Opini

Salah Kaprah Memahami Era Disrupsi

Sab, 30 November 2019 | 07:30 WIB

Salah Kaprah Memahami Era Disrupsi

Ilustrasi (via Unsplash)

Oleh Fathoni Ahmad

Secara leksikal atau makna kamus, disrupsi bermakna menganggu, terganggu, dan terusik. Artinya, dengan hadirnya sistem berbasis digital, tidak sedikit pihak-pihak yang terganggu dan terusik. Berapa banyak saat ini kehidupan yang cenderung instan, cepat, praktis, simpel, tidak ribet karena memanfaatkan teknologi digital. Dalam bidang ekonomi, kecenderungan era milenial tersebut menyebabkan tidak sedikit perusahaan yang telah lama eksis dan mapan harus gulung tikar.

Disrupsi harus dipahami secara arif dan bijaksana sehingga tidak melunturkan kearifan lokal identitas kebangsaan. Di sini, Rhenald Kasali dalam Disruption (2017) menyadari, belakangan ia merasakan adanya pemahaman yang kurang pas tentang disrupsi. Banyak yang menganggap disrupsi hanya berkaitan dengan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang marak belakangan ini, atau lebih spesifiknya lagi selalu soal angkutan maupun toko-toko online.

Lalu, ada juga yang serba ngasal memaknai disrupsi. Beberapa motivator misalnya, mengaitkan motivasi dengan disruption. Tapi, begitu ditelusuri sedikit lebih jauh, isinya hanya “pertunjukkan” hipnotis atau paparan tentang sejarah hidupnya yang penuh lika-liku.

Kemudian ada juga yang menyamakan disrupsi dengan cara kerja bisnis multilevel marketing (MLM) yang merugikan masyarakat. Pemahaman yang kurang pas lainnya adalah menganggap disrupsi seakan-akan melulu bisnis startup, dan hanya bermodalkan uang publik.

Bahkan ada yang membatasinya sebagai trading, sehingga melihatnya sebagai usaha brokerage, bisnis percaloan. Jadi seakan-akan disrupsi hanya melulu soal bisnis aplikasi yang digerakkan untuk mempertemukan suply dengan demand.

Anggapan seperti itu jelas kurang pas menurut Rhenald Kasali. Sebab disrupsi sejatinya mengubah bukan hanya “cara” berbisnis, melainkan juga fundamental bisnisnya. Mulai dari struktur biaya sampai ke budaya, bahkan ideologi industri. Budaya industri ini terkait era industri level keempat yang dikenal dengan revolusi 4.0.

Misalnya yang paling sederhana, disrupsi terjadi akibat perubahan cara-cara berbisnis yang dulunya sangat menekankan owning (kepemilikan) menjadi sharing (saling berbagi peran, kolaborasi resources).

Jadi kalau dulu semua perlu dimiliki sendiri, dikuasai sendiri, sekarang tidak lagi. Saat ini kalau bisa justru saling berbagi peran. Atau kalau dulu semuanya ingin dikerjakan sendiri, pada era disrupsi tidak lagi seperti itu. Sekarang eranya bekerja bersama-sama, kolaborasi. Prinsip ini tentu bisa diterapkan di bidang-bidang lain seperti pendidikan, industri media, promosi, ekonomi kreatif, dan lain-lain.

Dalam bidang pendidikan, seorang guru atau pun dosen dituntut memperbarui pembelajaran berbasis teknologi digital. Karena tidak menutup kemungkinan, siswa dan mahasiswa lebih dulu mengakses informasi terkini ketimbang gurunya. Potensi kemudahan akses tersebut bisa menjadi media yang ampuh untuk meningkatkan kompetensi anak didik.

Bahkan untuk para dosen, sebisa mungkin tidak lagi memberi tugas berupa makalah yang dijilid model lama. Mahasiswa dengan mudah “membuat makalah” itu dengan mencarinya di Google dan mencetaknya. Mereka hanya mengganti nama, judul, atau identitas. Mahasiswa perlu diarahkan untuk mencipta pengetahuannya sendiri dengan menggali konsep atau teori kemudian dikontekstualisasikan dengan realitas sosial yang sedang terjadi di tengah masyarakat.

Transformasi Era

Dalam dunia industri, bagi para pelaku usaha, era saat ini kerap disebut Industri 4.0. Yakni industri yang menggunakan dan memanfaatkan sistem digital untuk melakukan pemasaran sekaligus transaksi yang ada di dalamnya.

Perkembangan industri level 4.0 ini merupakan tranformasi dari praktik industri yang berjalan sebelumnya. Level pertama atau 1.0 merupakan era industri di mana penggunaan mesin mekanik tradisional banyak digunakan. Era industri ini masih tetap menggunakan sistem manual, tidak jarang juga menggunakan kekuatan air (water power).

Lalu era industri level kedua atau 2.0. Di era ini penggunaan alat-alat industri sedikit bergerak maju dengan memanfaatkan listrik di dalamnya atau electricity. Listrik ini memudahkan para pelaku usaha di dunia industri karena komponen marketing sebuah produk membutuhkan kontinuitas sistem untuk dapat menarik pasar.

Sedangkan era industri level ketiga atau 3.0 ialah era komputerisasi. Era ini memungkinkan produk dan sistem bisa berjalan cepat dan otomatis dalam proses distribusi maupun korespondensi dengan seorang klien. Era ini sudah dilengkapi dengan jaringan internet namun jangkauannya masih terbatas.

Berbeda dengan era industri 4.0 di mana sistem serba digital telah berjalan meskipun basis koneksi internet masih menjadi faktor mendasar atau fundamental. Perbedaan dengan era komputerisasi ialah cyber system ini menghubungkan person to person secara terbuka. Pemasaran dan transaksi produk juga bisa berjalan tanpa harus berinteraksi secara langsung (face to face).
 

Penulis adalah Redaktur NU Online