Opini

Makam Syekh Maulana Ishaq, Tradisi di Tengah Geliat Industri

Kam, 29 Maret 2018 | 14:30 WIB

Oleh: Achmad Faiz MN Abdalla
Bila Anda berziarah ke Jawa Timur, sudah pasti menuju deretan makam wali di pantai utara. Mulai Sunan Ampel, Syekh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), Sunan Giri, Sunan Drajat, sampai Sunan Bonang. Makam-makam itu relatif berdekatan dan tersebar di tiga kabupaten yang bertetangga, yakni Syekh Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Giri di Gresik, Sunan Drajat di Lamongan, serta Syekh Ibrahim Asmaraqandi dan Sunan Bonang di Tuban.

Saya sendiri berasal dari Panceng, sebuah kecamatan di pantai utara yang menjadi bagian Kabupaten Gresik. Di sebelah barat, Panceng berbatasan langsung dengan Paciran yang masuk wilayah administratif Lamongan. Di kecamatan Paciran inilah, makam Sunan Drajat berada, di samping makam Sunan Sedang Duwur, Mbah Mayang Madu, serta Syekh Maulana Ishaq (ayahanda Sunan Giri).

Paciran, seperti disebutkan dalam Nagarakertagama, dulunya merupakan wilayah mandala, yakni pusat pengembangan agama Hindu. Itu bisa diselidiki dari bentuk bangunan di Sendang Duwur yang berarsitektur tinggi bernuansa Hindu. Di makam Sunan Sendang Duwur, terdapat gapura berbentuk paduraksa serta sebuah gapura mirip Tugu Bentar di Bali. Karena alasan mandala itulah, kemungkinan besar mengapa Paciran menjadi lokasi dakwah para wali masa itu.

Selain di Sendang Duwur, mandala yang lebih kecil diperkirakan pernah dibangun di lokasi yang dulu ditempati Mbah Mayang Madu, yakni di Desa Banjaranyar. Di desa ini pula, pesantren peninggalan Sunan Drajat berdiri sampai sekarang, yakni Pondok Pesantren Sunan Drajat yang diasuh oleh Kiai Abdul Ghofur. Adapun makam Sunan Drajat hanya beberapa ratus meter di selatan pondok pesantren tersebut.

Dulu semasa kecil, baik di madrasah maupun langgar tempat saya mengaji, sering diadakan ziarah ke makam-makam tersebut. Pun masyarakat Panceng, Paciran, dan sekitarnya, sampai sekarang masih melakukan ziarah secara rutin. Baik ke Sendang Duwur, Drajat, maupun Kemantren. Terutama pada malam Jum’at, atau pada hari-hari tertentu, seperti peringatan haul atau menjelang ujian sekolah bagi para pelajar. Tradisi berziarah tersebut relatif masih terjaga sampai sekarang. 

Seingat saya dulu, di antara makam itu, yang paling banyak didatangi peziarah adalah Sunan Drajat. Mungkin karena Sunan Drajat dipopulerkan sebagai walisongo yang ditemukan dalam banyak buku, terutama buku-buku sekolah. Yang datang merupakan peziarah dengan bus-bus besar dari berbagai daerah di pulau Jawa, bahkan luar Jawa. Sedang lainnya, relatif hanya diziarahi oleh warga sekitar.

Namun belakangan, makam Syekh Maulana Ishaq di Desa Kemantren mulai menyusul. Setidaknya dalam dua tahun terakhir, makamnya mulai ramai didatangi peziarah. Bus-bus besar kini keluar masuk Desa Kemantren. Rute bus peziarah yang semula dari Sunan Giri langsung ke Drajat atau sebaliknya, kini menyempatkan ke makam Syekh Maulana Ishaq terlebih dahulu.

Perjalanannya ke Desa Kemantren
Syekh Maulana Ishaq, sebelum kedatangannya ke Desa Kemantren, berdakwah di daerah Blambangan, Banyuwangi. Raja Blambangan yang berkuasa masa itu adalah Prabu Menak Sembuyu.

Saat wabah penyakit melanda Blambangan, putri Prabu Menak Sembuyu, Nyai Ratna Sekardadu, turut terserang wabah tersebut. Lalu melalui patihnya, Bajul Sengara, raja mengumumkan sebuah sayembara, yakni barangsiapa yang bisa menyembuhkan putrinya, akan dijadikan suami putrinya serta akan diberi sebagian wilayah kerajaan Blambangan.

Bajul Sengara lantas mendapat kabar bahwa di sekitar Gunung Selangu ada seorang resi sakti. Orang yang dimaksud itu adalah Syekh Maulana Ishaq.  Bajul Sengara pun akhirnya menemui Syekh Maulana Ishaq dan menyampaikan maksud kedatangannya.

Singkat cerita, Syekh Maulana Ishaq berhasil mengobati putri raja. Sang Raja pun memenuhi janjinya untuk menikahkan keduanya dan memberi kedudukan Syekh Maulana Ishaq sebagai penguasa di Blambangan bagian utara. Raja beserta keluarganya pun bersedia mengikuti agama yang dianut Syekh Maulana Ishaq, seperti yang dipersyaratkan saat pertama ditemui Bajul Sengara. 

Hal itu pun memudahkan Syekh Maulana Ishaq dalam berdakwah, sehingga Islam menyebar lebih luas di Blambangan. Namun keadaan itu rupanya tidak menyenangkan hati Baju Sengara. Ia merasa iri dan berusaha menghalangi dakwah Syekh Maulana Ishaq.

Karena dengki Bajul Sengara itu, yang telah merancang banyak siasat buruk serta mengancam akan menyiksa pengikut sang syekh, sehingga Syekh Maulana Ishaq kemudian menyingkir dari Blambangan guna tidak terjadi penderitaan lebih besar.

Dari situlah Syekh Maulana Ishaq menggeser lokasi dakwahnya ke Paciran, tepatnya di Desa Kemantren. Ia mendiami sebuah goa yang terletak di Tanjung Pakis, sebuah perbukitan kapur yang menghadap langsung ke laut Jawa. Di sekitar goa tersebut, terdapat beberapa situs peninggalan Syekh Maulana Ishaq, seperti Sumur Sepaku, Sumur Sekencong, dan Watu Tumpang.

Pertahankan Tradisi, Menuju Kota Baru
Tidak sulit menemukan makam Syekh Maulana Ishaq. Secara umum, lokasi makam-makam wali di pesisir utara Jawa Timur, mulai dari Sunan Bonang (Tuban) sampai Sunan Giri (Gresik), dihubungkan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) atau yang dikenal Jalan Daendels. Hal ini mempertegas bahwa budaya pesisir merupakan tonggak penting penyebaran Islam serta sendi infrastruktur perekonomian di Jawa.

Lokasi makam Syekh Maulana Ishaq terjangkau dari Jalan Daendels yang menjadi jalur penghubung makam Sunan Drajat dan Sunan Giri. Dari Jalan Dandels, peziarah cukup masuk jalan kampung yang berjarak beberapa ratus meter untuk sampai ke pesarean Syekh Maulana Ishaq. Tempatnya terletak di pinggir pantai, tepatnya sebelah barat Tanjung Pakis, tempat semula Syekh Maulana Ishaq berdiam diri. 

Bangunan pesarean beberapa kali mengalami renovasi, yakni pada tahun 1980, 1990, dan terakhir 2012. Makam Syekh Maulana Ishaq ditempatkan di sebuah cungkup bersama dua makam santrinya. Kini setelah dibangun dan diperluas, bangunan pesarean muat menampung ratusan peziarah sehingga memberi rasa nyaman dan leluasa bagi rombongan peziarah. Pesarean tersebut terletak tepat di belakang masjid Al Abror. 

Masjid Al Abror yang merupakan peninggalan Syekh Maulana Ishaq, pun dibangun kian besar. Ia menempati areal seluas 5 hektar. Bangunan masjid beserta kelengkapannya sendiri berukuran 1 hektar. Dalam kompleks masjid tersebut, juga dibangun tempat pendidikan Al-Qur’an dan berbagai sarana pendukung untuk para peziarah, termasuk lahan parkir yang terbentang luas di depan dan samping masjid disertai pepohonan hias yang mengelilinginya.

Di belakang masjid, atau tepatnya sebelah utara pesarean, dibangun replika bayang gambang yang merupakan peninggalan Syekh Maulana Ishaq. Dulunya bayang tersebut digunakan untuk pertemuan para wali, masyarakat, serta menjadi tempat Syekh Maulana Ishaq mengajarkan Islam melalui media musik atau sastra yang diiringi alunan gambang. Adapun bayang aslinya kini berada di Museum Sunan Drajat karena tergolong benda budaya.

Di atas replika bayang gambang itu, peziarah dapat beristirahat sembari menikmati keindahan laut Jawa yang terbentang di utara masjid dan kompleks pesarean. Terdapat gazebo-gazebo dari bambu yang berjejer tepat di pinggir pantai untuk memberi kenyamanan peziarah beristirahat. Beberapa bahkan terapung di atas laut. Peziarah juga dapat menikmati aneka masakan khas pantai utara yang dijual warung-warung makan di dekat deretan gazebo tersebut.

Selain itu, peziarah juga dapat melihat kapal-kapal besar yang bersandar di pelabuhan Tanjung Pakis. Pelabuhan itu merupakan bagian dari megaproyek Lamongan Integrated Shorebase, yakni pangkalan pantai terpadu yang melayani segala bentuk kebutuhan logistik perusahaan migas. Megaproyek tesebut berdiri di atas areal perbukitan seluas hampir 100 hektar. Goa beserta beberapa situs peninggalan Syekh Maulana Ishaq kini menjadi area dari megaproyek tersebut.

Pembangunan di kawasan Tanjung Pakis inilah yang menjadi tonggak perkembangan ekonomi di kawasan pesisir Lamongan, bahkan Jawa Timur. Dahulu, sepanjang pesisir utara Lamongan dan Gresik merupakan kawasan tertinggal serta terpunggungi dalam pembangunan. Namun seiring berdirinya beberapa perusahaan besar, terutama PT Lamongan Integrated Shorebase (LIS) di Desa Kemantren, kawasan tersebut kini mulai menapaki menjadi kota baru.

Jawa Timur diketahui memiliki kandungan migas terbesar ketiga di Indonesia. Karena itu, Lamongan Integrated Shorebase merupakan proyek strategis yang melibatkan Pemkab, BUMD Jatim, serta sebuah perusahaan operator dari Singapura untuk mendukung aktivitas industri migas tersebut. Selain itu, terdapat dua perusahaan lain di sektor kemaritiman yang dibangun di area Tanjung Pakis. Belum lama ini, kawasan tersebut ditetapkan Kemenperin sebagai kasawan khusus industri perkapalan di Jawa.

Hal itu tentu menarik. Di sebuah desa, terdapat sebuah makam wali, juga berdiri beberapa perusahaan besar berskala internasional. Di satu sisi, tradisi dipertahankan bahkan dikembangkan. Sedang di sisi lain, industri telah berdiri dan menjadi wajah baru sebuah kawasan yang dahulunya tertinggal dan tak menarik secara ekonomi, kini turut menjadi tonggak masa depan ekonomi Jawa Timur.