perempuan

Ilustrasi (via ok.ru)

Oleh Muhammad Ishom

Program Keluarga Berencana (KB) tidak hanya cocok untuk mengatur jarak kelahiran anak bagi pasangan suami istri (pasutri) yang sudah dikaruniai anak, tetapi juga efektif untuk mencegah kehamilan bagi pasangan baru yang karena alasan tertentu menunda punya anak. Setidaknya inilah pengalaman saya dalam berumah tangga bersama istri saya sejak kami menikah pada tahun 1991, atau tepatnya sejak 26 tahun lalu. 

Waktu itu di bulan September 1991 kami sepakat menikah secara resmi di depan naib dan dihadiri banyak tamu. Tetapi sebelum akad pernikahan berlangsung, saya telah menyepakati permintaan istri saya untuk tidak segera punya anak dan menunggu hingga kuliah selesai. Alasannya adalah saat itu ia baru berumur 19 tahun dan duduk di semester 2 di bangku kuliah. Ia tidak ingin kuliahnya terhenti hanya karena sudah berstatus menjadi seorang ibu.

Keputusan saya memenuhi permintaan istri saya untuk punya anak setelah kuliah selesai didorong oleh kesadaran saya bahwa jangan sampai gara-gara menikah di usia muda, istri saya kehilangan kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan tingginya. Bukankah seorang istri akan bertindak sebagai ibu sekaligus pendidik pertama bagi anak-anak dalam keluarga? Artinya niat baik seorang istri untuk menyelesaikan pendidikan tinggi harus diapresiasi dan didukung penuh oleh suami. 

Pernikahan Muda

Usia 19 tahun menikah bagi perempuan memang tergolong muda. Dan inilah yang disebut pernikahan muda yang oleh Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada tahun 2017 di Cirebon direkomendasikan agar batas minimal usia pernikahan bagi perempuan adalah 18 tahun dari semula 16 tahun sebagaimana ketetapan dalam UU No 1 tahun 1974, Tentang Perkawinan. 

Banyak pihak skeptis dengan masa depan pernikahan muda karena banyak fakta menunjukkan, antara lain, pernikahan di usia ini rawan perceraian karena masing-masing pihak dari pasutri belum cukup matang terutama secara mental untuk berumah tangga. Tetapi dalam pandangan saya, pernikahan muda bagi perempuan itu baik, terutama dari sudut pandang sosial dan agama, asal dalam konteks sekarang usia minimal adalah 18 tahun sebagaimana rekomendasi KUPI di atas. Hal yang mungkin kurang baik dari perkawinan muda adalah punya anak dini karena hal ini bisa sangat merepotkan perempuan. 

Dalam kasus perkawinan saya dengan istri, usia saya waktu itu sudah 28 tahun. Dari segi usia, saya sudah siap punya anak dan saya sudah bekerja jauh sebelum saya lulus kuliah. Tapi tidak demikian bagi istri saya. Oleh karena itu kesanggupan saya untuk tidak membuatnya punya anak hingga kuliah selesai membawa konsekuensi untuk melakukan program KB guna mencegah kehamilan pada istri saya. 

KB Laki-laki

Usaha mencegah kehamilan pada istri saya tidak bisa kami hindarkan. Memang, seseorang tidak harus segera punya anak setelah menikah. Menurut saya, memiliki anak akan lebih maslahah bagi semua pihak ketika suami istri telah siap baik secara material maupun spiritual. Tetapi soal menikahnya sendiri bisa lebih awal demi menjaga farji (alat kelamin) dan pandangan mata bagi laki-laki maupun perempuan. Kedua hal ini sangat ditekankan di dalam Al-Qur’an. (Q.S. An-Nuur: 30-31 dan Al-Mu’minuun: 1-5). 

Hal yang kami lakukan untuk menunda punya anak adalah dengan ber-KB. Tetapi sejak awal pernikahan kami, saya menolak KB perempuan. Bagi saya, KB seharusnya dilakukan oleh laki-laki. Alasannya adalah yang memiliki sperma itu mereka. Sperma inilah yang menjadikan perempuan hamil. Jika yang menghamili itu laki-laki, kenapa mesti perempuan yang diobok-obok dengan dipasangi spiral, atau dengan disuntik. Atau pula dengan disuruh menelan pil KB setiap hari. Bukankah ini pengkambing hitaman? Bukankah ini ketidak adilan? Bukankan ini hanya menambah beban perempuan? 

KB perempuan memang tidak bisa masuk di akal saya. KB seharusnya dilakukan oleh laki-laki sebagaimana sebelum berkembang majunya teknologi. Teknologi ternyata bias gender juga karena ia lebih banyak dikendalaikan oleh laki-laki. Di zaman Rasulullah SAW, KB telah dipraktikkan para sahabat dengan metode ‘azl (coitus interruptus), yang dalam bahasa Indonesia disebut “senggama terputus”. Metode ini tidak dilarang oleh Rasulullah SAW. Dan saya mengikuti cara ini sejak saya menikah hingga sekarang ini di tahun 2018.

Alhamdulillah, dengan pertolongan Allah SWT kami dikaruniai anak pertama pada tahun 1997 ketika istri saya sudah menyelesaikan studinya. Saat itu usianya genap 25 tahun – usia yang sangat ideal untuk melahirkan pertama kali dalam pandangan ilmu kedokteran kontemporer. Di saat wisuda, istri saya menunjukkan rasa syukur dan kebahagiaan tersendiri yang mendalam karena mendapatkan tiga kebahagiaan sekaligus.

Ketiga kebahagiaan itu adalah pertama, bahagia karena telah mendapatkan ijab sah dengan memiliki seorang suami. Kedua, bahagia karena telah mendapatkan momongan - seorang bayi laki-laki. Ketiga, bahagia karena telah mendapatkan ijazah yang memungkinkannya menjadi seorang guru profesional di kemudian hari. Kini kami telah dikaruniai 2 anak laki-laki yang cakep-cakep dan insya Allah saleh-saleh. Semoga, amin!

 
Penulis adalah dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta