Opini

Khabib Nurmagomedov, Sang Elang yang Pulang ke Induknya

Sen, 26 Oktober 2020 | 01:00 WIB

Khabib Nurmagomedov, Sang Elang yang Pulang ke Induknya

Khabib Nurmagomedov. (Foto: sport.se.pl)

Kabar mengejutkan datang dari seorang pegulat bebas berjuluk Sang Elang. Ia memutuskan untuk pensiun selepas menuntaskan pertandingan terakhirnya dengan raihan kemenangan melawan Justin Gaethje pada Ahad (25/10). Pria bernama lengkap Khabib Abdulmanapovich Nurmagomedov itu tak pernah sekalipun mencatatkan kekalahan sepanjang karirnya. Dalam kata lain, ia selalu memenangkan setiap pertandingannya.


Di antara pertandingan yang paling sengit adalah saat ia melawan Conor Anthony McGregor pada ajang Ultimate Fighting Championship (UFC) 229. Kesengitan di antara keduanya tidak saja terjadi di dalam ring, melainkan jauh lebih panas di luar ring, yakni saat konferensi pers sebelum bertanding dan selepas pertandingan itu usai. Khabib tampak tetap tenang menanggapi provokasi pegulat asal Irlandia itu.


Lantaran sikapnya yang demikian serta keberhasilannya mengalahkan Conor, ia menjadi perbincangan hangat dunia. Terlebih kemenangan tersebut diperoleh karena lawannya tersebut menyerah akibat cekikan di lehernya. Bahkan, ketenarannya itu memasukkan namanya ke dalam daftar 500 Muslim paling berpengaruh di dunia tahun 2020 versi The Royal Islamic Strategic Studies Centre.


Sikap Khabib dalam Kacamata Agama


Sebelum bertanding, pertemuan Khabib dan McGregor diselimuti ketegangan. Pasalnya, sikap McGregor cenderung menunjukkan sentimen SARA dan penuh kesombongan membuat orang yang menonton pun jengah. Tapi tidak dengan Khabib. Ia memilih bersikap tenang dengan diam karena sudah ada wasit yang menengahi mereka. Tidak sekadar itu, Conor juga menyodorkan bir kepadanya. Khabib tentu saja menolaknya mengingat agama yang dianutnya itu melarang mengonsumsi sesuatu yang memabukkan.


Tentu saja sikap demikian selain ditopang oleh dirinya yang memang memiliki sikap begitu, tetapi tidak bisa dinafikan ada peran serta agama di dalamnya. Setidaknya, para sosiolog menyebut ada tujuh fungsi agama, yakni (1) menyediakan ketertiban dan makna kehidupan, (2) pendukung psikologi, (3) penghargaan dan identitas diri, (4) solidaritas dan integritas sosial, (5) status ritus, (6) kontrol sosial, dan (7) ketetapan hari-hari suci. (Tim Delaney dan Tim Madigan, 2014: 347-348)


Agama juga mendukungnya secara psikis sehingga ia meyakini betul akan memenangkan pertandingan. Bukan karena dirinya, tetapi karena pertolongan Allah SWT, terbukti dengan ekspresi yang ditunjukkannya tersebut.


Sikap sportif yang ditunjukkan oleh Khabib sebelum dan saat pertandingan menunjukkan ketaatannya dalam beragama dan berolahraga. Ia mampu mengontrol dirinya karena agama melarangnya untuk melawan. Meskipun hal itu sedikit tercoreng dengan sikapnya yang menyerang salah seorang di luar ring usai pertandingan melawan Conor. Banyak orang yang menganggapnya sebagai satu hal yang wajar mengingat provokasi yang sudah menyangkut hal paling intim dari dirinya, yakni mengenai negara, agama, dan orang tuanya. Ketaatan beragama dan olahraga yang kompetitif demikian, kata Baker (2010: 2016), menunjukkan inti budi pekerti dan cara berperilaku.


Persepsi terhadap individu atau hasil pengamatan manusia dengan segala maknanya merupakan suatu keutuhan ciptaan Tuhan yang mempunyai tiga aspek melekat pada dirinya, yaitu aspek organik jasmaniah, aspek psikis rohaniah, dan aspek sosial kebersamaan. Ketiga aspek ini saling memengaruhi, keguncangan pada satu aspek akan membawa akibat pada aspek lainnya. (Asep Munandar, 2001: 114)


Tiga hal tersebut juga yang membawa Khabib ke ring dunia karena jasmaninya yang kuat ditopang dengan rohaninya yang kokoh tetapi penuh kelembutan sehingga tidak menimbulkan emosi yang meledak-ledak, serta dukungan keluarga dan masyarakat Muslim lainnya yang semakin membawanya menjadi petarung yang tak pernah terkalahkan hingga mengakhiri karirnya.


Ekspresi Khabib dalam Interaksionalisme Simbolik Mead


Khabib juga menunjukkan sikap-sikap keberagamaannya dengan perkataannya. Sebut saja dengan beberapa kali mengucapkan lafal Jalalah, seperti insyaallah dan alhamdulillah. “Alhamdulillah, tak terkalahkan dan tak terbantahkan juara dunia UFC,” katanya saat konferensi pers usai memenangkan pertandingan yang digelar di Nevada, Amerika Serikat itu.


Lafal hamdalah juga kata yang pertama ia ucapkan saat ditanya usai memenangkan pertandingan terakhirnya. “Alhamdulillah, Tuhan memberi saya segala hal,” ucapnya sembari membuang nafas besar.


Lebih dari itu, ekspresi nyata juga terlihat saat menuju ring sebelum bertanding. Ia menunjuk dadanya lalu menggerakkan jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri berulang-ulang, diakhiri dengan mengangkat kedua tangannya sembari jari telunjuk mengarah ke atas. Pada pertandingan terakhirnya yang digelar di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, pria 32 tahun itu juga melakukan sujud di atas ring setelah wasit mengangkat tangan kirinya menunjukkannya sebagai pemenang.


Ekspresi yang ditunjukkan Khabib sebetulnya merupakan gerak sadar dan dasar dalam proses sosial, sebagaimana dikutip George Ritzer dan Douglass J. Goodman dari Mead.  Dalam tulisannya tersebut, mereka mencatat bahwa gerak atau sikap isyarat adalah mekanisme dasar dalam tindakan sosial dan dalam proses sosial yang lebih umum. Mead mengartikan gesture sebagai gerakan organisme pertama yang bertindak sebagai rangsangan khusus yang menimbulkan tanggapan (secara sosial) yang tepat dari organisme kedua. (George Ritzer dan Douglass J. Goodman, 2010: 276)


Di samping itu, ekspresi Khabib juga tentu saja bukan tanpa maksud tertentu. Ia ingin menunjukkan identitas dirinya sebagai seseorang yang memiliki ketawakalan selain berusaha dalam bentuk ikhtiarnya. Ekspresi ini, menurut Mead, merupakan hal penting bagi pelakunya mengingat dapat melahirkan reaksi balik, entah dengan seperti apa bentuknya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Nina Siti Salmaniah Siregar (2011: 102), bahwa dalam terminologi yang dipikirkan oleh Mead, setiap isyarat nonverbal  (seperti body language, gerak fisik, baju, status, dll) dan pesan verbal (seperti kata-kata, suara, dan lain-lain)  yang  dimaknai  berdasarkan kesepakatan  bersama oleh  semua  pihak yang terlibat  dalam  suatu interaksi merupakan satu bentuk simbol yang mempunyai arti yang sangat penting (a significant symbol). Mead, lanjutnya, menyebut isyarat nonverbal dan makna dari suatu pesan verbal, akan mempengaruhi pikiran orang yang sedang berinteraksi.


Melawan SARA


Provokasi yang dilakukan Conor sebetulnya sudah mengarah pada SARA karena menyinggung soal negara dan agama. Khabib dalam konferensi pers ketika ditanya perihal aksinya menyerang seseorang menyampaikan bahwa dua hal itu disinggung oleh lawannya tersebut dan orang yang diserangnya. “Dia bicara tentang agama saya, dia bicara tentang negara saya, dia bicara tentang ayah saya, dia datang. Kamu tidak perlu bicara tentang agama dan negara,” kata Khabib sebagaimana dikutip oleh Al-Jazeera.


Rasisme melahirkan prasangka dan diskriminasi. Meskipun terma prasangka dan diskriminasi saling berkaitan, tetapi ada perbedaan yang mendasar. Prasangka dapat didefinisikan sebagai kepercayaan negatif dan terlalu mengeneralisasi terhadap satu grup. Delaney, sebagaimana dikutip Tim (2014: 261), menyampaikan bahwa prasangka ras dan etnis, terkarakterisasi dengan beberapa ciri-ciri, termasuk kategorisasi atau generalisasi pemikiran, asumsi negatif tentang personal berdasar atas anggota kelompoknya, dan pemikiran yang tidak fleksibel. Prasangka yang tidak berdasar itu dan diskriminasi yang dialamatkan kepadanya itulah yang membuat ia sudah tidak lagi dapat menahan emosinya.


Namun sebetulnya, sebelum bertanding itu, Khabib telah memenagkan pertindingan mengingat kemampuannya mengendalikan emosi. Ia menyatakan dalam situsweb resminya, bahwa “Mereka tidak berpikir betapa kuatnya keyakinan saya kepada Allah. Mereka memenangkan sabuk. Saya memenangkan hati.” Sementara Conor dan mungkin lawan-lawannya yang lain begitu pongahnya seakan dialah yang paling kuat dan mampu dengan mudah mengalahkan Khabib.


Kepongahan ini juga yang membuatnya sudah kalah sebelum bertanding. Hal itu sebetulnya sudah diingatkan oleh Allah swt. dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 249, kam min fiatin qalilatin ghalabat fiatan katsiratan biidzni llah, wallahu ma'a sshabirin. Banyak dari kelompok remeh mampu mengalahkan kelompok elit atas izin Allah, dan Allah menyertai orang-orang sabar.


Pulangnya Sang Elang ke Induknya


Ekspresi Khabib begitu penting sebagai bentuk menunjukkan identitasnya sebagai seorang Muslim, di samping menyatakan bahwa dirinya bukanlah sesiapa karena dalam suatu ungkapan disebutkan, tidak ada yang menang kecuali atas pertolongan Allah. Khabib juga (mungkin) memegang pandangan yang sama sehingga ikhtiar dan tawakal berjalan beriringan.


Setelah menjalani karir yang sangat cemerlang, Sang Elang itu pun memutuskan untuk kembali ke pelukan induknya, yakni ibundanya. Pasalnya, sang ayah telah berpulang ke Rahmatullah. Ia sudah berjanji dengan dirinya sendiri akan menemani ‘surga dunianya itu. Dengan begitu, ia telah benar-benar menang dalam pertarungan paling besar sepanjang hidupnya, yaitu melawan diri sendiri.

 


Muhammad Syakir NF, mahasiswa Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan Pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU)