Opini

Menengok Kembali Makna Khilafah dan Khalifah

Rab, 3 April 2019 | 03:30 WIB

Oleh Muhammad Faizin

Khilafah dan Khalifah merupakan kata yang berasal dari kata Khalaf yang berarti di belakang. Maknanya adalah sesuatu atau seseorang yang datang di belakang orang lain atau sesudah orang lain. 

Dalam Al-Qur'an kata ini memiliki dua kata jamak, yakni Khulafa dan Khalaif. Kata Khulafa berarti pemimpin dalam penegakan hukum dan Khalaif berarti pemelihara yang mengantarkan segala sesuatu kepada tujuan penciptaannya.

Al-Qur'an menggunakan kata Khalifah untuk dua makna. Pertama yakni ketika Allah hendak menciptakan manusia yang termaktub dalam QS Al-Baqarah: 30: "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Yang dimaksud di sini adalah manusia yakni Nabi Adam AS sehingga manusia adalah Khalifah.

Kekhalifahan yang sudah disandang oleh manusia ini menuntutnya untuk memelihara dan menghantarkan segala yang berwujud di dunia ini kepada fungsi dan tujuan penciptaannya. Laut, misalnya, diciptakan sebagai tempat berlayar kapal untuk mencari ikan-ikan, mutiara dan sebagainya. Sehingga manusia sebagai Khalifah memiliki tanggung jawab memelihara laut sesuai penciptaannya.

Ketika ada seseorang yang menyembelih anak ayam yang baru menetas atau memetik bunga yang belum mekar juga bisa dikategorikan tidak menjalankan fungsi kekhalifahan yang baik di muka bumi.

Penggunaan kata Khalifah yang kedua yakni ketika Nabi Daud diangkat sebagai penguasa yang termaktub dalam QS Shad: 26: "Wahai Daud! Sesungguhnya engkau Kami (Allah) jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berikanlah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, kerena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”.

Khalifah yang dimaksud dalam hal ini penguasa yang memiliki kekuasaan politik untuk mengatur masyarakat. Dan dalam konteks ini, tidak semua manusia bisa menjadi Khalifah. Dalam kontek kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak semua individu wajib dan berhak menegakkan hukum sendiri-sendiri.

Kekhalifahan dalam konteks ini bisa disamakan dengan sistem pemerintahan. Sistem ini bisa berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lain, antara satu waktu dengan waktu lain.

Sebagai contoh sistem pemerintahan yang digunakan oleh masing-masing Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali) memiliki perbedaan. Dan di berbagai negara termasuk negara-negara Islam juga memiliki perbedaan. Indonesia sendiri menggunakan kekhalifahan yang berbentuk Republik yang berasaskan Pancasila.

Sehingga secara singkat Khilafah adalah sistem pemerintahan dan Khalifah adalah sosoknya. Sistem pemerintahan bisa berbeda tergantung zamannya dan kesepakatan yang dibuat oleh mayoritas masyarakatnya.

Mungkinkan Khilafah dengan Khalifah Tunggal?

Berbicara tentang harus ditegakkannya Khilafah dengan Khalifah tunggal, sejarah membuktikan bahwa perjalanan umat Islam sewaktu berdirinya kekhalifahan Utsmaniyyah tidaklah tunggal. Pada masa itu ada Khalifah lain seperti di Maroko. Hal ini menunjukkan sejak dulu sudah disadari bahwa Khalifah tunggal itu tidak mungkin.

Berbagai usaha dan kenyataan sejarah untuk mewujudkan Khilafah juga selalu tidak memungkinkan dan gagal dilakukan. Seperti upaya Jamaluddin Al-Afghani, Al-Jamiah Al-Islamiyyah, OKI, dan Al-Jamiah Al-Arabiyyah yang akhirnya malah memunculkan peperangan dengan Arab.

Melihat fakta ini, umat Islam harus berfikir realistis dengan melihat fakta bahwa sistem pemerintahan (Khilafah) harus menyesuaikan kondisi dan zaman dengan mengaca pada sejarah. Sistem pemerintahan harus mampu memperkuat sebuah komunitas masyarakat bukannya memunculkan perpecahan yang tidak dibenarkan.

Bertasbih adalah perbuatan yang baik. Tapi jika dilakukan di kamar mandi maka hal itu tidak diperbolehkan karena bukan tempatnya. Bertakbir dianjurkan. Tapi takbir yang menimbulkan emosi dan memecah belah umat, tidak diajarkan.

Imam Malik berkata: "Seandainya ada satu orang minta-minta dan Anda tidak mampu memberinya, maka tidak perlu berkata: ‘Mudah-mudahan Allah memberi Anda." Hal ini bisa menimbulkan kesan bahwa Allah tidak mau memberi. Bayangkan sesuatu hal berdasarkan kemampuan dan kemungkinan.

Penulis adalah Redaktur NU Online. (Disarikan dari beberapa ceramah dan penjelasan Prof. Quraish Syihab)