Opini

Makna Hijrah dari Masa Kenabian ke Era Media Sosial (Bagian 2)

Sen, 2 September 2019 | 17:00 WIB

Makna Hijrah dari Masa Kenabian ke Era Media Sosial (Bagian 2)

Ilustrasi: RT.com

Oleh Ahmad Makki

Selepas era Nabi Muhammad, salah satu nama pembahas wacana hijrah Abdullah Al-Bathtal, atau dikenal sebagai Ibnu Bathtal (?-740 M). Ia menjelaskan bahwa, hijrah yang sempurna adalah meninggalkan apa yang dilarang atau diharamkan oleh Allah SWT…hal ini seperti jihad melawan hawa nafsu di mana dianggap lebih besar daripada jihad memerangi musuh (LBM PBNU, Tidak diterbitkan).

Tokoh lain adalah Abu Hanifah (699-767 M) yang merumuskan perbedaan antara “darul Islam” dan “darul harb.” (Ahmed  Khalil, Dar Al-Islam And Dar Al-Harb: Its Definition and Significance, dalam https://en.islamway.net/article/8211/dar-al-islam-and-dar-al-harb-its-definition-and-significanceUberman & Shay, [tanpa kota, tanpa penerbit: 2016], halaman 17).

Darul Islam dalam pengertian Hanifah adalah daerah yang memenuhi tiga kriteria; 1) aman dan damai bagi muslim, 2) dipimpin seorang Muslim, 3) berbatasan dengan negara muslim lainnya. Sementara darul harb adalah wilayah yang diperintah oleh nonmuslim dan bersikap jahat serta memerangi kelompok muslim di wilayahnya. Dengan demikian Hijrah adalah migrasi dari darul harb menuju darul Islam.

Hanifah berpendapat bahwa perintah hijrah fisik sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal ayat 72, sudah diaborsi (mansukh) lewat perkataan Nabi Muhammad bahwa, “tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah, yang ada hanyalah jihad dan niat” (LBM PBNU, Tidak diterbitkan). Rumusan wacana hijrah Hanifah ini melahirkan oposisi biner antara darul harb dan darul islam, yang selanjutnya akan mempengaruhi beberapa pemikir sesudahnya.

Pendapat serupa disampaikan Al-Mawardi (972-1058 M) (1994, dalam (Khalil, 2016: 17). Ia mengatakan bahwa hijrah hanya menjadi kewajiban bagi muslim yang dihalangi untuk menjalankan ibadahnya.
 

Wacana hijrah juga dibahas oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (1292-1350 M), yang tampaknya dipengaruhi oleh pandangan Ibnu Bathtal dalam merumuskan dua macam hijrah; yakni hijrah jasmani dan hijrah hati. Hijrah jasmani berbentuk perpindahan fisik, berpindah dari satu negeri ke negeri yang lain. (Ibnu Qayyim Jauziyah, Bekal hijrah menuju Allah, (Sabaruddin, Trans.) [Depok, Gema Insani Press: 2002], halaman 13).

Yang paling penting adalah hijrah hati kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad). Ini adalah praktik yang ditekankan Jauziyah dan disebut sebagai hijrah yang hakiki dan hijrah yang inti, sedangkan hijrah jasmani adalah cabang dari hijrah ini. (Ibnu Qayyim Jauziyah, Bekal hijrah menuju Allah, (Sabaruddin, Trans.) [Depok, Gema Insani Press: 2002], halaman 14).

Hijrah hati kepada Allah dan Rasul-Nya meliputi penyerahan diri kepada Allah, yang ditandai dengan perubahan dari rasa cinta; penyembahan; rasa takut dan meminta kepada entitas selain Allah, menjadi terpusat kepada Allah semata. Sementara penyerahan diri kepada Rasul-Nya berbentuk penyerahan jiwa sepenuhnya pada setiap masalah keimanan, bisikan hati, atau hukum terhadap berbagai kasus kepada sumber petunjuk dan pusat cahaya yang tercermin dalam setiap kata yang keluar dari mulut Rasulullah SAW. (Jauziyah, 2002: 21).

Hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan fardhu ain (wajib bagi setiap individu) pada setiap waktu. Kewajiban ini tidak pernah terpisah dari diri seseorang dan hijrah itu adalah kehendak Allah terhadap hamba-Nya. (Jauziyah, 2002: 13).

