Opini

Logika Pro-Kolonialisme Para Penyangkal Penjajahan Israel yang Salah Waktu

Sen, 11 Desember 2023 | 16:00 WIB

Logika Pro-Kolonialisme Para Penyangkal Penjajahan Israel yang Salah Waktu

Ilustrasi Palestina - Israel. (Foto: NU Online/Freepik).

Saat saya mulai menuliskan artikel ini, serangan Israel ke Gaza semakin ganas. Baru saja saya membaca potongan judul berita bahwa tentara Israel akan mengguyurkan air laut untuk menyiram terowongan-terowongan para pejuang Hamas. Juga beberapa berita yang lain, dan tentu saja didominasi kabar yang, sialnya, sudah jadi sedemikian biasa pada sebulan terakhir. Mulai dari bom yang menghancurkan kamp pengungsi, relawan yang ditembaki tentara IDF, dan sebagainya.


Dan, dalam keadaan begini, saya masih saja melihat ada beberapa kawan medsos saya membagikan tangkapan layar berisi kalimat dari seorang tokoh intelektual. Kalimat itu saya baca beberapa kali, dan membuat jidat saya berkerut. Bunyinya: “Luas kawasan Arab sebelum Islam: 3 juta kilometer persegi. Setelah Islam: 13,3 juta kilometer persegi. Dari mana yang 10,3 juta itu?”


Tentu Anda langsung paham apa maksud pertanyaan retoris itu. Ya, dulu kawasan Arab sempit. Namun, sejak masa Islam, wilayah itu menjadi semakin luas berlipat-lipat. Tentu saja itu karena aneksasi, perebutan wilayah, alias kolonialisme. Nah, kalau kolonialisme yang dijalankan oleh imperium Islam saja tidak dipersoalkan, kenapa penjajahan oleh Israel atas Palestina dipermasalahkan? Begitu yang dimaksud, kan?


Logika keliru dan salah waktu

Si penulis kalimat pada tangkapan layar tersebut sedang menawarkan dua pilihan sikap. Pertama, kalau kita menyalahkan Israel, maka salahkan juga apa yang sering kita sebut sebagai Zaman Keemasan Islam itu. Atau opsi kedua, jika tidak mau menyalahkan aneksasi-aneksasi yang dilakukan oleh Arab-Islam pada masanya, ya jangan salahkan Israel pada hari-hari sekarang ini atas dasar sikap anti-penjajahan.


Sekilas tampaknya masuk akal. Namun kalau dipikir dua kilas, ada persoalan pada logika semacam itu. Yang layak dipersoalkan adalah konteks sosio-historis yang menjadi papan catur dari kedua peristiwa yang tengah dibicarakan. Atau lebih mudah lagi, mari kita membacanya dalam kerangka konstruksi sosial.


Kekerasan, perang, serangan fisik, dan penaklukan wilayah dengan serbuan militer merupakan sebentuk cara yang ditempuh oleh sebuah kekuatan untuk meraih dominasi atas kekuatan lain. Pada zamannya, penaklukan seperti itu adalah cara yang lazim belaka. 


Salah satu cara kekuatan Islam di Arab memperluas wilayah dominasinya adalah melalui ekspansi militer. Penaklukan Syam atau Suriah, contohnya. Penaklukan ini dirintis sejak Perang Mu’tah pada masa Khalifah Abu Bakar di tahun 629 M. Proses itu berlangsung bertahap, hingga akhirnya Syam berhasil direbut dari kekuasaan Romawi pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab di tahun 640 M.


Penaklukan-penaklukan lain terus dijalankan. Mesir ditaklukkan pada 639 M, Persia pada 654, Andalusia atau Spanyol pada 711 M, dan seterusnya. Seiring dengan pergeseran kekuasaan kekhalifahan Islam dari tampuk dinasti satu ke dinasti lain, aneksasi terus berlanjut. Salah satu yang kemudian sangat terkenal adalah penaklukan Konstantinopel pada 1453 di bawah Kekhalifahan Utsmani. Itu pun belum yang terakhir karena Utsmani masih terus melebarkan sayap kekuasaannya hingga ke Belgrade dan Hungaria di bawah Sulaiman The Magnificent.


Membaca sampel sejarah penaklukan-penaklukan itu memang terkesan Islam bersimbah darah dan haus perang. Tapi, tunggu dulu. Apa yang berjalan pada abad ke-7 dan seterusnya itu bukan sesuatu yang baru. Kita tahu, pada abad ke-4 SM, ada Alexander Agung yang juga menjalankan aksi invasi dan aneksasi ke mana-mana. Persia di bawah Kaisar Darius II ia taklukkan dan kuasai, belum lagi wilayah Anatolia, bahkan kemudian hingga India pada wilayah yang sekarang kita kenal sebagai Punjab. 


Dari akhir abad ke-18, ada Napoleon Bonaparte. Ia menguasai sebagian besar wilayah Eropa dengan kombinasi aksi militer dan diplomasinya. Ia juga mendaratkan pasukan untuk mencaplok Mesir pada 1798, meski meninggalkan wilayah itu tiga tahun kemudian karena muncul traktat antara Inggris dan Turki—kekuatan yang di atas kertas menguasai Mesir sebelum kedatangan Napoleon.


Sementara dalam konteks kolonialisme modern, Portugal sudah memulainya sejak abad ke-15. Pos-pos perdagangan di Afrika mereka dirikan, berlanjut dengan penguasaan-penguasaan wilayah. Disusul kemudian oleh Spanyol, yang juga membangun koloni-koloni, lewat perdagangan dan penguasaan militer.


Sampai kemudian Portugal dan Spanyol, sebagai dua negara adidaya pada masanya, membagi bumi menjadi dua lewat Perjanjian Tordesillas pada 1506. “Bagian sini buat Portugis, bagian sana buat Spanyol.” Begitulah simpelnya. Dan, harap dicatat, perjanjian itu disetujui dan disahkan oleh Paus Julius II di Takhta Suci Vatikan.


Pengesahan itu tentu membawa arti yang jelas. Artinya, penjajahan itu diterima dan ditempatkan sebagai sesuatu yang lazim. Entah “tujuan mulia”-nya untuk menjadikan kaum pagan lebih beradab dan beriman atau semacamnya, tetap saja itu penjajahan. Dan itu manusiawi dalam kacamata waktu itu.


Maka, gelombang kolonialisme modern itu terus berlanjut. Inggris, Belanda, Prancis, Denmark, Swedia, Belgia, dan lain-lain. Kita pun di Nusantara merasakan pengalaman sebagai tanah jajahan dalam waktu lama di bawah Belanda. Selama waktu yang sangat panjang, sebelum tumbuhnya kesadaran kebangsaan, bahkan masyarakat di tanah jajahan pun melihat kolonialisme sebagai hal yang taken for granted. Lazim. Sudah dari sononya. Alias berterima.


Saking berterimanya, bayangkan saja, sampai-sampai pada 1931 digelar Exposition Coloniale International atau Pameran Kolonial Internasional di Paris. Pameran itu menjadi ajang negeri-negeri kolonial untuk memamerkan keindahan dan kekayaan tanah jajahan mereka. Belanda membangun anjungan beratap gonjong Minang berpadu dengan ukiran Jawa. Di dalam anjungan, dipajang arca-arca dan lukisan berharga termasuk lukisan Raden Saleh, lalu gadis-gadis Bali menari legong menghibur semua pengunjung. Sementara, tuan rumah Prancis menghadirkan miniatur Angkor Wat, kekayaan dari tanah jajahan mereka di Kamboja.


Memang, kritik keras juga datang, misalnya dari Partai Komunis Prancis. Meski demikian, secara umum dan dalam kacamata umum internasional, pameran atas kekayaan tanah jajahan itu sesuatu yang wajar belaka, bahkan keren pada masanya. Buktinya, tercatat jutaan pengunjung mendatangi pameran itu untuk mengagumi hasil-hasil kolonialisme.


Sampai di sini saja, kita telah melihat bagaimana penjajahan bukan merupakan sesuatu yang dipandang jahat sejak awalnya. Ini yang saya maksud dengan perkara konstruksi sosial. Setiap zaman memiliki nilainya sendiri, yang sangat mungkin berbeda dengan nilai pada zaman yang lain. Apa yang buruk pada masa lalu belum tentu dipandang buruk pada masa kini. Apa yang beradab pada masa lalu belum tentu menjadi hal yang manusiawi dalam perspektif manusia normal di masa kini.


Demikian pula penjajahan. Sejak awal abad ke-20 hingga Perang Dunia II selesai, nilai-nilai baru mulai tumbuh. Era kesadaran kebangsaan muncul. Negara-bangsa lahir di mana-mana, satu demi satu merdeka, dan kemerdekaan itu pun didukung oleh kesadaran baru di seluruh dunia. Penjajahan sudah berubah menjadi sesuatu yang tak lagi dianggap sebagai hal yang taken for granted. Ia sudah dilihat sebagai kejahatan besar, meninggalkan pandangan lama yang melihat penjajahan sebagai sesuatu yang normal.


Selepas Perang Dunia II itu pula Perserikatan Bangsa-Bangsa berdiri dan salah satu tugas yang seharusnya mereka jalankan adalah mengawal nilai-nilai baru itu.


Maka, lucu sekali jika hari ini kita melihat penjajahan oleh Israel atas Palestina, perampasan-perampasan tanah yang dengan masif mereka jalankan, dan aksi-aksi pendudukan yang mereka lakukan sebagai sesuatu yang bisa dibandingkan secara setara sepenuhnya dengan penaklukan Konstantinopel oleh Kekhalifahan Utsmani, atau penaklukan Kerajaan Inca di Peru oleh Francisco Pizarro.


Kalau serangan Netanyahu di tahun 2023 mau disamakan dengan serangan Mehmed di tahun 1453, kenapa tidak sekalian menyebut Sultan Agung Raja Mataram melanggar HAM, karena ia melemparkan musuh-musuhnya ke kandang buaya? Kenapa tidak sekalian menyebut para perempuan Jawa dan Bali yang payudaranya terbuka hingga akhir abad ke-19 sebagai para pelaku pornoaksi? Kenapa tidak sekalian menyebut Homo sapiens mula-mula telah melanggar KUHP karena kemungkinan besar mereka membunuhi Homo neanderthal?


Konsep HAM belum ada pada Mataram. Konsep etika dan tata krama berbusana ala Belanda, Inggris, atau ala Islam belum diterapkan secara merata se-Nusantara hingga akhir abad ke-19. Kesadaran manusia secara komunal pada masa itu beda dengan masa kini, nilai-nilai yang diyakini beda, dan perspektif kita dalam melihat itu semua semestinya juga beda.


Beda zaman, beda nilai, beda kacamata. Dan kita akan kompatibel dengan zaman ini ketika berpegang pada nilai yang sama-sama telah disepakati di zaman ini.


Iqbal Aji DaryonoPenulis, tinggal di Yogyakarta.