Opini

Memaknai Ulang Dzikir Tasyrik

Sel, 5 September 2017 | 05:31 WIB

Oleh Muhammad Afiq Zahara

Masa tenggang ayyâm al-tasyrîq telah usai, menjadi tanda berlalunya Idul Adha. Manusia sebagai makhluk berkecerdasan tinggi, seharusnya dapat mengambil hikmah darinya. Tidak ada di dunia ini makhluk yang memiliki “ability to solve problem—kemampuan mengatasi masalah” sebaik manusia. Kemampuan ini yang membuat manusia dapat menalar, mempertimbangkan, mengobservasi, menganalisa dan menciptakan.

Namun uniknya, meski manusia memiliki seperangkat kemampuan semacam itu, Tuhan tetap memberi perintah manusia untuk berpikir (la’allakum tatafakkarûn) dan menggunakan akal (la’allakum ta’qilûn). Artinya, dalam diri manusia ada dua sisi yang saling berlawanan, konstruktif dan destruktif.

Dalam sejarah umat manusia, sedikit sekali manusia yang berhasil memaksimalkan potensinya. Kebanyakan dari mereka sekedar menjalani hidup saja, sleep walking (tidur berjalan). Mereka bahkan melupakan dirinya adalah manusia yang diadakan, bukan ada dengan sendirinya; yang diciptakan, bukan kebetulan tercipta. 

Imam Junaid al-Baghdadi mengatakan: “Wujuduka dzanbun, lâyuqâsh bihi dzanb—adamu adalah dosa, tiada dosa yang sebanding dengannya” (Musthofa al-’Arûsi, Natâ’ij al-Afkar al-Qudsiyyah, juz 2, hlm 169).Kelalaian dalam memandang diri sebagai makhluk yang diadakan, membuat kita lupa kepada sang pencipta. Kelalaian (al-ghaflah) ini mengakibatkan dua hal, yaitu sombong dan acuh.

Sombong, karena kita merasa diri kita ada, bukan ciptaan yang diadakan.Konsekuensinya, ketika kita berhasil mencapai sesuatu, kita lupa akan keterlibatanNya, menganggap semuanya murni hasil usaha kita. Ketika Nabi Sulaiman asberhasil mencapai sesuatu, dia menggambarkannya dengan ungkapan indah penuh kerendahan (Q.S. al-Naml [40]: 40):“Ini anugerah Tuhanku untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau ingkar (atas nikmatNya).”

Acuh, karena kita melupakan muasal kita, siapa kita sebenarnya dan apa tujuan akhir hidup kita, sehingga kita tak pernah berpikir jauh dan dalam, hanya bertahan untuk terus hidup. Inilah yang dialami banyak manusia. Ketidak-perdulian mereka akan diri mereka sendiri, berpengaruh pada ketidak-perdulian mereka secara sosial.

Hari Tasyrik (Ayyâm al-Tasyrîq) adalah pengingat. Puasa, ibadah yang semula dianjurkan, dilarang di hari tasyrik. Rasulullah menyebutnya (H.R. Imam Muslim no. 1141): “Ayyâm akl wa syurb—hari makan-makan dan minum-minum” dan memberinya predikat sebagai a’dham al-ayyâm ‘ind Allah (hari termulia di sisi Allah).

Puasa merupakan salah satu ibadah yang ruang lingkup hikmah sosialnyasangat luas, mulai dari merasakan kelaparan, menahan diri dari yang haram, meningkatkan kelembutan hati sampai pengembangan kasih sayang. Namun, di hari tasyrik ibadah puasa dilarang dilakukan.Apa hikmah yang bisa kita ambil? Allah SWT berfirman (Q.S. al-Baqarah [2]: 203): “Berdzikirlah (dengan menyebut) Allah di hari-hari yang terbilang.”

Kalimat ‘hari-hari yang terbilang’ (al-ayyâm al-ma’dûdât) adalah hari tasyrik, menurut Ibnu Abbas ra (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, juz 1, hlm 203). Ayat diatas menunjukkan berdzikir merupakan ibadah yang sangat dianjurkan di hari tasyrik. Di samping hadits Rasul yang mengatakan: “Ayyâm al-tasyrîq ayyâm al-tha’am wa al-dzikr—hari tasyrik adalah hari makan dan berdzikir.”

Di hari tasyrik, makan yang bersifat kebutuhan jasmani disandingkan dengan dzikir yang bersifat ruhani. Dua sisi yang mewujud dalam diri manusia. Jika dilihat dari proses penciptaanya, bahan dasar manusia adalah tanah yang identik dengan kotor, rendah dan lembek. Kemudian bercampur dengan ruh Tuhan yang luhur. Pertemuan dua unsur berbeda ini membentuk manusia yang tidak hanya mewarisi kebaikan-kebaikan Tuhan tapi juga kerendahan tanah.

Dalam hidup, kita lebih sering menuruti kebutuhan tanah (daging) dibandingkan ruh yang ditiupkan Tuhan (jiwa). Kita diberi waktu tiga sampai empat hari untuk memuaskan unsur tanah kita (fisik/daging) di hari tasyrik, tapi Tuhan juga menginginkan kita bisa menyeimbangkannya dengan dzikir, agar ruhani kita tidak kering dan lapar. Keseimbangan keduanya sangat dibutuhkan dalam menjalani kehidupan.

Dzikir adalah terma yang tidak biasa, memiliki arti yang luas cakupannya. Berasal dari kata dzakara-yadzkuru-dzikran yang berarti menyebut, mengingat-ingat, dan menjaga.Dalam al-Qur’an kata dzikr terkadang digunakan untuk menunjukkan ‘pengetahuan’ (Q.S. al-Nahl [16]: 43). Artinya, wilayah operasional dzikr sangat luas.

Makna pertama ‘menyebut’, wilayah operasionalnya berada di lidah atau mulut, menunjukkan kepada sisi luar atau jasmani. Kedua ‘mengingat-ingat’ atau recollection yang beroperasi di hati. Penggunaan kata dzikr dalam arti ‘mengingat-ingat’ berdasar pada kesaksian manusia ketika Allah meniupkan ruhNya yang diikuti pertanyaan (Q.S. al-A’raf [7]: 172): “Alastu birabbikum?—bukankah Aku tuhan kalian?” Mereka menjawab: “Balâ syahidnâ—benar, kami bersaksi”.

Untuk mengingat, harus ada peristiwa yang pernah terjadi atau harus ada yang dilupakan. Setelah manusia bertemu dengan dunianya, terlahir dari alam atas ke alam bawah. Mereka melupakan perjanjian mereka dengan Tuhan. Kelupaan itu bertambah besar ketika manusia tidak bisa menyeimbangkan kebutuhan ruhani dan jasmani. Hampir semua perilaku mereka untuk memuaskan hasrat jasmani, dan ruhani pun terabaikan.

Ketiga ‘menjaga’, apabila dua proses makna itu telah diterapkan, kita harus menjaga dzikr kita dengan istiqomah agar keseimbangan lahir (lisan) dan batin (hati) terjaga, hingga sampai pada titik harmonisasi jiwa dan raga. Tidak ada lagi conflict of interest antara jasmani dan ruhani, semuanya saling melengkapi dan berimbang.

Mencapai semua itu tidak mudah, kita membutuhkan pengetahuan seperti makna lain zikir yang digunakan al-Qur’an. Tanpa pengetahuan zikir hanya berarti ibadah. Pengaruh internal dan eksternalnya terbatas. Rasulullah bersabda (H.R. Imam Tirmidzi): “Keutamaan orang alim atas ahli ibadah, sama seperti keutamaanku atas orang paling rendah dari kalian.”

Ilmu pengetahuan merupakan bagian integral dari proses intelektual manusia. Tanpa itu, manusia yang sering disebut “animal rational” (binatang berakal), tidak akan mampu menggunakan kekuatan rasionalnya secara metodologis atau terarah. Kelebihan manusia dalam, “capable of reasoning, having ability to grasp relationship and purposes—kemampuan menalar, memahami hubungan dan tujuan” tidak akan bekerja dengan baik(Julian D. Davis, A Philosophy of The human Being, hlm 3). Efeknya, tugas kita sebagai pengemban amanat Tuhan di dunia tidak maksimal.

Karena itu, setelah berakhirnya hari tasyrik ini, kita perlu menghidupkan lagi ingatan kitatentang Tuhan. Kita perlu merituskan tasbih penyerahan diri, munajat pembersihan hati, tafakkur perbaikan jiwa, dan tadabbur pensucian laku. Agar hati kita tak lagi kaku mengingat Tuhan, memohon ampunanNya dan berbaik sangka kepadaNya.

Hari tasyrik telah usai. Daging kurban telah habis. Puasa sunnah dapat dikerjakan lagi. Waktu terus berjalan. Hidup terus begerak. Pertanyaannya, apakah ada yang berubah pada diri kita? Setelah kita memakan daging kurban? Setelah kita melaksanakan shalat Idul Adha? Setelah kita dilarang berpuasa? Wallahu a’lam.

Penulis adalah Warga NU dari Yogyakarta, alumnus Pondok Pesantren al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan dan Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.