Opini

Membumikan al-Kulliyat al-Khams sebagai Paradigma Islam Nusantara

Rab, 8 Juli 2015 | 01:05 WIB

Oleh Ahmad Ali MD
Judul tulisan ini, "Membumikan al-Kulliyyah al-Khamsah Sebagai Paradigma Islam Nusantara untuk Indonesia dan Dunia" dapat dimaknai pula dalam judul serupa, yaitu Membumikan al-Kulliyat al-Khams dalam Rangka Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia. Tulisan ini merupakan bentuk refleksi<> penulis, sengaja dipublikasikan sebagai wujud tanggung jawabnya sebagai seorang santri, akademisi dan praktisi tradisi Islami, terhadap persoalan-persoalan agama, sosial, budaya, dan hukum, termasuk politik, yang dihadapi bangsa Indonesia dan dunia saat ini. 

Bukanlah rahasia umum bahwa beragam sikap dan tindakan yang dilakukan oleh sebagian umat Islam di negeri Bhineka Tunggal Ika saat ini banyak yang tidak sejalan dengan Pancasila, falsafah hidup bangsa Indonesia. Apalagi ketika dihadapkan kepada ajaran Islam yang mulia, sebagaimana tersebut dalam Kitab Suci Al-Qur’an, yakni ajaran kerahmatan (cinta kasih). Mushaf Kitab Suci ini diawali dengan ayat Bismillahir rahmanir rahim. Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Pengasih Maha Penyayang. 

Contoh kecil: kasus menyiram air teh kepada teman (”lawan”) diskusi adalah tindakan yang tidak islami. Secara gamblang ini bertolak belakang dengan firman Tuhan: ”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik” (QS. al-Nahl [16]: 125). Dan contoh besarnya banyak sekali: intoleransi beragama, dan beragam tindakan anarkis hingga pembakaran rumah ibadah. Kasus yang sedang menjadi trending topic saat ini adalah ideologisasi Islam yang menyebutnya sebagai Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau Negara Islam Irak dan Syria (NIIS), yang bertujuan mendirikan negara Islam untuk tegaknya syariat Islam secara total, tetapi dilakukan dengan cara-cara anarkis, bahkan sadis.

Di negeri yang mayoritas beragama Islam ini belum banyak di antara kita yang menyadari, apalagi berani meyakini, bahwa Pancasila adalah Islami (Islam). Sungguhpun Pancasila adalah produk budaya Nusantara, yang dirumuskan oleh para tokoh Muslim dan pemimpin bangsa ini. Akibatnya, umat Islam dalam beragam mazhab dan afiliasi ormas dan politiknya pun, tidak serta-merta menjadikan Pancasila sebagai ”mazhab”nya. Banyak di antara mereka yang merasa dan bahkan meyakini ketidakabsahan Islamnya bila tidak menjadikan Al-Qur’an dan/atau Sunnah sebagai pedoman hidupnya. Padahal, dalam sejarah perkembangan Islam, ada banyak mazhab pemikiran dalam ranah fikih, teologi, dan tasawuf. Beragam mazhab ini lahir sebagai bentuk kebebasan dalam menginterpretasikan nash Al-Qur’an dan Sunnah. Lahirnya beragam mazhab itu tidak lepas dari konteks sosio kultural dan sosio historisnya.

Dalam sejarah muncul paradigma Tashwîb dan paradigma Takhthî’. Yang pertama menyatakan bahwa madzhabî shawwâb yumkin al-khatha’, mazhabku benar, tetapi dapat pula salah. Paradigma ini lebih toleran terhadap pendapat lain dan tidak truth claim, karena dipandang setara, meniscayakan ada kebenaran pula. Sementara yang kedua menyatakan bahwa mazhabu ghairî khatha’ yumkin al-shawwâb, mazhab selainku adalah salah meskipun bisa jadi benar. Paradigma ini lebih mengedepankan pandangan kebenaran pada mazhab sendiri, sementara mazhab yang lain menjadi second opinion, tidak penting, sehingga dikesampingkan (ghairu mu‘tabarah/marjûh).

Satu hadis sahih, riwayat Imam al-Bukhari, yang justru sering diabaikan adalah hadis yang menyatakan: ”Kullu ummatî yadkhulûn al-jannah illâ man abâ…”, ”Setiap umatku masuk surga, kecuali orang enggan….”  (HR al-Bukhari dari Abu Hurairah r.a.). Sebaliknya hadis yang tidak sahih, dalam beragam versi, dan kontroversial, justru dijadikan hujah (dalil). Diantaranya hadis riwayat al-Tirmidzi dari Abdullah bin Umar r.a.h.”….Wataftariqu ummatî ‘alâ tsalâsin wasab‘îna millatan, kulluhum fî al-nâr illâ wâhidah, qâlû: waman hiya yâ Rasûlallâh? Qâla: Mâ Anâ ‘alaihi wa-Ashhâbî. Umatku akan terpecah menjadi tujuhpuluh tiga agama/golongan. Semuanya masuk neraka, kecuali satu yang selamat. Para sahabat bertanya: ‘Siapakah itu ya Rasulallah?’ Beliau menjawab: ’Yaitu apa yang dipegangi olehku dan sahabatku”.

