Opini

Kontroversi Isu Khilafah (1): Problem Pemahaman Tekstualis

Sel, 21 Juni 2022 | 10:00 WIB

Kontroversi Isu Khilafah (1): Problem Pemahaman Tekstualis

Ilustrasi: tangkapan layar video viral konvoi kelompok Khilafatul Muslimin di Jakarta.

Pasca pelarangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 19 Juli 2017 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI, lima tahun kemudian muncul kelompok yang mengusung ideologi sama dengan HTI. Kelompok Khilafatul Muslimin yang dipimpin oleh Abdul Qadir Baraja melakukan aksi unjuk gigi dengan pawai iring-iringan sepeda motor dengan mengibarkan bendera khilafah. Aksi ini sontak membuat masyarakat terkejut hingga menyeret pelaku aksi dan pimpinan organisasi ke meja hukum. 


Ideologi khilafah memposisikan diri berhadapan dengan ideologi kebangsaan yang dianut oleh negara.


Ideologi khilafah merujuk pada dalil naqli (teks) dan ‘aqli (akal). Secara naqli terma khilafah ada dalam Al-Qur’an dan hadits. Secara ‘aqli, khilafah atau kepemimpinan umat Islam dalam semua tingkatannya mutlak diperlukan. Jangankan dalam level dunia dengan populasi umat Islam pada 2020 sebanyak 1,9 miliar, dalam level terkecil, tiga orang, kalau mereka berjalan, Islam mengajarkan untuk mengangkat salah satu menjadi pemimpin (HR. Abu Daud no. 2242). Dengan demikian, kepemimpinan adalah sesuatu yang harus ada dalam mewujudkan kepentingan bersama. Tanpa kepemimpinan, kepentingan dan potensi umat Islam terbuang sia-sia. Kata Sayyidina Ali karramallahu wajhah, “Kebenaran yang tidak diorganisasi akan kalah dengan kebatilah yang terorganisasi”. 


Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah khilafah itu tidak ada saat ini, dalam arti apakah tidak ada kepemimpinan Islam saat ini di level internasional sehingga umat Islam berdosa karena mengabaikannya, kata pengusung khilafah? Kepemimpinan Islam global (khilafah) kini ada meski tidak persis sama seperti dulu saat khulafaurrasyidin berkuasa penuh atas sekalian umat Islam. 


Kepemimpinan saat ini banyak berlaku model kolegial, dan penerapan khilafah saat ini berwujud dan berwadahkan forum komunikasi pemimpin-pemimpin negara Muslim. Forum itu adalah Organisasi Kerja sama Islam (OKI) yang bertujuan memperjuangkan kepentingan umat Islam sedunia, khususnya dalam menghadapi ketidakadilan global seperti kasus pendudukan Israel atas Palestina. 


Jika yang dinilai adalah apa yang terjadi pada Palestina, maka organisasi ini masih jauh dari harapan. Tapi dari sisi keberadaan wadah bersama umat Islam sedunia seperti khilafah yang menjangkau seluruh kepentingan umat Islam sedunia, maka hal itu setidaknya telah terwujud. 


Terkait capaian yang tak kasat mata adalah lantaran rerata indeks ekonomi dan kondisi sosial-politik negara-negara Muslim masih tidak ideal. Kondisi negara-negara Islam yang berada di bawah garis kemiskinan, kualitas pendidikan yang rendah, ketertinggalan di bidang sains dan teknologi menjadikan OKI tidak mampu bermanufer karena beratnya beban yang ditanggung. 


Hal ini berdampak pada munculnya kelompok radikal yang demi memimpikan kejayaan umat Islam. Ketidaksabaran kelompok ini dalam menempuh jalan damai sesuai prosedur telah mengakibatkan sesuatu yang sangat fatal yaitu hilangnya stabilitas politik di banyak negara Islam hingga perang sipil. 


Gerakan Islam transnasional kesemuannya bertujuan mewujudkan mimpi kejayaan Islam atau mengambil alih hegemoni dunia dari tangan Barat. Di antara gerakan tersebut ada yang menempuh jalan militer atau angkat senjata seperti Al Qaeda, Taliban, Jama’ah Islamiyah, Tandhim al-Jihad, dan ISIS. Sebagian menempuh jalur politik praktis seperti Ikhwan al-Muslimun, Hizbut Tahrir dan gerakan Islam lainnya yang memperjuangkan ideologi Islam sebagai ideologi negara. 


Mengabaikan telah adanya fungsi khilafah dalam wujud forum tertinggi pemimpin negara-negara Islam, yakni OKI, kelompok Islam radikal seperti ISIS mendeklarasikan secara sepihak khilafah Islam dan mengangkat pemimpin mereka Abu Bakar al-Baghdadi sebagai khalifah umat Islam sedunia pada 29 Juni 2013. Tentu saja langkah ISIS tertolak. Jangankan oleh pemerintah negara Muslim yang dicap sekuler, oleh kelompok Islam ideologis pun ditolak. Syekh Yusuf Qardawi pemimpin Ikhwanul Muslimin dari Qatar berteriak bahwa khilafah Abu Bakar al-Baghdadi tidak legitimate. Khilafah harus dihasilkan dari musyawarah negara-negara Islam dan membentuk federasi negara-negara Islam atau semacam Uni Eropa.  Demikian juga dengan Hizbut Tahrir yang semenjak berdirinya berjuang mewujudkan khilafah maka setelah hal itu ujud oleh ISIS, mereka serta merta menolaknya. 


Masalah khilafah adalah masalah legitimasi. Tidak mudah untuk mendapatkan legitimasi tersebut. Sejatinya OKI yang berdiri pada 25 September 1969 di Rabat Maroko yang beranggotakan semua pemimpin negara Muslim (57 negara), adalah lembaga yang paling legitimate merepresentasikan khilafah. Masalah kepemimpina tunggal atau kolegial (pemimpin OKI disebut chairman) adalah masalah teknis yang ditentukan lewat musyawarah.


Kelompok Islam seperti Hizbut Tahrir yang memperjuangkan terwujudnya khilafah harus mempercayakan hal itu kepada pemerintah. Hizbut Tahrir Indonesia atau Khilafatul Muslimin yang berpusat di Lampung harus mempercayakannya kepada pemerintah Indonesia sebagai lembaga yang sah yang dibentuk oleh umat Islam se-Indonesia; bukan oleh segelintir kelompok Islam tertentu yang tidak layak disebut mewakili umat Islam. Jangankan HTI, sekaliber Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyyah, ormas terbesar se-Indonesia bahkan sedunia, tidak dianggap mewakili umat Islam apalagi HTI atau Khilafatul Muslimin. 

 

Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya