Oleh: Nanang Qosim
Perjuangan guru dalam perspektif semua elemen bangsa sudah tidak diragukan lagi. Guru berperan lintas generasi, menjadi nahkoda bagi anak-anak bangsa yang ingin berbakti untuk agama, bangsa dan negara. Seorang guru memiliki tanggungjawab yang berat, yaitu memainkan peran sosial ganda sekaligus yaitu memberi keteladanan dalam keluarga sekaligus di sekolah atau madrasah.
Guru bisa menjadi orang tua bagi segenap peserta didiknya, namun juga bisa menjadi penyejuk di keluarganya sendiri. Dengan demikian, peran keteladanan tidak terbatas pada jam formal sekolah/madrasah, tetapi diwajibkan melakoni peran serupa di luar sekolah/madrasah. Dalam hal intelektualitas dan moralitas juga terpancar dari diri seorang guru. Hal demikian itulah yang menjadi kelebihan guru dibanding profesi lainnya.
Penuh Pengorbanan
Namun, masyarakat juga harus mengetahui bahwa profesi guru kini semakin berat dan penuh pengorbanan. Kompetensi seorang guru tidak cukup hanya dengan menguasai materi pembelajaran ataupun kemampuan merancang dan menerapkan metode pembelajaran yang interaktif di dalam kelas. Selain itu, seorang guru selalu dituntut memiliki kecerdasan emosional karena beratnya tantangan yang dihadapi dalam melakukan kegiatannya.
Belum lagi tantangan yang bersifat psikis yang tercermin pada pergeseran budaya. Jika dulunya guru diposisikan sebagai pusat segala bentuk pembelajaran, saat ini posisinya mulai tergantikan oleh sarana internet dan ini berarti kehadiran guru sudah tidak dirasakan lagi oleh anak didik, meski guru hadir di sekolah/madrasah tapi sejatinya guru tidak hadir.
Terbukanya ruang kemandirian yang diberikan kepada peserta didik dalam mencari informasi di dunia maya, seperti melalui internet bernilai konstruktif bagi proses pembelajaran di kelas. Namun, ternyata situasi demikian secara tidak langsung berpotensi memengaruhi kapasitas edukatif seorang guru yang berujung penurunya perannya terhadap peserta didik. Akhirnya, peserta didik acapkali melupakan peran guru karena mereka bertumpu pada ruang kemandirian belajar tersebut.
Bahkan yang paling banyak dirasakan guru dewasa ini adalah bentuk ‘peremehan’ terhadap peran dan kompetensinya, sehingga kepercayaan peserta didik pun menurun. Akibatnya, kedekatan personal seorang guru dengan peserta didik hanya terjalin dalam ranah transfer pengetahuan (transfer of knowledge), tidak menyentuh pada ranah penanaman nilai (transfer of value). Padahal seharusnya tidak demikian.
Peran Inspiratif
Seyogianya seorang guru memerankan dan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi yang ada dengan memainkan ‘peran inspiratif’ di dalamnya. Oleh karena itu, kreativitas emosional guru yang harus dikedepankan dalam mengoptimalkan peran inspiratifnya di ruang-ruang kelas bersama peserta didik. Dalam konteks ini, peran seorang guru harus lebih maju dengan tidak hanya mengaplikasikan konsep learning to know, tetapi beranjak ke learning how to. Artinya, pada konsep pertama peran guru telah banyak diambil-alih oleh teknologi informasi. Kalaupun guru hadir di dalamnya itu terletak pada aspek klarifikasi dan pengarahan, bukan lagi pada aspek pengenalan apalagi sebatas pemberitahuan semata.
Adapun konsep kedua menekankan peran seorang guru untuk mendalami materi pembelajaran sekaligus mengoneksikannya dengan realitas kekinian dengan tetap mengusung dimensi aktualitas dan moralitasnya. Banyaknya mata pelajaran yang disuguhkan di sekolah/madrasah dapat saja berpotensi menjemukan dan melelahkan peserta didik. Kepengapan dialami peserta didik pada aspek psikis itu jika tidak direspons secara proporsional akan bermuara pada pencarian ‘kesejukan’ di luar jalur yang wajar.
Kecanduan anak didik terhadap alat komunikasi berupa gadget, bermain play station, menonton TV di luar batas kewajaran dan semacamnya kemungkinan akan menjadi pilihan favorit peserta didik dalam merespons kepengapan psikisnya. Keakraban interaksi antara guru dan peserta didik sejatinya lebih dominan ketimbang interaksi antara peserta didik dan gadget, play station, dan semacamnya. Pasalnya, jika dominasi sarana bermain anak ini lebih tinggi, lambat-laun pola interaksi guru dan peserta didik dipastikan akan semakin terkurangi.
Oleh karena itu, kapasitas intelektual dan emosional bagi seorang guru yang harus terus diasah, sehingga kedekatan interaktif seorang guru dengan peserta didik menciptakan ketergantungan psikis. Keharusan ini akan mengefektifkan peran edukatif guru dalam kesadaran psikis peserta didiknya.
Keteladanan Moral
Profesi guru selalu berada dalam ruang dan dimensi mengajar dan belajar yang tiada henti disertai keteladanan moral. Di sinilah letak keluhuran dan keontetikan profesi guru karena mampu mengisi, membentuk, sekaligus memperindah karakter peserta didiknya. Jika ini dilakukan secara masif secara optimal dalam keseharian setiap guru, maka kontribusinya terhadap pendidikan dan perbaikan generasi bangsa akan nampak baik dan tepat untuk kemajuan bangsa dan negara.
Dan yang tidak kalah pentingnya untuk terus ditanamkan pada diri seorang guru adalah bahwa generasi bangsa yang dididiknya akan hidup pada masa mendatang yang akan berbeda dengan masa sekarang. Akhirnya, kebesaran bangsa ini tak luput dari kontribusi peran guru dan bangsa di manapun di dunia ini yang besar akan selalu menghargai jasa guru. Maka mari bersama-sama kita menghargai guru dan mempertegas peran guru yang sesungguhnya.
Penulis adalah pengajar di Pondok Pesantren Darul Falah Besongo, Ngalian Semarang.