Oleh karena beragam mazhab itu, dalam konteks kebangsaan dan kebhinekaan di negara Indonesia ini, Al-Qur’an dan Sunnah, walaupun sebagai  sumber utama umat Islam, tidaklah dijadikan sebagai dasar negara (Undang-Undang Dasar). Ini karena Al-Qur’an, khususnya, yang ketika dijadikan dasar negara akan memunculkan banyak penafsiran. Bisa jadi, penafsiran tekstual (dapat mendominasi dan dipaksakan. Padahal penafsiran itu sendiri tidaklah bersifat mutlak benar (absolut), tetapi nisbi (relatif). Akibatnya, penafsiran yang dipaksakan itu justru tidak mencerminkan substansi Kitab Suci, berupa keadilan dan kerahmatan.

Mazhab Pancasila = Islam Nusantara

Masalah Pancasila, dalam kaitannya dengan problematika istilah dan muatan Islam Nusantara, menarik dikaji dari sudut pandang dan pendekatan ushul fikih. Sebagaimana diketahui istilah Islam Nusantara saat ini semakin populer seiring dengan momentum Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) yang akan diselenggarakan di Jombang Jawa Timur pada 1-5 Agustus 2015 mendatang. Muktamar ini merumuskan tema besar Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia. Sungguhpun demikian, istilah Islam Nusantara dan muatannya tak pelak banyak mendapat kritik, baik yang setuju maupun yang menolaknya. Di antaranya, Habib Rizieq, Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI), salah satu yang menolak keras Islam Nusantara. Bahkan ia menyebutnya JIN (Jamaah Islam Nusantara). Penggunaan langgam Jawa dalam bacaan Al-Qur’an, seperti dalam peringatan Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW di Istana Negara, yang merupakan bagian dari Islam Nusantara, dinilainya sebagai perbuatan konyol. 

Dalam kajian Ushul Fikih (Epistemologi Hukum Islam), teori al-Kulliyat al-Khams dapat diterapkan ke dalam Pancasila. Telah maklum bahwa ulama sepakat terhadap apa yang dikenal sebagai al-Kulliyat al-Khams, sebagai bagian dari Maqâshid al-Syarî‘ah (Tujuan Ajaran/Hukum Islam). Al-Kulliyat al-Khams dapat diartikan sebagai Panca Prinsip Universal/Hak Asasi Manusia (Human Rights), mencakup lima perlindungan. Pertama, perlindungan agama (hifzh al-dîn) berarti tidak ada paksaan untuk memeluk/mengamalkan agama, keyakinan atau kepercayaan tertentu. Kedua, perlindungan jiwa (hifzh al-nafs) berarti tidak dibenarkan melukai apalagi membunuh nyawa tanpa hak, seperti kejahatan terorisme dan narkotika. Ketiga, perlindungan keturunan (hifzh al-nasl) berarti tidak dibenarkan free sex, prostitusi, dan LGBT (lesbian, guy, biseksual, dan ”transgender” --tanpa ada justifikasi ilmu medis/kesehatan, apalagi eksploitasi seksual anak-anak di bawah umur. Keempat, perlindungan akal (hifzh al-‘aql) berarti jaminan terhadap kekebasan berpendapat, sehingga tidak dibenarkan truth claim (klaim kebenaran) dan paksaan terhadap pendapat tertentu. Dan kelima, perlindungan harta (hifzh al-mâl), berarti tidak dibenarkan kapitalisme ataupun eksploitasi sumber daya alam, yang tidak mensejahterakan rakyat (QS. al-Hasyr [59]: 7). Termasuk tidak dibenarkan korupsi!, karena mengambil hak orang lain/rakyat tanpak hak, dan merusak perekonomian bangsa/negara, sehingga dikategorikan sebagai extra ordinary crimes (kejahatan luar biasa).

Al-Kulliyat al-Khams itu tercermin jelas dalam Pancasila. Perlindungan agama (hifzh al-dîn) tercermin dalam Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Perlindungan jiwa (hifzh al-nafs) tercermin dalam Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Perlindungan keturunan (hifzh al-nasl) tercermin dalam Sila Ketiga: Persatuan Indonesia. Perlindungan akal (hifzh al-aql) tercermin dalam Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Perlindungan harta (hifzh al-mâl) tercermin dalam Sila Kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. 

