Opini

Makna Hijrah dari Masa Kenabian ke Era Media Sosial (bagian 3)

Sel, 3 September 2019 | 22:00 WIB

Makna Hijrah dari Masa Kenabian ke Era Media Sosial (bagian 3)

ilustrasi: pixabay

Oleh Ahmad Makki

Di Indonesia perumusan wacana hijrah dimulai oleh Agus Salim, sebagai jargon perlawanannya terhadap pemerintah kolonial Belanda. Hijrah baginya berarti menolak kerja sama (nonkooperasi) dengan pihak kolonial (M. C. Ricklefs, A history of modern Indonesia since c.1200 (3rd ed.), [London, Palgrave: 2001 M], halaman 221; Bachtiar Effendy, Islam dan negara: transformasi gagasan dan praktik politik Islam di Indonesia (Edisi digital ed.), [Jakarta: Democracy Project.Tangkilisan: 2011 M], halaman 77); dan Friend, 2009, dalam Tangkilisan, 2015, halaman 146).

Rumusan Salim ini berpengaruh kuat di kalangan Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII), hingga dijadikan garis kebijakan partai. Kartosoewirjo yang merupakan salah satu kader PSII merumuskan kembali wacana hijrah sebagai landasan visinya tentang Negara Islam Indonesia (NII).

Sampai suatu saat Kartosewirjo yang dikenal sebagai pemuda tidak kenal kompromi ini kecewa kepada garis perjuangan PSII. Ia keluar dan mendirikan Komite Pembela Kebenaran. Wacana hijrah yang pernah ditulisnya sebagai brosur perjuangan PSII diendapkannya dalam ingatan. Ketika ia memproklamasikan berdirinya NII pada 7 Agustus 1949 M di Tasikmalaya, wacana hijrah kembali muncul dan menjadi bagian penting dari doktrin NII.

Konsep hijrah NII didasarkan atas pemahaman Surat Al-Balad ayat 10 dalam Al-Qur’an yang memuat kata “al-najdayn”. Dalam Al-Qur’an terjemahan Kementerian Agama, kata tersebut diartikan sebagai “dua jalan” sebagaimana berikut, “[d]an Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (Website Al-Qur'an Kementerian Agama, n.d.). Tetapi dalam pemahaman NII, kata tersebut diartikan sebagai “dua negeri”; negeri batil dan negeri hak (S. Hadi, S, Negara Islam Indonesia: konsepsi shajarah thayyibah dalam konstruk Negara Islam, [Journal of Qur'an and Hadith Studies, 2(1), 87-104.Shaw & Bandara: 2018 M], halaman 9-10).

Negeri batil adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan Sukarno-Hatta. Sedangkan NII yang diproklamasikan Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949 M dengan nama Negara Karunia Allah-Negara Islam Indonesia (NKA-NII), adalah negeri hak. Maka seorang anggota yang sudah berbaiat wajib melakukan hijrah jasmani dan rohani, dari NKRI kepada NKA-NII. Hijrah ini hanya boleh dilakukan oleh orang yang sudah berbaiat menjadi anggota NII, dan wajib dilanjutkan dengan melakukan jihad, baik harta maupun nyawa, untuk mendirikan negara Islam (Lihat Hadi, 2013).

Pada abad ke-21 M wacana hijrah digunakan secara intensif sebagai strategi rekrutmen oleh organisasi teror internasional ISIS (Shaw & Bandara: 2018: 9-10; Uberman & Shay, 2016: 16). Wacana hijrah secara intensif dikampanyekan secara daring melalui berbagai platform media sosial. Tetapi salah satu ujung tombak propagandanya adalah Dabiq, sebuah majalah daring yang diterbitkan oleh Al-Hayat Media Center (Uberman & Shay, 2016: 16).

Di Indonesia saat ini wacana hijrah yang menjadi bagian dari perbincangan sehari-hari mulai populer pada tahun 2014. Pemicunya adalah film biopik Hijrah Cinta yang memotret kisah hidup almarhum Ustadz Jefri Al-Buchori. Lewat dokumentasi Google Trends Indonesia kita bisa menelusuri bahwa selepas film tersebut minat kepada kata hijrah memang menurun, tapi tidak pernah sampai jatuh ke level normal sebelumnya. Bahkan secara gradual terjadi peningkatan dari tahun ke tahun.

Peningkatan tren tersebut banyak dibantu oleh publikasi berbagai media daring tentang gejala para selebritas yang memutuskan untuk menekuni gaya hidup religius dan menyebutnya sebagai hijrah (Putri R. D., 2018). Belakangan penetrasi wacana hijrah merasuk ke berbagai platform media sosial yang populer di Indonesia.

Sebelum tren wacana hijrah, pada umumnya perubahan gaya hidup menjadi religius kerap disebut sebagai taubat, atau mendapat hidayah. Sebagai perbandingan, kisah hidup Ustadz Jefri Al-Buchori bisa menjadi contoh sempurna sebagai inspirasi wacana hijrah seperti kerap digambarkan saat ini. Meski begitu semasa hidupnya Buchori tidak pernah dinarasikan melakukan hijrah, meski masa lalunya kerap direproduksi dalam profilnya di berbagai media (lihat Fathiyah, 2013; KapanLagi, n.d.; Samantha, 2005; Redaksi eramuslim, 2013).

Demikian gambaran umum pemaknaan wacana hijrah dari masa ke masa. Masing-masing tokoh dan era bisa memiliki rumusannya masing-masing yang saling berbeda, bahkan bisa bertentangan di sana-sini.
 

Ahmad Makki, Praktisi Media Digital, Kandidat Master Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia.