Opini

Korupsi E-KTP, Nasionalisme, dan Amanah Rakyat

NU Online  ·  Senin, 20 Maret 2017 | 09:00 WIB

Oleh Muhammad Aras Prabowo

Korupsi adalah masalah yang terus menggerogoti sebuah Negara. Penyakit ini menjadi perhatian serius semua negara di dunia. Indonesia adalah salah satu Negara yang tidak luput dari virus korupsi, baik dalam bentuk penyalahgunaan wewenang sampai korupsi dalam bentuk penggelapan dana (uang).

Lembaga Transparency International (TI) merilis data indeks persepsi korupsi (corruption perception index/CPI) untuk tahun 2015.  Sebanyak 168 negara menjadi sampel dalam penelitian tersebut dengan ketentuan semakin besar skor yang didapat, maka semakin bersih negara tersebut dari korupsi. Skor maksimal adalah 100.

Negara di peringkat teratas adalah Denmark, Finlandia, Swedia, Selandia Baru, Belanda, dan Norwegia. Adapun Indonesia menempati peringkat ke-88 dengan skor CPI 36. Skor tersebut meningkat dua poin dari tahun 2014 yang berada di peringkat ke 107. 

Tingginya angka korupsi di Indonesia, menjadi tanggung jawab besar bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK merupakan representasi pemerintah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, dituntut menjadi lembaga yang mampu membersihkan dan meniadakan korupsi di tubuh bangsa ini. Independensi, integritas, kompetensi dan keberanian adalah modal dasar bagi komisioner KPK dalam mengungkap skandal korupsi di Indonesia.

Kasus korupsi di Indonesia melibatkan beberapa lembaga, mulai pemerintah tingkat pusat, pemerintah daerah sampai dengan korupsi di tingkatan desa. Kasusnya bervariasi, ada yang dikakukan secara perseorangan dan berjamaah.

Kasus korupsi yang masih hangat dibicarakan adalah skandal mega proyek E-KTP. Sekitar 2,3 triliun kerugian yang dialami Negara atas kasus tersebut. Dana diduga mengalir ke sejumlah pejabat pada saat itu, termasuk beberapa anggota DPR RI.

Berikut beberapa nama berdasarkan dakwaan yang disusun jaksa KPK: Gamawan Fauzi (saat itu Menteri Dalam Negeri), Diah Anggraini (saat itu Sekretaris Jenderal Kemendagri), Drajat Wisnu Setyawan (Ketua Panitia Pengadaan e-KTP), Husni Fahmi, Anas Urbaningrum, Melcias Marchus Mekeng (saat itu Ketua Banggar DPR) Olly Dondokambey, Tamsil Linrung (anggota DPR RI), Mirwan Amir, Arif Wibowo, Ganjar Pranowo (anggota DPR RI), Agun Gunandjar Sudarsa (anggota Komisi II dan Badan Anggaran DPR RI),Rindoko, Nu’man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramain, Djamal Aziz, Jazuli Juwaini (Kapoksi pada Komisi II DPR RI), Ade Komarudin, dan banyak lagi yang lainnya.

Daftar di atas, menunjukkan sejumlah nama dari wakil rakyat yang diusung oleh masyarakat Indonesia. Kabarnya sebanyak 37 anggota Komisi II ikut menikmati aliran dana E-KTP tersebut. Kasus mega proyek E-KTP merupakan kasus korupsi terbesar sepanjang sejarak korupsi di Indonesia. 

Keterlibatan wakil rakyat dalam kasus E-KTP kembali mencoreng nama baik lembaga legistatif. Lembaga yang memiliki tanggung jawab membuat dan menjalankan regulasi pemerintah, justru mereka yang melanggar aturantersebut.

Berdasarkan survei Global Corruption Barometer (GBC) mengenai lembaga terkorup di Indonesia, DPR menempati status sebagai lembaga terkorup di Indonesia, disusul dengan polisi dan birokrasi. (sumber : www.ti.or.id).

Kasus dan survei tersebut akan menjadi dasar penilaian kinerja bagi masyarakat terhadap legislator. Hal ini tentunya menjadi bahan renungan bagi masyarakat selaku pengusung, untuk tidak mengamanahkan tanggung jawab rakyat kepada legislatoryang tidak memiliki integritas.

Wakil rakyat yang memiliki komitmen kebangsaan yang tinggi dapat mewujudkan cita-cita kesejahteraan bangsa. Janji tidak cukup untuk mendapatkan amanah dari rakyat, sikap berdaulat kepada Negara sangat penting agar tidak tergiring pada kepentingan pribadi dankelompok.

Fenomena kepentingan pribadi dan kelompok, salah satu aspek yang mendorong anggota DPR untuk melakukan korupsi. Tuntutan konstribusi terhadapkelompok pengusung, menjadi salah satu faktor yang sering menjerat para Legislator duntuk melakukan tindak pidana korupsi.

Tapi, apapun cobaannya, sebagai pemegang amanah tentunya harus berpegang teguh atas tanggung jawab yang mereka terima dari rakyat. Apa pun konsekuensinya, amanah rakyat harus diperjuangkan. Kepentingan kelompokdan pribadi harus ditempatkan di bawah kepentingan rakyat.

Keterlibatan beberapa anggota DPR dalam kasus korupsi E-KTP juga menimbulkan pertanyaan mengenai sikap nasionalisme para Wakil Rakyat. Lebih jauh, kasus korupsi bukan hanya tentang sikap amanah DPR kepada rakyat, tapi bagi penulis hal tersebut adalah sikap yang melanggar nilai-nilai nasionalisme.

Dana negara yang dieksploitasi demi kepentingan pribadi dan kelompok sampai menimbulkan kerugian bagi Negara merupakan sikap yang bertentangan dengan jiwa nasionalisme. Sesungguhnya para pejabat pemerintah, termasuk anggota Legislator harus memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Sebab ditangan merekalah kemajuan bangsa diharapkan.

Alangkah celakannya bangsa ini, ketika para penyelenggara negaranya tidak memiliki sikap nasionalisme dan amanah kepada rakyat. Ketika betul seperti itu, korupsi bukan satu-satunya hal yang harus dipikirkan oleh bangsa ini. Tidak adanya jiwa nasionalisme dan sikap amanah dalam diri para Wakil Rakyat, bisa saja negara ini menjadi komoditas untuk diperjual-belikan kepada negara lain.


Penulis adalah kader PMII Makassar