Opini

Membangun Budaya Mutu Madrasah

Jum, 5 Februari 2016 | 12:00 WIB

Oleh Ruchman Basori
Madrasah merupakan sekolah umum berciri khas Islam. Ciri khas Islam yang dimaksud adalah terdapatnya mata pelajaran Aqidah Akhlak, Al-Quran Hadits, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam dan Bahasa Arab yang membedakannya dengan sekolah.

Madrasah lahir dan berkembang sejalan dengan perkembangan Islam Indonesia dan eksistensinya telah diakui sepanjang sejarah bangsa. Menurut Data EMIS Kementerian Agama RI (2015) saat ini terdapat 76.551 Madrasah (MI, MTs dan MA) dengan jumlah siswa mencapai 9.010.576 se-Indonesia dan memiliki guru berjumlah 737.722 orang.

Arah kebijakan pengembangan Madrasah oleh Kementerian Agama RI adalah tidak saja memperluas akses agar anak-anak Indonesia yang berusia sekolah mendapatkan layanan pendidikan madrasah dengan baik dan tata kelola manajemen madrasah dikembangkan. Namun juga peningkatan mutu madrasah. Madrasah di Indonesia mampu menghasilkan lulusan yang mampu bersaing dikancah nasional dan global.  

Membangun madrasah yang bermutu adalah menjadi impian bagi semua penyelenggara pendidikan juga masyarakat sebagai pengguna (user). Madrasah berlabel percontohan, madrasah model, dan madrasah unggul, kini menjadi rebutan masyarakat. Beragam atribut tersebut, erat kaitannya dengan masalah ‘mutu’ atau ‘kualitas’. Dimanapun Madrasah itu berada dan seberapa biaya yang dikeluarkan, akan dicari dan di buru oleh sang pelanggan.

Pengelola lembaga pendidikan di abad ini, harus menjadikan mutu sebagai orientasi utama. Bukan semata-mata proyek, uang dan yang penting lembaga pendidikan yang dikelola berjalan. Sehingga mendapat predikat sebagai lembaga yang la yamutu wala yahya, mati segan hidup tak mau. Menciptakan Madrasah bermutu juga menjadi keniscayaan dalam memenangkan persaingan, tidak saja di dunia bisnis tetapi juga dunia pendidikan.

Dulu, madrasah distigma sebagai pendidikan kelas dua, pendidikan alternatif dan kerap menjadi “lembaga bengkel”, karena didalamnya tempat anak-anak bermasalah secara moral. Madrasah menjadi tempat perbaikan akhlak setelah sekolah dianggap kurang berhasil menjadikan mereka anak-anak baik. Kini sudah berjibun madrasah yang dinilai memiliki keunggulan di banding dengan lembaga pendidikan lainnya.

Pertanyaannya adalah bagaimana menciptakan atau membangun budaya mutu di lingkungan pendidikan Madrasah?

Dikatakan dalam banyak literatur, budaya organisasi yang mendorong kemajuan adalah budaya yang mengarah pada peningkatan prestasi organisasi. Tugas kita adalah membangun budaya organisasi untuk selalu berprestasi—di kenal dengan istilah achievement culture, yaitu tipe organisasi yang mendorong dan menghargai kinerja orang (Victor SL, 2002). Budaya organisasi merupakan manifestasi nilai-nilai dan tradisi yang diyakini dan melandasi organisasi. Hal itu tercermin ketika organisasi menyusun kode etik yang menjadi guideline karyawan berfikir, berperilaku, dan bekerja untuk kemajuan organisasi. Oleh karenanya Goetsch and David mensinyalir lima elemen budaya organisasi yang mengarah pada kualitas, yaitu lingkungan bisnis/kerja (business environment), nilai-nilai organisasi, role model budaya, ritual dan perilaku organisasi, pewarisan nilai-nilai dan kultur (cultural transmitter).

