Opini

Masa Depan Manusia Setelah Corona

Sab, 4 April 2020 | 08:45 WIB

Masa Depan Manusia Setelah Corona

Selambatnya awal 2021 dalam skala global, ada empat hal yang sudah mulai berlangsung sejak dari sekarang, yaitu: deindustrialisasi, definansialisasi, diskoneksi fisik, dan pelokalan global.

Risalah ini berusaha menggabungkan beberapa pendekatan dalam wacana berpikir, yang dialamatkan untuk memapas virus ketakutan di tengah masyarakat Indonesia—dan semoga warga dunia. Setelah berbulan lamanya kita hidup dalam kepungan pandemik atau pagebluk dalam bahasa orang bahari, ada beberapa hal yang menarik untuk diamati.

 

Lihatlah bagaimana China yang menjadi awal mula kehadiran Corona (baca: Covid-19), dibuat tunggang langgang, bekerja keras siang-malam, dihujat sana-sini, dikambinghitamkan, dan kemudian tampil sebagai kampiun. Berbanding terbalik dengan Amerika—musuh bebuyutannya, yang mendaku sebagai negara adidaya, dan rupanya langsung babak bundas dihajar makhluk tak kasat mata. Ribuan orang di sana, mati dalam satu hari. Lantaran tak punya pilihan, alhasil Paman Sam terpaksa mengemis pada Negeri Tirai Bambu untuk mengatasi wabah global ini.

 

Satu teori konspirasi yang mengatakan Amerika sebagai biang kerok kelahiran Corona, patah arang. Tapi rupanya muncul teori lain. Bunyinya, kalangan elite global yang mengendalikan Amerika lah penanggungjawab ini semua. Anda bisa menelusurinya melalui pemberitan media nasional atau asing beberapa tempo lalu—terutama ketika Indonesia mulai kalang kabut. Ujug-ujug datanglah tawaran utang dari Bank Dunia, yang katanya untuk menghadapi pandemi yang kian memburuk.

 

Apa sih yang sebenarnya memburuk? Mari kita tilik data yang tersedia. Selama medio-Februari-Maret 2020, Corona telah merenggut 14. 687 korban jiwa. Tapi saat bersamaan, ada 69. 602 orang meninggal akibat flu biasa; 140. 584 tumpas diserang malaria; 153. 696 yang bunuh diri; 193. 479 tewas kecelakaan di jalan raya; 240. 950 terjangkit HIV; 358. 471 korban alkohol; 716. 498 lantaran merokok; dan 1. 177. 141 yang wafat diserang kanker. Jadi apa yang kemudian akan dihasilkan dari panik global sekarang? Siapa yang meniupkannya?

 

Teori lain dari mazhab konspirasi menengarainya datang dari kalangan Bankster (banker gengster). Perlu rekan pembaca ketahui, seluruh media massa berskala besar, berada di bawah kendali mereka sejak lama. Maka menjadi hal mudah menggiring publik untuk masuk ke dalam jurang ketakutan, dan baru bisa keluar jika diselamatkan dengan cara yang mereka tentukan. Apalagi kalau bukan melalui utang dan segala turunannya.

 

Skenario panik global yang kini berdengung di mana-mana, berhasil memunculkan kekacauan dan keputusasaan. Sesuai rumusannya, orang yang panik akan lebih mudah dimanipulasi oleh pihak yang dari awal telah merencanakan agenda tersebut. Tedros Adhanom Ghebreyeus, Sekjen World Health Organization (WHO) saat ini, tiba-tiba menekan habis-habisan negara terpapar virus Sars Cov-2 untuk segera menetapkan status tanggap darurat atas pandemi global. Padahal situasi tanggap darurat atas pandemi global jelas mengada-ada. Status tersebut hanya mungkin diterapkan jika dan hanya jika, tingkat kematian akibat infeksi telah mencapai angka lebih dari 12%.

 

Apakah Tedros sebagai peniup pluit punya agenda terselubung di balik situasi panik dunia, Cak?

 

Pada 19-25 September 2019. Bertempat di New York, sebuah aliansi yang bernama ID2020 yang disponsori World Economic Forum, mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi tentang Dampak Pembangunan Berkelanjutan bertema: “Rising to the Good ID Challenge.” Hasil pertemuan tersebut kembali dimatangkan di Davos, Swiss pada Januari 2020. ID2020 sepakat akan mengeluarkan pelantar identitas digital ke penjuru dunia. Bangladesh, telah ditunjuk sebagai negara perintis yang akan menerapkan program tersebut pada tahun ini.

 

Saat WHO mengeluarkan status darurat pandemi global, apa kira-kira yang mungkin dilakukan sebagai penangkalnya? Jelas upaya vaksinasi global. Proyek ini akan bersifat memaksa kepada semua orang karena status gawat daruratnya. Masih ingat dengan perjuangan Siti Fadilah Supari yang heroik itu ketika melawan proyek NAMRU-2? Sampai di sini semoga Anda mafhum.

 

Bersamaan dengan proses vaksinasi tersebut, chip nano juga disuntikkan pada tubuh manusia—yang kelak digunakan sebagai penanda digital dengan sistem biometrik. Tujuannya jelas, mengendalikan data pribadi orang di seantero dunia, dan monopoli uang digital yang semuanya akan terhubung melalui digital ID tadi. Tak heran bila Dr. Tadros lewat WHO, jauh-jauh hari sudah mengumandangkan seruan penggunaan uang digital sebagai pengganti uang konvensional. Karena, “penggunaan uang (terutama kertas) dapat meningkatkan penyebaran virus Corona,” begitu celotehnya. Mata uang ini jelas dimaksudkan untuk mengganti dollar yang sudah mulai ringkih. 

 

Lantas apa faedahnya kita membahas itu. Sementara memang tak terlalu penting. Tapi anasir yang mengarah ke sana, mudah sekali dibuktikan. Kendati demikian, tulisan ini bukan sedang diarahkan menuju ke arah itu. Kami hanya sedang berusaha fokus pada langkah strategis yang bisa kita tempuh guna menghadapi skenario zaman baru yang gerbangnya sudah mulai terbuka. Politik memang tak pernah berpikir tentang korban kemanusiaan! Namun kita tak boleh membiarkan kejahatan seperti itu merajalela di muka bumi.

 

Dunia yang Bersalin Rupa

Sebagai Muslim yang baik, tentu kita sudah sama-sama tahu bahwa di balik kesulitan ada kemudahan, setelah kemudahan muncul kesulitan. Sabar, tawakal, jangan takut dan bersedih, serta tetap berdoa dan ikhtiar, adalah senjata pamungkas yang kita punya. Belum lagi khazanah warisan leluhur yang masih ada hingga kini. Sebut saja gotong-royong, tepo seliro, mangan ora mangan asal kumpul, ringan sama dijinjing berat sama dipikul. Semua itu bisa kita gunakan untuk bahu membahu menyelamatkan kehidupan bernegara.

 

Namun tengoklah dengan lebih saksama kondisi dunia kita sekarang. Paling tidak, usai Corona mereda—paling lambat awal tahun 2021 dalam skala global, ada empat hal yang sudah mulai berlangsung sejak dari sekarang, yaitu: deindustrialisasi, definansialisasi, diskoneksi fisik, dan pelokalan global. Sebagian besar industri manufaktur sudah mematikan mesinnya sedari tiga bulan terakhir. Dampaknya, laju ekonomi pun terancam terjun bebas ke titik nadir. Diskoneksi fisik akibat penjarakan sosial membuat kita harus berpikir keras bagaimana cara menanam padi di sawah, dari rumah.

 

Pemutusan hubungan sosial antarmanusia, terutama karena moda transportasi yang akan sulit digunakan, tentu memaksa kita kembali masuk ke desa yang tak lagi mengglobal. Tenang saja. Anda masih bisa bermedsos ria, tapi secara fisik, cara kita hidup terpental ke zaman merkantil. Nilai mata uang yang hancur, jelas menjadikan barang hanya bisa ditukar dengan barang. Pasar liar perdagangan kian sulit dikendalikan—terutama oleh negara.

 

Sebagai penutup, kami juga sangat ingin sedulur sedanten tetap semangat merayakan panggung kehidupan ini. Pemerintah Indonesia jangan pula terlampau bergantung pada cadangan devisa yang pasti akan menyusut drastis. Masih ada praktik moneter modern yang bisa dikaryakan. Gelontorkan suntikan bantuan ke pelaku ekonomi mikro yang tak bergantung pada impor. Bentuk satuan kerja khusus, agar proses penyalurannya tak harus melalui jasa perbankan. Terbitkan rupiah dalam edisi terbatas, yang hanya diperuntukkan untuk itu.

 

Roda perekonomian pasar global yang belum bisa berputar maksimal sampai akhir 2020, setidaknya tak membawa ekonomi negara kita runtuh secara dramatis. Indonesia yang notabene berpenduduk Muslim terbesar sedunia, berpeluang maju ke garda terdepan sebagai tolok ukur ketahanan sebuah bangsa, dalam menghadapi zaman baru yang ufuknya sudah terbit bersama pandemi. Mari kita buktikan dengan segenap jiwa-raga, bahwa negeri gemah ripah loh jinawi ini dihidupi manusia pemberani.

 

 

Ren Muhammad, pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas; Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institute.