Pada Nabi Muhammad hijrah dikaitkan dengan praktik fisik, pengorbanan harta, atau diasosiasikan dengan ibadah baku tertentu seperti haji. Sementara pada Jauziyah (2002) hijrah diabstraksi dan diintensifikasi menjadi penyerahan penuh-seluruh kepada Allah, mengindikasikan hijrah mesti menjadi sikap inheren dalam setiap momen hidup individu.

Tokoh selanjutnya yang merumuskan wacana hijrah adalah Muhammad Ahmad bin Sayyid Abdullah (1844-1885). Pada awalnya Hijrah dalam rumusan Ahmad mencakup 12 perilaku, (J. O. Voll, The Mahdi's concept and use of 'hijrah', [tanpa kota, Islamic Studies :1987], 35-36), yaitu kerendahan hati, kelembutan, mengurangi makan, mengurangi minum, kesabaran, menziarahi makam para Sayyid (gelar kepada keturunan Muhammad lewat jalur kedua cucunya, Hasan dan Husein) selama perjuangan mahdiyyah, keteguhan, kesopanan, mengimani dukungan Tuhan, menghindari rasa iri, tidak berbohong dan tidak mengabaikan sembahyang. Rumusan ini diperluas secara signifikan pascainsiden bentrokan pengikutnya dengan pasukan pemerintah. (J. O. Voll, 1987: 36).

Dalam versi perluasan, Ahmad menggambarkan dua jenis hijrah (J. O. Voll, 1987: 37). 1) migrasi dari satu tempat ke tempat lain karena agamanya mendapatkan tekanan. Ini dicontohkan dengan hijrah yang dilakukan Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad.

Jenis hijrah tersebut kerap dipakai untuk mengenalkan topik hijrah utama dalam rumusan Ahmad, yakni; 2) hijrah untuk jihad yang diasosiasikan sebagai migrasi dari kepemilikan harta-benda menuju jalan agama. Ahmad memerintahkan pengikutnya melakukan keduanya, dengan bermigrasi ke wilayah Jabal Qadir, Sudan (J. O. Voll, 1987: 36-38).

Voll (J. O. Voll, 1987: 33) menyebut hijrah dalam pemikiran Ahmad lebih terkait dengan konteks krisis, ketimbang orientasi kepada kehidupan rutin secara umum. Ini terkait konteks sosio-politik Sudan yang ketika itu dikuasai oleh Mesir dengan cara represif.

Cendekiawan Muslim selanjutnya yang membahas tentang wacana hijrah adalah dua tokoh yang dikenal sebagai tokoh konservatif, yakni Abul A’la al-Maududi (1903-1979) dalam Bukay dan Sayyid Qutb (1906-1966). Maududi (D. Bukay, Islam and the infidels: the politics of jihad, da'wah, and hijrah, [New Jersey, Transaction Publisher: 2016]) menyatakan bahwa seorang muslim hanya boleh tinggal di negara kafir (yang tidak memberlakukan syariat Islam) jika ia melakukan upaya untuk menegakkan kejayaan Islam di wilayah tersebut, atau jika hidup di bawah tekanan tirani yang korup. Di luar itu, muslim wajib tinggal di negara Islam (yang memberlakukan syariat Islam).

Untuk itu hijrah membuka atmosfer yang bebas dan murni untuk mengembangkan kejayaan dan kebenaran Islam. Hijrah adalah pelengkap bagi jihad untuk membantu penegakkan “hukum Allah,” yakni syariat Islam, melalui sistem khilafah (Maududi, dalam Bukay, 2016).

Qutb mengajukan pandangan yang beririsan dengan Maududi. Tapi ia menekankan hukum kekafiran bagi muslim yang tidak melakukan hijrah ke negara Islam karena keengganannya meninggalkan kenyamanan, atau takut menghadapi kesulitan dan kemalangan dalam pengasingan (Qutb dalam Bukay, 2016).

Sebelumnya didiskusikan tentang Hanifah yang merumuskan oposisi biner dalam wacana hijrah. Pengaruh dualisme tersebut terlihat pada pandangan Maududi dan Qutb. Yang membedakan, jika Hanifah menganggap hijrah fisik sudah tidak berlaku karena kondisi sudah aman, Maududi dan Qutb menghidupkannya kembali.

Jejak pengaruh Maududi dan Qutb ini akan terlihat dalam upaya perumusan wacana hijrah di Indonesia pada sekitar pertengahan abad ke-20 oleh SM Kartosoewirjo. (bersambung…)
 

Ahmad Makki, Praktisi Media Sosial, Kandidat Master Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia.