Pustaka

Meruntuhkan Wacana Khilafah di Hadapan Milenial

Rab, 7 Juli 2021 | 00:45 WIB

Meruntuhkan Wacana Khilafah di Hadapan Milenial

Kontranarasi Melawan Kaum Khilafers karya Ainur Rofiq Al Amin.

Wacana khilafah seakan tak pernah mati, meski kelompok pengusungnya sudah dibubarkan secara resmi. Pasalnya, individu-individu yang terlibat masih terus aktif mengampanyekan apa yang mereka yakini. Padahal, jelas-jelas pemahaman tersebut bertentangan dengan NKRI, mengingat pemahaman tersebut berupaya untuk mengubah sistem kenegaraan yang sudah disepakati para pendiri negeri.


Berbagai usulan mengenai sistem kenegaraan sudah dibicarakan tuntas dalam forum-forum pembentukan negara ini. Hasilnya, republik dan demokrasi menjadi pilihan yang sudah disepakati bersama. Berbeda dengan bentuk negara-negara di Arab bukanlah suatu kesalahan. Masing-masing memiliki karakter yang berbeda dan tidak bisa disamakan. Apalagi dengan bentuk negara di masa silam. Asgar Ali Engineer menegaskan bahwa teori-teori politik Islam dibuat agar sesuai dengan kondisi baru mengingat seluruh basis perekonomian dan komposisi kelas penguasa telah berubah. (Devolusi Negara Islam: 2000, 107)


Hal demikian juga ditegaskan Muhammad Husain Haikal (w. 1956) sebagaimana dikutip Musdah Mulia, bahwa Islam tidak memiliki satu sistem pemerintahan yang baku dan ideal, yang dapat berlaku sepanjang waktu. Sebab, sejarah Islam memunculkan beragam corak pemerintahan. Karenanya, umat Islam bebas untuk menentukan sendiri bentuk pemerintahannya selagi masih menjamin prinsip persamaan, kebebasan, dan persaudaraan terwujud. (Negara Islam, 2010: 269)


Khilafah sebagai suatu pemerintahan tunggal meliputi seluruh dunia diusung oleh Hizbut Tahrir di banyak negara. Tentu saja hal ini menjadi pertentangan di berbagai belahan dunia, tidak saja di Indonesia. Mereka yang menginginkan wacana itu terwujud disebabkan terbayang masa gemilang kejayaan kerajaan Islam di Timur Tengah masa lalu. Padahal, para ulama bersepakat bahwa selepas Khulafaur Rasyidin tidak lagi menjadi pemimpin bagi umat Islam, tidak ada lagi yang namanya khalifah mengingat sudah berbentuk monarki absolut. Pemimpin diwariskan secara turun-temurun. Nabi tidak pernah mencontohkan hal demikian. Bahkan, bila kita lihat peralihan kepemimpinan dari Nabi ke Sayidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, ke Sayidina Umar bin Khattab, ke Sayidina Utsman bin Affan, hingga kepada Sayidina Ali bin Abi Thalib tidak memiliki kesamaan.


Namun, iming-iming kegemilangan masa lampau dengan sedikit bumbu dalil menjadi kampanye menarik bagi kaula muda yang masih labil. Kehadiran buku Kontranarasi Melawan Kaum Khilafers yang ditulis Ainur Rofiq Al Amin menjadi bacaan penting bagi orang-orang yang masih terombang-ambing oleh arus pemahaman tersebut. Sebab, Rofiq tidak hanya melawan hal itu dengan argumentasi dari satu sisi saja, melainkan mencakup dari keseluruhan aspek. Bahkan, sebagai mantan Hizbiyin (sebutan untuk pengikut Hizbut Tahrir), penulis juga mengutip argumentasi dari buku-buku pengusung khilafah, yaitu Taqiyuddin An-Nabhani, dan menyertakan bantahannya dengan meminjam pandangan ulama yang ahli di bidangnya.


Pertentangannya itu dibuat dengan landasan berbagai kitab turats, hingga hasil kesepakatan para ulama dalam bahtsul masail. Tak ayal, pandangannya untuk melawan pemahaman khilafah tersebut sangat kokoh tak terbantahkan. Apalagi, buku ini dibuat dengan kemasan bahasa yang sangat sederhana, renyah, dan sarat akan dalil yang memang begitu diinginkan dan digemari oleh orang-orang yang kerap mempertanyakan keabsahan pendapatnya dengan mengajukan pertanyaan, “Mana dalilnya?”.


Perubahan bentuk kenegaraan dari negara bangsa menjadi negara Islam, menurut KH Ahmad Mustofa Bisri dalam epilog buku Ilusi Negara Islam (2009: 233), justru menjadi awal reduksi kekayaan budaya dan kebebasan beragama. Hal itu tidak hanya berdampak bagi non-Muslim, tetapi juga bagi umat Islam sendiri, bahkan distorsi terhadap Islamnya. Sebab, katanya, hal itu mengalienasi non-Muslim dan mempersempit ruang penafsiran ajaran Islam dalam konteks keindonesiaan bagi Muslim.


Oleh karena itu, Nahdlatul Ulama melalui Muktamar di Banjarmasin Tahun 1936 tidak mendukung pendirian Negara Islam. KH Abdurrahman Wahid dalam pengantar buku Ilusi Negara Islam (2009:15), menegaskan bahwa NU tidak mendukung hal itu, melainkan mendorong terbentuknya masyarakat Islami dengan menjalankan ajaran-ajaran agamanya.


Peresensi Syakir NF, mahasiswa Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) dan Pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama


Identitas Buku


Judul: Kontranarasi Melawan Kaum Khilafers

Penulis: Ainur Rofiq Al Amin

Tebal: xii + 268 halaman

Tahun: 2020

Penerbit: Building Pustaka Utama

ISBN: 978-623-6658-16-1