Opini

Memahami Bencana Sejak dalam Pikiran dan Perbuatan

Jum, 2 Desember 2022 | 11:00 WIB

Memahami Bencana Sejak dalam Pikiran dan Perbuatan

Bencana gempa bumi di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (21/11/2022) lalu. (Foto: NU Online/Suwitno)

Indonesia masuk daerah rawan bencana alam. Sebab, Indonesia berada dalam lingkaran ring of fire (baca: cincin api pasifik), memiliki ratusan sesar aktif dan ratusan gunung api, serta memiliki ancaman bencana longsor, banjir, dan kekeringan. Terjadinya bencana alam tidak selalu disebabkan murni karena faktor alam. Melainkan ada juga yang disebabkan oleh ulah manusia yang serakah. Seperti pengundulan hutan, pencemaran udara hingga buang sampah sembarangan. Banjir, gempa bumi, dan tanah longsor kini hampi setiap hari menghiasi pemberitaan layar televisi dan di media massa. 


Memahami istilah bencana 

Smith & David N. Petley dalam Environmental Hazards: Assessing risk and reducing disaster mendefinisikan bencana sebagai berikut, disasters are social phenomena that occur when a community suffers exceptional levels of disruption and loss due to natural processes or technological accidents.


Kalimat di atas merupakan ucapan Keith Smith & David dapat dipahami bahwa bencana alam ini sesungguhnya merupakan fenomena sosial akibat peristiwa alam. Tidak semua peristiwa alam seperti gempa bumi atau tanah longsor dapat disebut bencana alam. Namun ketika bersentuhan dengan manusia dan menimbulkan kerugian harta dan jiwa maka itulah yang disebut bencana alam. 


Bencana dalam perspektif Islam 

Hal ini dikemukan oleh KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) yang berpendapat bahwa, “Apabila pandemi dan musibah-musibah yang terjadi kita anggap sebagai cobaan atau teguran Tuhan, maka kita tidak boleh lupa bahwa cobaan/teguran itu untuk kita semua.”


Menanggapi pernyataan Gus Mus di atas, artinya semua itu menyadarkan kepada kita semua bahwa bencana hampir mustahil kita bisa hindari selama kita hidup di muka bumi. Korban harta benda dan nyawa sudah tidak terhitung. Gedung-gedung mewah hancur, jembatan penyeberang jalan runtuh, rumah sakit dan fasilitas publik lain bisa rusak. Semua itu menegaskan, betapa mengerikannya bencana yang terjadi ancaman bagi kehidupan kita. 


Yang mengejutkan adalah ketika bencana bertubi-tubi menyergap kita, muncul pertanyaan, “Apakah segala tragedi atau musibah yang merenggut ribuan nyawa dan meluluhlantakan sebagian negeri ini merupakan kehendak Tuhan? Sebuah suratan takdir? Ataukah ini hanya sebagai kejadian alam semata saja?”


Dalam penelitian yang dipublikasikan di Researchgate, bencana alam yang menimpa manusia merupakan qadha dari Tuhan Alam Semesta. Namun, dibalik qadha tersebut ada fenomena alam yang bisa dicerna. Termasuk ikhtiar untuk menghindarinya sebelum bencana alam terjadi. Dalam suatu kejadian bencana alam ada domain yang berada dalam kuasa manusia dan yang berada di luar kuasa manusia.


Segala upaya yang dapat meminimalisasi bahkan dapat meghindarkan dari bahaya dan risiko bencana alam ialah domain yang berada dalam domain kuasa manusia. Peristiwa alam yang menghasilkan bencana alam tidak dapat dicegah ataupun dihilangkan. Namun segala usaha menghindarkan interaksi antara peristiwa alam yang menimbulkan bencana alam dengan manusia, inilah yang termasuk ke dalam upaya manajemen dan mitigasi bencana alam. 


Menyelamatkan diri atau orang lain dari bahaya termasuk dalam kategori ikhtiar (usaha) yang wajib dilakukan. Umar bin Khattab dikisahkan menghindari suatu daerah yang sedang dilanda wabah penyakit. Ketika ditanya apakah perbuatan seperti itu tidak berarti menghindar dari takdir karena terkena penyakit adalah sebuah takdir yang jika Tuhan telah menetapkannya, maka manusia tidak akan bisa menghindar.  Maka Umar menjawab bahwa ia menghindari suatu takdir untuk menuju takdir yang lain.   


Riwayat Umar tersebut menggambarkan bahwa fatalisme (pasrah) dalam situasi bencana alam adalah sikap yang tidak dibenarkan oleh Islam. Allah melarang orang-orang yang beriman untuk putus asa ketika ditimpa bencana alam dan mengharuskan bersikap positif (husn al-dhann) terhadap pertolongan Allah (wa la tai’asu min rauhillah).


