Opini

Kebijakan Normal Baru, Situasi Darurat Pasca-PSBB

Jum, 29 Mei 2020 | 04:30 WIB

Kebijakan Normal Baru, Situasi Darurat Pasca-PSBB

Inilah sekian dilema yang mesti dipertimbangkan oleh setiap pemangku kebijakan. Darurat tetaplah darurat, bukan normal yang darurat.

Oleh Rokan Darsyah
 
Pada umumnya, panduan pengendalian Covid-19 di lingkungan kerja selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan pasca-PSBB dalam Kepmenkes No. HK.01.07/MENKES/328/2020 tidak memiliki perbedaan yang cukup berarti. Misalnya kewajiban otoritas/manajemen di tempat kerja baik selama PSBB maupun pasca-PSBB pada pokoknya tetap sama.

Kewajiban-kewajiban itu pertama, berkenaan dengan perencanaan yaitu dengan pembentukan tim dan prosedur teknis kontekstual; kedua, penyediaan fasilitas, seperti thermogun, disinfektan, sarana cuci tangan (sabun dan hand sanitizer), alat pelindung diri (APD) untuk petugas pengukur suhu, dan jika memungkinkan penyediaan transportasi untuk para pekerja guna mengurangi penggunaan transportasi publik.

Ketiga, berkaitan dengan pemeriksaan atau pengawasan, penatalaksanaan dan edukasi, yaitu dengan melakukan pemeriksaan suhu dan self assessment harian; pengaturan dan pengawasan phyisical distancing minimal 1 meter; penyediaan poster edukasi Covid-19. Yang terakhir adalah tahapan pelaporan dan koordinasi manajemen dengan puskesmas dan dinas kesehatan setempat jika ditemukan pekerja terkena OTG, ODP, PDP atau terkonfirmasi Covid-19.

Kesamaan substansi panduan antara di masa PSBB dan pasca-PSBB menjadi indikasi bahwa pemerintah memberlakukan suatu tindakan yang ditujukan untuk memitigasi risiko pada situasi darurat (yaitu PSBB) terhadap situasi yang sudah “dianggap” tidak darurat (situasi pasca-PSBB). Lihat pasal 49 UU No. 6/2018.

Situasi darurat atau kedaruratan kesehatan di suatu wilayah adalah alasan utama dari pemberlakuan PSBB di wilayah tersebut. Arti “situasi darurat” mungkin dapat lebih jelas dipahami jika dibandingkan dengan situasi lainnya.

Jika menimbang terminologi yang umum digunakan dalam standar keselamatan kerja dan perlindungan lingkungan,–dan ini bisa dibandingkan dengan UU No. 1/1970 dan UU No. 32/2009 beserta peraturan turunannya–maka terdapat istilah (1) rutin/normal; (2) nonrutin/abnormal; dan (3) darurat untuk mendefinisikan tiga jenis situasi yang berbeda dengan tindakan penanganan yang berbeda pula.

Salah satu definisi situasi darurat yang diambil dari standar internasional terkait keselamatan kerja dan lingkungan, yaitu ISO 45001:2018 dan ISO 14001:2015. Dari sini dapat dipahami bahwa situasi darurat adalah kejadian tidak diinginkan atau tidak direncanakan, yang membutuhkan tata laksana mendesak dan segera, dengan proses, sumber daya, atau kompetensi/keahlian khusus untuk mencegah atau memitigasi konsekuensi aktual dan potensialnya.

Jadi, jika dipahami bahwa situasi darurat adalah penyebab adanya terminologi PSBB, maka seharusnya “PSBB” baru bisa menjadi “pasca-PSBB” jika situasi penyebab PSBB tersebut telah dianggap tidak ada, yaitu situasi darurat telah menjadi normal/rutin kembali.

Namun jika melihat substansi panduan masa pasca-PSBB dalam Kepmenkes yang dimaksud, maka seolah situasi yang dihadapi pada pasca-PSBB adalah masih dalam situasi darurat. Mungkin inilah yang dapat dipahami sebagai normal baru (new normal), yaitu situasi darurat yang dianggap sebagai sesuatu yang sudah normal/rutin.