Pakar manajemen telah banyak mendefinisikan tentang mutu. Goestch dan Davis (1994) mutu merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Menurut Juran, mutu adalah kecocokan penggunaan produk (fitness for use) untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Sementara itu Crosby (1983) mendefinisikan mutu dengan conformannce to requirement, yaitu sesuai dengan yang isyaratkan atau distandarkan. Adapun Deming, mutu adalah kesesuaian dengan kebutuhan pasar atau konsumen. Ahli lain semacam Feigenbaum, menuebut mutu adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya (full customers satisfaction) (Nasution, 2001: 15-16).

Dengan demikian budaya mutu adalah sebuah sistem nilai organisasi yang membentuk lingkungan yang kondusif untuk pembentukan dan peningkatan mutu secara terus menerus. Hal ini terdiri atas nilai-nilai, tradisi, prosedur, dan harapan untuk meningkatkan mutu (Goetsch and Davis 2010: 116).  

Madrasah yang dianggap mempunyai budaya mutu adalah madrasah yang mempunyai kultur mutu baik secara kelembagaan, sumber daya manusia dan suasana pembelajaran serta kultur akademik. Cara padang untuk selalu unggul, tata kelola madrasah yang dinamis, kurikulum pembelajaran yang kreatif dan inovatif, para guru yang mempunyai carakter dan kapasitas di atas rata-rata madrasah lain dan penciptaan lingkungan madrasah yang mendukung untuk fastabiqul khairat. Pemimpin Madrasah, guru dan karyawan sama-sama berkomitmen menciptakan budaya mutu untuk mendukung kemajuan madrasah untuk mengantarkan lembaganya meraih kesuksesan.

Perubahan Budaya
Banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan budaya organisasi. Berikut ini adalah 10 langkah yang dapat digunakan oleh profesional dalam membangun landasan dalam budaya mutu dalam sebuah organisasi: Pertama, Memahami (understand). Kualitas merupakan sebuah konsep budaya. Pembentukan budaya harus didasarkan pada pemahaman para manajer eksekutif terhadap konsep budaya mutu dan peran mereka dalam membangun dan mempertahankan budaya mutu; Kedua, Menilai (assess). Penilaian secara komprehensif terhadap budaya perusahaan yang ada yang berhubungan dengan mutu dilakukan dan hasilnya dikompilasi;

Ketiga, Perencanakan (plan). Mengembangkan rencana komprehensif untuk membangun budaya mutu. Perencanaan yang matang diibaratkan sebagai setengah keberhasilan sebuah program; Keempat, Mengharap (expect). Para eksekutif, manajer, dan supervisor memastikan bahwa seluruh personil mengetahui bahwa sikap dan perilaku positif terhadap mutu itu diharapkan; Kelima, Idola (model). Para eksekutif, manajer, dan supervisor harus secara konsisten menjadi role model positif terhadap perilaku dan sikap yang berkaitan dengan mutu yang diharapkan kepada para pegawai;

Keenam, Mengarahkan (orient). Orientasi pegawai baru harus diarahkan pada mutu yang komprehensif; Ketujuh, Mentor. Banyak organisasi menggunakan jasa mentor dan konsultan untuk membantu mengembangkan para pegawai baik dari sisi soft-skill maupun hard-skill-nya; Kedelapan, Melatih (train). Menyediakan pelatihan mutu pada semua level dalam organisasi. Para pegawai memahami tidak hanya sekedar “bagaimana” mutu tapi juga “kenapa”, jadi lebih bersifat filosofis. Kesadaran akan makna filosofis ini berpengaruh terhadap kinerja, karena dia tahu persisi mengapa dia melakukan suatu pekerjaan. Kesembilan, Monitor. Supervisor memonitor sikap dan perilaku yang berkaitan dengan mutu secara terus-menerus; Kesepuluh, Reinforce and maintain. Untuk mempertahankan budaya mutu yang sudah terbentuk, organisasi harus menekankan perilaku dan sikap terkait mutu yang diharapkan dari para pegawai (Goetsch, 2010: 121-122). Perlu upaya yang bersifat “memaksa” (reinforce) guna memastikan sikap dan perilaku positif tetap tumbuh dan berkembang, sekaligus ini sebagai bagian dari upaya mempertahankan (maintain).