Oleh karena al-Kulliyat al-Khams tercermin dalam Pancasila, yang merupakan produk budaya bangsa, maka sebagai umat Islam yang hidup di Indonesia atau sebagai warga negara Indonesia (WNI), kita wajib menjadikan Pancasila itu sebagai mazhab dalam segala bidang: hukum, politik, ekonomi, dan seterusnya. 

Dalam bidang hukum, misalnya Pancasila adalah Grundnorm. Ini berarti bahwa segala norma hukum tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Berdasar kerangka ini, pemberlakuan dan penerapan Syariat Islam tidak boleh berlawanan dengan Pancasila. Legislasi Syariat (Hukum Islam) tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, diantaranya nilai kemanusiaan, keadilan, keadaban, dan persatuan. Ini bukan berarti bahwa hukum Islam tidak diakui dalam negara, melainkan sebenarnya hukum Islam ditempatkan sebagai bahan dan sumber pembentukan hukum nasional. Karena itu, ketika pemerintah Orde Baru memberlakukan Asas Tunggal Pancasila, maka NU menerimanya, karena Pancasila sebagai asas tunggal itu tidaklah berarti menjadikannya sebagai agama baru.

Oleh karena itulah, empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), dan UUD 1945, yang dapat disingkat ”PBNU”, diterima oleh NU sebagai bagian dari budaya Nusantara. Keempat pilar kebangsaan ini tidaklah bertentangan dengan Islam. Atas dasar ini, NU menempatkan keempat pilar tersebut sebagai bagian dari Islam Nusantara. Dengan cara inilah, NU berupaya meneguhkan Islam Nusantara untuk peradaban Indonesia dan dunia. 

Dakwah Ala Islam Nusantara

Pemahaman mazhab Pancasila atau mazhab kebangsaan demikian merupakan bagian dari apa yang saat ini disuarakan oleh NU sebagai Islam Nusantara. Berdakwah dengan mengedepankan Pancasila merupakan bagian dari Islam Nusantara. Karena berdakwah dalam arti ini mengedepankan sikap dan cara-cara Berketuhanan, Berkemanusiaan, Berkebangsaan, Berkeadaban, dan Berkeadilan serta Mengedepankan Permusyaratan (B5 M1). Dalam arti lain, dakwah dengan model ini adalah dilakukan dengan menekankan pada toleransi dan tindakan yang bermartabat, karena menghargai asas kesetaraan di hadapan hukum dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, paradigma Islam Nusantara mempunyai pijakan literatur keislaman yang kokoh, khususnya Ushul Fikih. Pemahaman Islam Nusantara demikian tidaklah keluar dari bingkai Fikrah Nahdliyyah, yang mempunyai lima ciri, yaitu fikrah tawassuthiyyah (pola pikir moderat), fikrah tasâmuhiyyah (pola pikir toleran), fikrah ishlâhiyyah (pola pikir reformatif), fikrah tathawwuriyyah (pola pikir dinamis), dan fikrah manhajiyyah (pola pikir metodologis).     

Pandangan demikian berbeda dengan pandangan yang menjadi ideologi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang menghendaki sistem Islam ditegakkan sepenuhnya di Indonesia, dengan jargon Khilafah Islamiyah. Pandangan atau wacana, sikap dan gerakan yang digaungkan oleh HTI, termasuk ISIS/NIIS penulis pandang sebagai bentuk marjinalisasi atau pengabaian terhadap keempat landasan/pilar kebangsaan, sehingga dapat dipandang sebagai bagian dari ”anarkisme” terhadap kalîmatun sawâ’ (common platforms) yang hukumnya haram. 

Pemahaman terhadap al-Kulliyat al-Khams ini penting didakwahkan di tengah-tengah pemahaman ajaran Islam yang simplistik dan eksklusif; terlebih akidah dan hukum Islam dipahami secara rigid (kaku) yang berakibat truth claim (hitam-putih), halal-haram, yang tidak jarang memicu sikap dan tindakan anarkis. 

Jadi Islam Nusantara adalah Islam yang menjunjung tinggi Pancasila sebagai satu bagian dari produk budaya Nusantara, karena sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam, termasuk paham Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) versi NU, yang lebih mengedepankan substansi/esensi ajaran Islam (Maqâshid al-Syarî‘ah). Dengan cara kita menghargai Pancasila, berarti kita sudah menerapkan Islam Nusantara. 

Dengan pemahaman demikian, nilai-nilai Islam yang terformulasikan dalam al-Kulliyat al-Khams dan termanifestasikan dalam Pancasila cocok untuk dijadikan sebagai paradigma Islam Nusantara. Dengan cara ini sumbangsih NU untuk peradaban Indonesia dan dunia akan dapat terwujud secara luas. Semoga! Wallâhu A‘lam bi al-shawâb wa-ilaHi al-Musta‘ân.


*Penulis adalah dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama -STISNU Nusantara Tangerang, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama -LBM PWNU Banten)