Dalam semangat yang sama walaupun dalam konteks yang berbeda, Nabi Muhammad saw mengharuskan umatnya untuk memenuhi hak-hak keselamatan diri, misalnya larangannya terhadap puasa wisal (bersambung tanpa buka) dan menyatakan bahwa badan dan mata manusia punya hak istirahat agar tetap dalam keadaan sehat. Dalam makna yang lebih luas, ini berarti kewajiban untuk menyelamatkan nyawa manusia. 


Kalaulah bencana ini merupakan kehendak Tuhan, lalu di mana sifat Tuhan sebagai Yang Maha Penyayang dan Pengasih diwujudkan bagi umat-Nya? Bukankah bencana yang merenggut ribuan nyawa, yang menyebabkan ribuan anak menjadi yatim dan piatu bila ditinggalkan oleh kedua orang tuanya, tidaklah mencerminkan sifat tersebut? Atau sebaliknya orang tua kehilangan anaknya. 


Dalam pemahaman kebanyakan manusia, sifat Maha Penyayang dan Pengasih senantiasa diidentikan dengan limpahan kesenangan, rezeki yang banyak, kesehatan, kedudukan, dan segala bentuk kesenangan lainnya. Saat mendapatkan limpahan kesenangan tersebut, dengan serta-merta kita menyimpulkan bahwa Tuhan Maha Penyayang dan Pengasih.  


Sebaliknya, kalau segala kesusahan menimpa, seperti bencana yang tiada henti, kelaparan, kehilangan orang-orang yang kita kasihi, kehilangan harta benda, dengan cepat pula kita menyimpulkan bahwa Tuhan. Tidaklah adil. Bahkan, mungkin dalam benak kita muncul prasangka bahwa Tuhan jahat dan kejam. Naudzubillah. 


Tugas Muslim menjaga bumi

Bumi, tempat kita hidup saat ini, sedang tidak baik-baik saja. Coba perhatikan sekeliling kita. Banjir sudah di mana-mana. Tanah longsor mengancam. Es di kutub lebih cepat mencair. Gempa bisa datang kapan saja tanpa diduga. Masihkah kita bersikap sombong dengan tidak peduli? Padahal Tuhan Alam Semesta tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.


وَإِذَا تَوَلَّىٰ سَعَىٰ فِى ٱلْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ ٱلْحَرْثَ وَٱلنَّسْلَ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ ٱلْفَسَادَ


"Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan." (QS Al Baqarah: 205)


Berbicara masalah itu, maka kita akan berbicara bagaimana hubungan sebuah bencana dengan Tuhan. Sebagai pencipta alam semesta juga sangat mudah untuk menjadikan alam ini hancur lebur, baik dengan mendatangkan bencana alam kepada segenap penduduk, atau dalam bahasa lain kita sebut dengan takdir. Walaupun takdir itu sebenarnya mengiringi usaha manusia. 


Mendalami pembahasan ini ada sebuah ayat pada QS. Al-A'raf: 96 yang patut untuk ditelaah terlebih dahulu berbunyi, “Dan seandainya penduduk suatu negeri itu beriman dan bertaqwa (kepada Allah), maka sungguh akan kami buka pintu berkah dari langit dan bumi (untuk penduduk desa tersebut). Akan tetapi mereka mendustakan, maka kami azab mereka atas apa yang telah mereka perbuat.”


Memaknai ayat di atas, bahwasanya Tuhan akan membiarkan berkah atau rezeki kepada suatu penduduk negeri jika penduduk tersebut benar-benar beriman dan jauh dari kemiskinan. 


Sesungguhnya, bencana tidak terjadi begitu saja. Tuhan alam semesta tidak sewenang-wenang memerintahkan bumi berguncang atau laut menerjang. Dalam beberapa ayat-Nya, Allah swt menjelaskan bahwa bencana terjadi ketika hukum Allah dilanggar oleh manusia, ketika umat manusia telah melampaui batas. Menyelami kisah seperti bencana banjir yang ditimpakan dalam kisahnya umat Nabi Nuh atau kehancuran yang ditimpakan kepada umat Nabi Luth. 


Dari apa yang dikisahkan para nabi dan peristiwa yang sedang dialami sekarang, jelas bahwa dalam Al-Qur’an hanya orang yang berimanlah yang selamat. Sedangkan celaka bagi orang yang senantiasa membuat kerusakan di muka bumi. Wallahu a’lam bisshawab


Lukman Zaenudin, penulis tinggal di Indramayu