Top leader memegang peranan yang sangat penting dalam meletakan fondasi budaya mutu. Diawali dengan komitmen tinggi untuk mewujudkan budaya mutu, menjadi role model (uswah hasanah) para karyawan dan perlunya mentor dan pelatihan budaya mutu.

Keberhasilan total quality managemen membutuhkan perubahan budaya (cultural change). Perubahan budaya harus mendahului atau setidaknya paralel dengan implementasi total quality hal ini dikarenakan: Pertama, perubahan hanya akan terjadi dalam lingkungan yang penuh koordinasi, solid dan komplementer meskipun masing-masing organ memegang peranan yang berbeda; Kedua, proses menuju total quality membutuhkan waktu dan bahkan tantangan yang tidak mudah; Ketiga, kesulitan untuk menghilangkan praktik/tradisi masa lalu (Goetsch, 2010: 119). Perubahan akan terhambat manakala sebuah organisasi sudah terperangkap pada kebiasaan yang telah mengakar kuat dan terjadi dalam waktu yang lama. Jika semua orang dalam organisasi sudah merasa nyaman dengan comfort zone tersebut, pada akhirnya tradisi yang sudah berlaku lama tersebut akan susah dihilangkan.

Biasanya kelompok yang menolak perubahan didasari oleh alasan-alasan seperti takut (fear), kehilangan kontrol, tidak menentu (uncertainty), dan banyak pekerjaan (more work). Untuk itu perlu ditempuh pelbagai strategi untuk menghilangkan penolakan perubahan: (1) Melibatkan para penolak perubahan; (2) Menghindari keterkejutan; (3) Bergerak secara lambat pada awalnya; (4) Mulai dari hal-hal kecil dan fleksibel; (5) Membangun lingkungan positif; (6) Incorporate the change; (7) Provide a quid pro quo; (8) Merespon secara cepat dan positif; (9) Bekerja dengan pemimpin yang mapan; (10) Memperlakukan orang dengan menjaga martabat dan secara hormat; dan (11) Konstruktif.

Perubahan adalah ruh dari kemajuan dan biasanya banyak tantangan. Di sini peran Kepala Madrasah harus membangun Tim Perubahan Budaya ke arah mutu madrasah yang di pimpinnya. Sambil terus menerus mengajak komunikasi dan dialog dengan pihak-pihak yang dirasa masih berat untuk melakukan perubahan.

Indikator Keberhasilan
Indikator keberhasilan budaya mutu, terletak pada sejauhmana semangat, nilai-nilai, norma-norma yang telah menjadi inti dari budaya mutu dapat diimpelementasikan dalam suatu Madrasah. Persoalan mutu harus menjadi komitmen top leader dan pada saat bersamaan menjadi model (uswah hasanah) bagi keterjaminan berjalannnya budaya mutu.

Beberapa karakteristik atau indikator madrasah memiliki budaya kualitas (mutu) adalah: (1). Perilaku sesuai dengan dan mendukung terciptanya slogan; (2). Masukan dari pelanggan secara aktif diminta dan digunakan untuk meningkatkan kualitas secara terus-menerus; (3). Para karyawan dilibatkan dan diberdayakan; (4). Pekerjaan dilakukan dalam suatu tim; (5). Manajer tingkat eksekutif diikutsertakan dan dilibatkan; tanggungjawab kualitas tidak didelegasikan; (6). Sumber daya yang memadai disediakan di mana pun ada kapan pun dibutuhkan uantuk menjamin perbaikan kualitas secara terus-menerus; (7). Pendidikan dan pelatihan diadakan agar karyawan pada semua tingkat memiliki pengetahuan dan kertampilan yang dibutuhkan untuk mengingkatkan kualitas secara terus-menerus; (8). Sistem penghargaan dan promosi didasarkan pada kontribusi terhadap perbaikan kualitas secara terus-menerus; (9). Rekan kerja dipandang sebagai pelanggan internal; (10). Pemasok diperlukan sebagai mitra kerja. (Nasution, 2004: 238)

Madrasah yang dianggap istimewa, unggul, dan berkinerja tertinggi memiliki 8 karakter inti, yaitu berorientasi tindakan, menghargai pelanggan, mendorong inovasi, percaya bahwa orang adalah aset terpenting, menggunakan MBWA management by walking around (Manajemen berkontak langsung dengan karyawan), berfokus pada kompetensi inti, merampingkan organisasi dan mematuhi nilai-nilai organisasi.(Patricia Buhler, 2004)

Hal lain yang perlu diperhatikan, untuk mengetahui apakah madrasah dan sekolah telah memiliki budaya mutu maka setidaknya telah memiliki karakteristik-karakteristik budaya mutu seperti komunikasi yang terbuka, kemitraan internal yang saling mendukung, pendekatan kerjasama tim dalam proses dan dalam mengatasi masalah, obsesi terhadap perbaikan terus-menerus, pelibatan dan pemberdayaan karyawan secara luas dan menginginkan masukan dan umpan balik dari pelanggan.(Nasution,: 244-245)

Budaya Mutu di Madrasah
Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia (MAN IC) yang ada di Serpong dan Gorontalo milik Kementerian Agama RI adalah diantara contoh Madrasah yang telah menerapkan budaya mutu. Para siswanya hampir 100% diterima di Perguruan Tinggi terbaik di negeri ini dan beberapa diantaranya di terima pada PT di Luar Negeri. Langganan juara Olimpiada Sains Nasional (OSN) dan berbagai kejuaraan bergengsi tingkat dunia.

Madrasah-madrasah berbasis pondok pesantren juga mempunyai keunggulan dan kekhasan tersendiri, sebut saja misalnya MTs dan MA di PP. Amanatul Ummah Mojokerto pimpinan KH. Dr. Asep Saefuddin Halim dengan program akselerasinya. Madrasah TBS Kudus dan Madrasah Sunan Pandanaran dengan program tahfidzya, Madrasah Al-Anwar Sarang Rembang dengan program kitab kuningnya dan lain sebagainya. Hal yang sama juga terjadi di Madrasah di berbagai pesantren seperti Raudlatul Ulum Guyangan Trangkil Pati, Al-Hikmah Brebes, Madrasah di Pesantren Tebu Ireng, Krapyak Jogjakarta dan lain-lain. Ada juga tipe Madrasah Techno Natura Depok yang berhasil menggabungkan spirit alam dan teknologi.

Umumnya madrasah-madrasah yang unggul tersebut telah menolak ratusan bahkan ribuan calon peminat, telah mampu bersaing dengan madrasah dan sekolah secara nasional dan memiliki ciri khas tersendiri sebagai daya pembeda. Salah satu rahasianya adalah pimpinan madrasah, para guru dan tenaga kependidikan lainnya telah menjalankan budaya mutu. Bagi mereka mutu adalah harga mati yang harus diperjuangkan dan menjadi trademark lembaganya.

Dalam skala yang lebih luas, budaya mutu pendidikan akan melibatkan stakeholders pendidikan seperti pemerintah, yayasan, kepala madrasah, dewan guru dan tenaga kependidikan serta Komite Madrasah. Oleh karena itu penulis merumuskan dalam tiga hal membangun budaya mutu di dunia pendidikan khususnya Madrasah yaitu: Pertama, institusional building. Maksudnya bahwa madrasah harus membangun institusi kelembagaan yang kuat dengan berorentasi dan berkomitmen pada mutu. Baik mutu masukan, proses maupun lulusan yang setidaknya dalam 8 Standar Nasional Pendidikan. Kedua, caracteristic building. Maksudnya adalah menciptakan carakter kepala madrasah, guru dan karyawan pada prilaku yang luhur, beradab yang mendukung pada mutu dan kualitas. Tidak didasarkan pada mahalnya sebuah lembaga pendidikan tetapi bagaimana meningkatkan akses dan meningkatkan mutu masyarakat pada layanan pendidikan; Ketiga, image building. Jika langkah pertama dan kedua telah berjalan tentu kita akan mendapatkan image (kesan) bahwa madrasah yang kita kelola benar-benar mengutamakan kualitas/mutu.

Beberapa kiat mengimplemntasikan budaya mutu dalam dunia bisnis ke dalam dunia pendidikan adalah sebagai berikut: Pertama, kunci utama dari budaya mutu adalah pada komitmen para pemimpin dan sekaligus mereka menjadi role model bagi berkembangnya budaya mutu. Ini dapat dipahami bahwa menggunakan pendekatan bottom up dalam mengembangkan mutu pendidikan. Dalam konteks pendidikan nasional tentu Kemdikbud dan Kemenag berkewajiban mengeluarkan kebijakan pengembangan mutu pendidikan nasional, di samping perluasan akses dan tata kelola pendidikan. Lahirnya Peraturan Pemerintah 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang di ikuti dengan Permendiknas Nomor 63/2009 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan serta Permendiknas No. 29/2005 tentang Akreditasi dan peraturan lainnya telah mendorong peningkatan budaya mutu sudah menjadi pemahaman dan kesadaran stakeholder pendidikan di negeri ini.

Dalam skala mikro, Kepala Madrasah, Wakil Kepala Madrasah adalah orang yang paling bertanggungjawab pada komitmen dan berjalannya budaya mutu di Madrasah, yang akhirnya melembaga dan menjadi tata nilai sehari-hari. Misalkan budaya kerja keras, berprestasi, bersaing secara sehat, meningkatkan pelayanan, menjunjung kejujuran dan keadilan kepada anak didik adalah beberapa contohnya. Hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah juga melakukan pendidikan dan pelatihan di berbagai daerah agar pemangku kebijakan pendidikan di daerah juga madrasah bisa memahami dan mempunyai kesadaran akan buadaya mutu.

Kedua, budaya mutu harus diimplementasikan dalam rencana strategis madrasah, program kerja dan job description. Sehingga keterjaminan munculnya madrasah yang berkualitas unggul akan dirasakan oleh masyarakat. Ketiga, budaya mutu di madrasah perlu dibudayakan, ditradisikan dan disosialisasikan melalui pelatihan-pelatihan, workshop dan sourt cours baik kepada pegawai baru maupun yang lama dan sekaligus dimonitor pelaksanaannya. Hal ini bisa dilaksanakan dengan tiga tahap yaitu tahap pencerahan, tahap penyadaran dan tahap advokasi, agar budaya mutu madrasah benar-benar menjadi cara pandang baru meningkatkan mutu.

Keempat, dalam budaya mutu menekankan bahwa perlunya peningkatan secara terus menerus terhadap proses, orang, produk, lingkungan kerja dan faktor lainnya yang mempengaruhi kinerja. Dalam pendidikan juga meniscayakan peningkatan yang berkesinambungan apakah dalam Proses Belajar Mengajar (PBM), kurikulum, kualitas Pendidik dan Tenaga Kependidkan (PTK), juga mutu lulusan serta yang tak kalah pentingnya adalah menciptakan lingkungan madrasah yang mendukung budaya mutu.

Ikhtiar membangun madrasah yang bermutu membutuhkan pemahaman, kerja keras dan komitmen bersama antar stakeholders Madrasah. Persaingan yang keras bahkan cenderung bebas harus diimbangi dengan semangat berkompetisi. Dukungan masyarakat yang kuat pada madrasah perlu dtransformasi kepada budaya mutu agar masyarakat sebagai pelanggan merasa terlayani dengan baik.

Ruchman Basori, Kasi Sarpras MA/MAK Kementerian Agama RI dan Mahasiswa S3 Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta