Opini

Kemal Ataturk, Dipuji dan Dimusuhi

Jum, 29 Oktober 2021 | 12:00 WIB

Kemal Ataturk, Dipuji dan Dimusuhi

Kemal Ataturk, Dipuji dan Dimusuhi.

Mustafa Kemal Ataturk ramai diperbincangkan belakangan ini berkenaan dengan rencana penggantian nama jalan menteng Jakarta dengan nama itu. Fachri Hamzah dari Partai Gelora angkat bicara. Tidak kurang, Shamsi Ali imam masjid al-Hikmah dan direktur Jamaica Muslim Center, New York juga angkat bicara dan tidak setuju dengan rencana tersebut.
 

Reputasi Kemal sebagai “musuh” Islam begitu tebal sehingga kelompok Islam ramai menolaknya. Westernisasi Kemal yang ekstrem telah menjauhkan Turki dari identitas Islam dan Arab. Pelarangan jilbab dan perubahan azan dalam bahasa Turki menjadi isu besar yang bergaung di seantero dunia Islam. Mereka mengecam Kemal dan menganggapnya anti-Islam. Hampir tidak ada yang baik dari Kemal di mata umat Islam dunia, baik di kalangan tradisionalis maupun modernis. Pertanyaannya, mengapa di kalangan warga Turki dia dipanggil dengan bapak bangsa Turki (ataturk). Bukankah itu panggilan yang istimewa bagi seorang yang berjasa teramat besar bagi negaranya?!

 

Reputasi Gazi Mustafa Kemal Pasha yang dikenal dengan Mustafa Kemal Ataturk, berawal dari kesuksesannya mempertahankan kedaulatan Turki pascakekalahan Perang Dunia I (1914-1918). Saat itu, Turki bersama Kekuatan Tengah (Jerman, Bulgaria, dan Austria-Hungaria) berperang melawan sekutu barat yang dipimpin oleh Inggris, Prancis, Rusia, Italia, Jepang, dan Amerika. Kekuatan Tengah (Central Power), disebut demikian karena letaknya di tengah antara Rusia di timur dan Prancis di barat.

 

Perang berawal dari terbunuhnya pangeran Franz Ferdinand anak dari Franz Joseph kaisar Austria oleh komplotan pemuda Serbia-Bosnia dengan tembakan dari jarak dekat saat sang pangeran menaiki kereta kuda di Serajevo. Pembunuhan dilakukan agar mereka merdeka dari kekuasaan Austria. Kaisar Austria marah dan menyerang Serbia yang kemudian menyeret sekutu masing-masing terlibat. Turki sebenarnya tidak ingin terlibat kalau bukan karena kehendak Jerman yang ingin menyeretnya. Bagaimana Mungkin, Turki saat itu dijuluki the sick man of Europe atau orang Eropa yang sakit. Dia memilik banyak utang baik dengan Jerman maupun Prancis yang menjadi lawan Perang Dunia I. Kondisi kritis Turki disebabkan oleh perang Balkan (Oktober 1912-1913) antara Turki lawan Yunani, Bulgaria, Serbia, dan Montenegro. Kekalahan Turki pada perang Balkan tidak hanya mengakibatkan jatuh pailit, tapi kehilangan 83% wilayahnya di Eropa dan 69% warganya (Wikipedia merujuk ke Suleyman Uslu).

 

Kedekatan Turki dengan Jerman yang banyak menggarap peremajaan alutsista Turki membuatnya terseret. Persisnya saat Enver Pasha, menteri perang Otoman yang fanatik Jerman condong untuk ikut perang dan mendukung Jerman dalam PD I. Dia mempengaruhi Sultan Mehmed V, namun gagal. Enver memaksakan diri. Dia dan laksamana German melakukan manuver membawa kapal perang Turki ke Laut Hitam untuk memancing kapal perang Rusia menyerang mereka sehingga cukup alasan bagi Turki untuk terlibat perang. Namun yang terjadi Rusia tidak menyerang. Malah laksamana Jerman yang menakhodai kapal perang Turki memulai menyerang. Rusia segera mendeklarasikan perang melawan Turki pada 2 November dan pada 11 November 2014 Turki pun mendeklarasikan perang.

 

Kekalahan Kekuatan Tengah melawan Sekutu yang dipimpin oleh Prancis dan Inggris pada PD1 pada 11 November 1918 berujung penyerahan kekuasaan Sultan Turki kepada bangsa Kristen Eropa yang dahulu di bawah kekuasaan Bizantium. Seluruh pengusaha Eropa bebas berbisnis di Turki tanpa hambatan, bebas pajak, dan bebas berdomisili.

 

Sesuai perjanjian gencatan senjata Mondros yang ditandatangani oleh penguasa Turki, mayoritas wilayah Turki dibagi-bagikan kepada negara pemenang perang. Suatu hal yang memicu perlawanan rakyat Turki seperti di Anatolia dan Thrace. Perlawanan rakyat ini dipimpin oleh Mustafa Kemal untuk memerdekakan Turki dari penjajahan negara pemenang. Kemal sebagai inspektur tentara memulai perlawanan pada Mei 1919 dan mendorong dikeluarkannya deklarasi kemerdekaan nasional pada konggres Erzurum yang menolak partisi dan pemberian kuasa tanah air kepada bangsa lain. “The lands of the motherland within the national boundaries is a whole, and cannot be partitioned. Mandates and patronages are unacceptable”.

 

Maret 1920, negara pemenang menduduki parlemen Turki dan menahan para petinggi. Melawan pendudukan itu, sebulan kemudian dibentuk Dewan Nasional Besar Rakyat Turki (the Turkish Grand National Assembly [TGNA]) di Angkara dan mengangkat Mustafa Kemal sebagai presiden dengan mandat perlawanan atas penjajah. Gerakan arus bawah ini tidak dihiraukan oleh pemerintahan pusat Istambul yang pada 10 Agustus menandatangani Perjanjian Sevres yang sangat merugikan rakyat Turki.

 

TGNA menolak perjanjian itu dan melakukan perlawanan atas Armenia di Anatolia Timur, Rusia di bagian timur, Yunani dan Prancis di bagian barat. Perlawanan itu semua membuahkan hasil perjanjian yang memberikan kewenangan kepada TGNA sebagai pihak yang diakui sekutu sebagai penguasa Turki yang sekaligus berarti hilangnya kekuasaan Sultan Mehmed VI. TGNA kemudian menghapus sepenuhnya kekuasaan kesultanan Turki pada 1 November 1922 dan sultan terakhir meninggalkan Istambul pada 17 November 1922. Pada 24 Juli 1923 ditandatangani hasil perundingan the Lausanne Peace Treaty yang mengakui kemerdekaan Turki, TGNA sebagai pemerintah, batas wilayah, penghapusan restrukturisasi utang kesultanan dan posisi Turki sebagai negara kalah diangkat. (Lihat historyofturkey.com).

 

Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya