Opini BULAN GUS DUR

Memperkuat Kebersahajaan di Era 4.0: Belajar dari Gus Dur

Sab, 14 Desember 2019 | 03:00 WIB

Memperkuat Kebersahajaan di Era 4.0: Belajar dari Gus Dur

KH Abdurrahman Wahid. (Foto: Dok. Pojok Gus Dur)

Oleh Fathoni Ahmad
Menghidupkan kembali kekuatan moral dan spiritual di tengah hiruk-pikuk kehidupan era 4.0, zaman modern yang serba digital perlu dilakukan di segala lini kehidupan, baik kehidupan agama, politik, sosial, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Kekuatan tersebut harus dihiasi dengan sikap bersahaja, tidak berlebih-lebihan dalam segala sesuatu sehingga memunculkan keterbukaan pemikiran, tidak menang-menangan, tidak petentengan, dan akal sehat tetap terjaga di tengah derasnya arus informasi yang tak jarang sarat dengan hoaks, provokasi, dan lain-lain.

Tentang kebersahajaan, masyarakat Indonesia mempunyai salah seorang sosok teladan yaitu KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Di tengah jabatan mentereng yang diembannya, Gus Dur tetap dengan sikapnya yang sederhana. Dia kerap tidak peduli dengan posisi dan jabatan strategis yang sedang diembannya, misal ketika dompetnya sering kosong, tak punya duit padahal dia seorang Presiden RI. Juga ketika memilih naik angkot dan berdesak-desakkan dengan masyarakat saat hendak ke Kantor PBNU di Jalan Kramat Raya, meski dirinya kala itu menjabat sebagai Ketua Umum PBNU.

Kisah kesederhanaan Gus Dur tersebut diceritakan oleh KH Husein Muhammad (Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus, 2015). Sifat kezuhudan Gus Dur bagi Kiai Husein merupakan wujud nyata atas kedalaman ilmu Gus Dur dalam kehidupan sehari-hari. Sebab itu Kiai Husein sendiri menjuluki Gus Dur sebagai Sang Zahid, manusia dengan sifat zuhud yang tinggi.

Pengembaraan Gus Dur dalam menyelami setiap detak kehidupan menjadi alasan untuk meraup sebanyak-banyaknya hikmah sehingga dia tidak peduli dengan identitas sosialnya ketika harus berjejal dengan masyarakat umum di bus atau angkutan kota (angkota). Sebab itu, Gus Dur sendiri mempunyai prinsip humanis yang berangkat dari jiwa asketisnya sehingga tidak sedikit yang mengatakan bahwa Gus Dur adalah seorang wali.

Prinsip humanis tersebut adalah, guru spiritual saya adalah realitas, dan guru realitas saya adalah spiritualitas. Diktum luhur dari hasil renungan mendalam Gus Dur itu menunjukkan bahwa jiwa agama tidak terlepas dari kehidupan sosial. Justru ketika seseorang mampu memahami agama dengan baik, maka wujud dari jiwa profetiknya itu adalah keshalehan sosial, bukan keshalehan vertikal semata.
 
Bahkan, Nur Khalik Ridwan dalam bukunya Suluk Gus Dur: Bilik-Bilik Spiritual Sang Guru Bangsa (2013) berupaya mendeskripsikan sosok komplit seorang Gus Dur. Dalam bukunya itu, Nur Khalik ingin menunjukkan bahwa Gus Dur bukanlah politisi, kiai, budayawan, pelawak, penulis, pemikir, melainkan sufi. Ia berupaya mendalami sisi tasawuf, suluk Gus Dur menjadi pusat lakunya memancar dalam wujudnya sebagai politisi, kiai budayawan, pelawak, penulis, dan pemikir.

Sahabat-sahabat dekat Gus Dur seperti Gus Mus dan Fahmi Dja’far Saifuddin sering menceritakan bahwa Gus Dur memang salah seorang yang tidak peduli dengan baju, celana, atau sandal yang dikenakannya sehari-hari, untuk ke mana saja atau untuk keperluan apa saja.

Bahkan ketika menjabat sebagai Ketua Umum PBNU, Gus Dur selalu memakai sandal kemana pun. Gus Dur nampaknya merasa nyaman dengan sandalnya itu dan merasa tidak betah memakai sepatu. Bukan hanya soal sandal, tetapi juga naik bus. Gus Dur diceritakan oleh sahabat-sahabatnya itu sering naik bus berjejal-jejalan atau angkot dengan berdesak-desakkan ketika berangkat ke Kantor PBNU dari rumah kontrakannya di Ciganjur, Jakarta Selatan. Pun demikian pulangnya.

Terlihat meskipun Gus Dur seseorang yang dianggap penting, tetapi dia tidak mau menjadi sosok di menara gading yang sama sekali tidak mengetahui denyut kehidupan masyarakat di bawah. Bekal jiwa egaliternya ini menjadi asupan yang sangat berharga ketika Gus Dur terpilih menjadi Presiden ke-4 Republik Indonesia secara demokratis.

Humor-humor kritis, segar, dan mencerdaskan sudah menjadi menu keseharian KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang siap ‘disantap’ masyarakat sebagai bentuk kebersahajaannya. Selain joke yang sudah melekat pada dirinya, Gus Dur juga sosok penyuka kuliner rakyat. Tempat dan lokasi makanan lezat khas Nusantara di berbagai daerah, Gus Dur cukup paham dan siap menyantapnya dengan lahap.

Kuliner rakyat ini sejurus dengan karakter Gus Dur yang egaliter dan merakyat. Meskipun menjabat orang nomor satu di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Istana Negara, kuliner rakyat tetap menjadi santapan di meja Gus Dur. 
Hal itu terlihat ketika Gus Dur sudah berada di meja kerjanya di Kantor PBNU lawas. Kuliner rakyat berupa ‘gorengan’ selalu siap di mejanya. Gorengan yang terdiri dari singkong, tahu, tempe, bakwan seolah menjadi menu utama di ruang kerja Gus Dur.

Penjual gorengan tersebut dijelaskan oleh Muhammad AS Hikam dalam bukunya Gus Durku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita (2013) mangkal di depan Gedung PBNU yang saat itu terdiri hanya dua lantai. Selain penjual gorengan, juga ada rujak buah, ketoprak, tongseng, siomay, soto mi, gado-gado, mi rebus, dan lain-lain.

Hingga saat ini pun, para penjual kuliner rakyat tersebut masih mengais rezeki di sekitar Gedung PBNU. Namun, persoalan penertiban pedagang kerap melanda mereka. Sehingga mereka pun kerap harus minggir terlebih dahulu.
Pernah suatu ketika para pedagang tersebut mendapat penertiban dari petugas. Gus Dur yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum PBNU melindungi mereka dan pasang badan supaya para penjual kuliner rakyat itu tetap bisa berjualan di sekitar Gedung PBNU.

Hobi menyantap kuliner rakyat tersebut masih tetap menjadi tradisi Gus Dur ketika dirinya menjabat sebagai Presiden RI. Hal ini muncul seiring dengan perasaan bosan orang-orang di istana untuk menyantap masakan dan menu resmi dari Bina Graha. Maka, gorengan dipesan dari luar Kantor Kepresidenan. Pemandangan eksotik pun terlihat ketika gorengan bersanding dengan air mineral prestisius ‘Equil’ di meja rapat kabinet.

Penulis adalah Redaktur NU Online