Penerapan istilah “normal baru” terhadap pandemi yang masih mewabah dapat memunculkan kontradiksi. Hal ini terjadi karena definisi “normal” tentu tidak mengandung adanya unsur keterdesakan serta penanganan/ tata laksana khusus sebagaimana yang merupakan unsur dari definisi “situasi darurat.”

Dapat diartikan juga, Kepmenkes yang ditandatangani tanggal 20 Mei 2020 ini seolah telah meramalkan bahwa Indonesia memang tidak akan pernah kembali normal, yaitu kembali hidup tanpa physical distancing dan penerapan protokol Covid-19. Sebab, relaksasi-relaksasi dari situasi darurat yang wajar diperoleh pada keadaan normal atau situasi yang seharusnya terjadi pada pra dan pasca-PSBB, ternyata tidak ditemui pada pengaturan situasi pasca-PSBB dalam Kepmenkes ini.

Dapat diduga bahwa penggunaan terminologi pasca-PSBB dalam Kepmenkes ini merupakan bagian dari persiapan pemerintah dalam pencabutan pemberlakukan kedaruratan kesehatan masyarakat di suatu wilayah sesuai UU No. 6/2018 dengan seluruh dampaknya. Sebagaimana diketahui, sesuai UU Kekarantinaan Kesehatan, otoritas dalam menetapkan dan mencabut kedaruratan kesehatan masyarakat berada pada pemerintah pusat melalui permohonan dari pemerintah daerah.

Hal yang menggelitik adalah, jika adagium “badai pasti berlalu” benar terjadi, dan pandemi ini benar-benar berakhir setelah pemberlakuan kedaruratan di wilayah telah lama dicabut, lalu pemerintah akan mendefinisikan apa kondisi tersebut? Apakah menggunakan terminologi “pasca-(pasca-PSBB)?”

Di luar permasalahan terminologi, dampak penerapan pasca-PSBB dalam Kepmenkes ini berpotensi menjadikan tiap beban dan juga kelonggaran yang muncul atas dasar penanganan situasi darurat dalam kerangka PSBB harus terus diterapkan pada kondisi pasca-PSBB yang sesungguhnya tidak dapat dianggap normal.

Dengan begitu, penerapan pembatasan kegiatan sekolah dan tempat kerja; pembatasan kegiatan keagamaan; dan pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, yang menjadi ciri PSBB bisa jadi akan terus dilanjutkan dan dianggap sebagai kenormalan. 

Hal yang berpotensi menjadi permasalahan selanjutnya yaitu penerapan protokol kesehatan secara terus menerus karena dianggap suatu kenormalan. Padahal sesungguhnya protokol kesehatan pandemi Covid-19 membutuhan fasilitas, pengawasan, dana, dan energi yang besar baik dari sektor swasta maupun dari pemerintah.

Tidak dapat dipungkiri, protokol kesehatan Covid-19 telah menjadi tekanan pada kegiatan ekonomi, yang justru hasil dari perputaran ekonomi diharapkan dapat berkontribusi untuk memfasilitasi protokol kesehatan tersebut. Seperti mesti terus menerus menyediakan hand sanitizer dan disinfektan pada klaster sanitasi dan hygiene serta peningkatan kebutuhan APD dengan segala jenisnya.

Sektor lain yang kini jelas butuh diperhatikan karena dampak PSBB adalah sektor telekomunikasi. Kuota internet dan alat komunikasi lainnya sangat dibutuhkan masyarakat untuk menunjang produktivitas dalam work from home (WFH). Termasuk juga internet yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran secara school from home (SFH).
 
Terutama terkait SFH, telah muncul beberapa keluhan dari masyarakat terhadap pembelajaran jarak jauh ini karena disinyalir memperlebar kesenjangan antara the have yang menikmati SFH karena kuota unlimited dan si fakir kuota yang kurang beruntung. Si fakir ini bahkan harus berhutang untuk membeli kuota internet demi kepentingan SFH, atau bahkan rela mengencangkan perutnya demi kelanjutkan pendidikan.

Inilah sekian dilema yang mesti dipertimbangkan oleh setiap pemangku kebijakan. Darurat tetaplah darurat, bukan normal yang darurat.
 

Penulis adalah Wakil Ketua Lakpesdam PWNU DKI Jakarta