Opini

Kenapa para Santri Bisa Tak Mengerti Sejarah Pesantren?

Sen, 10 April 2023 | 16:00 WIB

Kenapa para Santri Bisa Tak Mengerti Sejarah Pesantren?

Pengetahuan santri atas sejarah pesantren bukan sekadar ingin meromantisasi kisah masa lalu, melainkan menjadikannya pelajaran yang berfaedah. (Foto ilustrasi: Kemenag/Elik Ragil)

Sejarah bagi sebagian orang hanya dianggap sebagai sebuah kisah masa lalu yang tidak begitu penting untuk diketahui. Padahal, sejarah bukan sekadar narasi dan dongeng tentang masa lalu dan apa yang terjadi padanya, tetapi kita bisa dan harus mengambil pelajaran dari nenek moyang kita sebelumnya dan kita harus lebih sadar dan belajar dari semua peristiwa dan mempelajarinya dengan cermat serta mengambil manfaat darinya.

Ibnu Khaldun dalam sebuah riwayat pernah mengungkapkan betapa sejarah memiliki sisi-sisi yang penting untuk direnungkan. Ia mengatakan, “secara lahir sejarah memang hanya menceritakan kisah masa lalu, akan tetapi secara batin ia menyimpan sebuah pemahaman dan penyelidikan yang mendalam”.


Mempelajari sejarah dianggap sebagai sesuatu yang membosankan. Oleh karena itu pada dasarnya tidak begitu mengagetkan bila Kompas pada tahun 2021 yang lalu pernah merilis sebuah berita yang mengungkapkan bahwa program studi ilmu sejarah memiliki jumlah peminat lebih sedikit dibandingkan jurusan-jurusan lain di perguruan tinggi (lihat di sini: Sepi Peminat, Prospek Kerja Jurusan Ilmu Sejarah Terbuka Lebar – Kompas.com).


Informasi tersebut setidaknya menggambarkan betapa sejarah masa lalu menjadi sesuatu yang tidak begitu diminati oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Gambaran tersebut tidak hanya terjadi di perguruan tinggi di negeri ini melainkan juga tercermin dari pengetahuan sejarah para santri di pondok pesantren.


Memasukkan Kurikulum Sejarah Pesantren

Diakui atau tidak muatan materi pelajaran sejarah di pondok pesantren sangat sedikit sekali. Jikapun ada, materi sejarah yang diajarkan adalah Sejarah Peradaban Islam masa klasik dengan basis kitab-kitab seperti Khulasah Nurul Yaqin, Matan Nurul Yaqin, hingga Tarikh Khulafa karya Imam al-Suyuthi. Sementara sejarah tentang peradaban Islam di Indonesia hampir-hampir tidak pernah diajarkan di pondok pesantren.


Padahal jika alasannya adalah kelangkaan atau susahnya mencari buku sejarah Islam di Indonesia yang ditulis dengan menggunakan buku berbahasa Arab sangat tidak tepat. Buku-buku sejarah Islam di Indonesia yang ditulis dengan bahasa Arab sudah cukup banyak dan mudah diakses. Sekadar menyebut contoh misalnya tentang Sejarah Walisongo yang telah ditulis oleh Allahu Yarham Mbah Fadhol Senori Tuban dengan judul Tarikh al-Awliya’ al-Asyrah.


Minimnya pembelajaran sejarah Islam di Indonesia yang diajarkan di pondok pesantren secara tidak langsung berdampak juga pada pengetahuan para santri atas sejarah pondok pesantren itu sendiri.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa belakangan sejumlah pondok pesantren telah menerbitkan asal usul dan sejarah berdirinya pesantren. Akan tetapi sejauh yang saya ketahui buku tersebut belum menjadi sebuah materi kurikulum yang diajarkan di pesantrennya masing-masing.


Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin sebagai sebuah pondok pesantren di mana saya pernah mengenyam pendidikan di sana misalnya baru beberapa tahun yang lalu menerbitkan sejarah berdirinya Pondok Pesantren Babakan. Meski terhitung terlambat, upaya tersebut perlu diapresiasi sebagai bagian dari ikhtiar agar para santri Pondok Babakan mengetahui sejarah almamaternya. Oleh karena itu buku tersebut idealnya menjadi bacaan wajib bagi para santri.


Sebagai sebuah institusi pendidikan yang lahir jauh sebelum Indonesia merdeka pondok pesantren memiliki sejarah yang panjang. Pengetahuan para santri atas sejarah pesantren bukan sekadar ingin meromantisasi kisah masa lalu, melainkan juga menjadi cerminan sekaligus sesuatu yang bisa diambil faedahnya oleh generasi sekarang dan masa yang akan datang. Oleh karena itu, sudah saatnya pondok pesantren menulis sejarahnya masing-masing dan diajarkan secara resmi kepada para santri-santrinya.

 

Waryono Abdul Ghofur, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag RI