Opini

Maulid Nabi dan Esensi Peringatannya

Sab, 1 Desember 2018 | 11:00 WIB

Oleh  Munandar Harits Wicaksono

Hari Selasa 20 November 2018, bertepatan pada 12 Rabiulawal 1440 H, umat Islam di seluruh dunia kedatangan hari istimewa. Bukan sembarang hari, mengingat pada hari tersebut–sekitar lima belas abad yang lalu, lahir sesosok manusia yang paling mulia. Sosok penyampai risalah, sekaligus sosok yang dijadikan suri tauladan bagi segenap insan. Beliau adalah Nabi Muhammad Saw.

Sebagai hari lahirnya utusan Allah yang membawa panji keselamatan dan rahmat seluruh alam, sudah selayaknya hari tersebut diperingati dengan meriah dan penuh suka-cita. Di kota Tarim, provinsi Hadhramaut, Yaman, kedatangan hari istimewa ini tidaklah cukup diperingati hanya dalam perayaan satu-dua hari saja. Akan tetapi, sebulan utuh orang-orang akan disibukkan dengan rangkaian acara pembacaan Maulid yang berisi rangkuman sejarah dan puji-pujian terhadap Nabi Muhammad Saw di berbagai tempat. Sebut saja pembacaan Maulid Harafisy di Masjid Baalawi pada malam 12 Rabiulawal, juga pembacaan Maulid Simthuduror di masjid kuno Assegaf pada Kamis terakhir bulan Rabiulawal. Hampir seluruh masyarakat sekitar, termasuk pelajar Indonesia yang sedang menimba ilmu di kota tersebut, berbondong-bondong datang seolah melaksanakan shalat Idul Fitri ataupun Idul Adha.

Di Indonesia, kedatangan hari istimewa tersebut juga tidak kalah disambut dengan meriah. Hanya saja, bila penyambutan di kota Tarim lebih kental dengan nuansa keseragaman karena sudah menjadi adat dan kebiasaan seluruh lapisan masyarakat, di Indonesia, setiap masyarakat punya caranya tersendiri dalam menyambut dan mengekspresikan suka-cita mereka. Pembacaan maulid di masjid-masjid–seperti halnya di kota Tarim, nyatanya juga dilaksanakan oleh sebagian masyarakat. Namun, bagi mereka yang tidak melakukan, pada hakikatnya mereka tetap memperingati hari istimewa tersebut lewat pengangkatan Sirah Nabi Muhammad sebagai topik hangat dalam kajian keislaman maupun perbincangan majelis mereka. Belum lagi kehadiran bazar, grebeg Maulid dan lain sebagainya, masyarakat Indonesia sejak dahulu memang sudah dikenal sebagai masyarakat yang kreatif dalam mengadakan peringatan atas momentum tertentu.

Sudah selayaknya memang, hari kelahiran Muhammad Saw dirayakan dengan meriah oleh seluruh umat Muslim sedunia. Hal ini dapat dimengerti lewat kedudukan yang diberikan oleh Allah kepadanya. "Dan tidaklah kami mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam," demikian arti salah satu firman Allah dalam Al-Qur'an. Bahkan dalam sebuah hadits qudsi, dikatakan bahwa Allah berfirman, “Kalau bukan karena engkau (Muhammad), maka alam semesta ini tidaklah diciptakan."

Tingginya kedudukan Nabi Muhammad juga dapat dilihat dalam kisah yang dicerikatan oleh Al-Qur'an. Dalam surat Al Imran ayat 81, Allah berfirman, "Dan ingatlah ketika Allah mengambil perjanjian dan para Nabi, 'Sungguh apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang Rasul (Muhammad) yang membenarkan kamu,  niscaya kamu sungguh-sungguh akan beriman kepadanya dan menolongnya.' Allah  berfirman, 'Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku yang demikian itu?' Mereka pun menjawab, 'Kami mengakui'". Senada dengan firman tersebut, Nabi Muhammad dalam riwayat Imam Ahmad bersabda, "Demi (Allah) yang jiwaku berada pada genggaman-Nya, seandainya Musa As hidup, dia tidak dapat mengelak dan mengikutiku."

Kedudukan tinggi Nabi Muhammad Saw ini sendiri, tak lepas dari kemuliaan akhlak dan budi pekerti yang ia miliki. Allah memujinya dalam surat Al-Qalam ayat 4, "Sesungguhnya engkau (Muhammad), berada di atas akhlak yang agung". Adapun dalam rangkuman sejarah, diceritakan bahwa Nabi Muhammad setiap hari selalu memberi makan dan menyuapi seorang Yahudi buta di pojok pasar Madinah. Padahal, Yahudi buta tersebut selalu mencaci-makinya saat disuapi. Barulah setelah Nabi Muhammad wafat, Yahudi tersebut mengetahui bahwa orang yang telah ia caci maki adalah Muhammad, orang berakhlak mulia yang peduli kepadanya.

Dalam konteks abad modern, Mahatma Ghandi yang beragama Hindu,memberikan pengakuan terhadap keluhuran budi Nabi Muhammad Saw. Dalam sambutannya untuk buku Muhammad Prophet for our Time yang ditulis oleh Karen Amstrong, ia menyatakan, “Saya takjub, manusia seperti apa yang hingga hari ini menawan hati jutaan manusia. Saya menjadi lebih dari sekedar yakin, bahwa bukan pedang yang membuat Islam jaya. Kebersahajaan, pelenyapan ego Sang Nabi, tekad kuat untuk memenuhi janjinya, pelayanan yang amat mendalam kepada sahabat dan pengikutnya, keberanian yang tak mengenal rasa takut, keyakinan kepada Tuhan dan misinya, semua inilah yang membuat Islam berjaya dan mampu menyingkirkan segala penghalang."

Berkaca pada hal tersebut, terlebih bertepatan dengan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw di bulan ini, sudah selayaknya bagi kita, pemeluk agama Islam untuk memperbaharui kembali semangat dalam mencintai manusia agung ini. Boleh saja, cinta tersebut diekspresikan dengan beragam cara seperti pembacaan kitab Maulid dan ragam peringatan lain. Namun, apa pun bentuknya, yang menjadi esensi terpenting dalam peringatan hari Maulid sesungguhnya adalah pelajaran apa yang dapat kita ambil dari sejarah kehidupan Sang Utusan.

Fiqh Sirah Nabawi, buku karya dr Muhammad Said Ramadhan Buthi dan Fiqh Sirh karya Syaikh Muhammad Alghozali, boleh dikedepankan ketika membicarakan konteks ini. Kedua ulama ini tidak hanya sebatas menulis sejarah kehidupan Nabi Muhammad saja–seperti dalam kitab-kitab Maulid konvesional, namun keduanya juga berusaha menyimpulkan pembelajaran apa yang bisa diambil dalam setiap kejadian di masa hidup Rasul. Lebih lanjut, bahkan dr Buthi membuat pembelajaran tersebut menjadi sub bab khusus pada setiap bab dengan menamainya Alibrah wal idzat. Hal ini dirasa lebih urgen, karena selain mengetahui realitas sejarah dan mengenal pribadi Nabi Muhammad lebih dekat, mengambil pelajaran dari momentum sejarah kehidupan Rasul, kemudian menerapkan nilai-nilainya bukan tidak mungkin bisa menjadi solusi kita dalam menghadapi permasalahan-permasalahan di masa kini.

Penulis adalah mahasiswa tingkat akhir universitas Al-Ahqaff, Hadhramaut, Yaman.