Opini

Menghidupkan Etika Politik Gus Dur

Jum, 6 Oktober 2023 | 08:00 WIB

Menghidupkan Etika Politik Gus Dur

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. (Foto: Dok. NU Online)

Wajah kehidupan politik Indonesia saat ini masih didominasi oleh berbagai fenomena negatif. Konflik agraria yang semakin kronis, penyalahgunaan kekuasaan, gaya hidup mewah aktor politik, pembentukan regulasi yang cenderung ‘hanya’ mengakomodasi kepentingan oligarki hingga masih suburnya korupsi yang menjadi simpul dari segala permasalahan.


Tanpa menyertakan data konkret, deretan fenomena tersebut merupakan fakta yang tidak bisa kita bantah adanya. Bahkan, anomali tersebut bukan merupakan kasuistik belaka, tetapi terus terulang bahkan mengalami peningkatan. Kendati tidak semua aparatur pemerintahan menjalankan praktik yang salah, namun berdampak luas terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat terutama kalangan bawah.


Jika dilihat dari kacamata filsafat, pangkal dari masalah dalam dunia politik di Indonesia saat ini adalah miskinnya etika dalam praktik penyelenggaraan negara. Kebijakan yang idelanya bertumpu pada tugas suci menciptakan kesejahteraan masyarakat akan beralih pada hasrat memenuhi kepentingan golongan saja. Hal ini karena tergerusnya standar nilai etik dalam menjalankan tugas pemerintahannya.


Artinya, eksistensi etika yang sangat urgen ini harus terus digaungkan. Buah pikir mengenai etika politik mesti dikaji, dipahami dan diimplementasikan dalam kehidupan politik. Salah satu tokoh yang memiliki kepedulian besar terhadap hal ini adalah Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Kendati pemikirannya mengenai etika politik dipengaruhi sosio-politik pada saat itu, namun agaknya masih relevan untuk diterapkan di masa sekarang.


Problematika yang terjadi dalam bidang politik masa Gus Dur dengan masa sekarang tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Salah satunya tipe-tipe pemimpin pada masa Gus Dur dan sekarang selaras, mengingat penyalahgunaan kekuasaan masih banyak terjadi (Faizatun Khasanah, 2019). Hal ini dapat ditemukan dengan mudah dalam berita di berbagai platform media sosial. Para pemimpin negeri seolah mengesampingkan dan acuh terhadap kepentingan rakyatnya. Mulai dari minimnya partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang sampai bentrok antara aparat dengan warga sipil sebagaimana yang terjadi di Rempang baru-baru ini.


Pemikiran Etika Politik Gus Dur

Etika merupakan bagian dari cabang filsafat. Secara umum, filsafat dibagi menjadi dua kategori yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis mempertanyakan segala entitas yang ada seperti apa itu alam, manusia dan lain sebagainya. Sedangkan filsafat praktis membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada tersebut (Aidost, 2009).


Etika masuk dalam rumpun filsafat praktis, sehingga etika politik secara umum berbicara soal bagaimana memperoleh kekuasaan dan bagaimana kekuasaan tersebut digunakan yang tentu dilandasi dengan moralitas.


Gus Dur sendiri tidak memberikan definisi secara eksplisit, namun buah pemikirannya mengenai etika politik dapat kita formulasikan menjadi beberapa prinsip. Pertama, keadilan untuk kesejahteraan bersama. Dalam buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2006), keadilan merupakan ajaran fundamental yang dibawakan Islam, baik keadilan individual maupun keadilan kolektif.


Sebagai cendekiawan yang lahir dari rahim pesantren, prinsip etika keadilan dalam pandangan Gus Dur terinspirasi dari sumber ajaran Islam. Bahwa perintah keadilan perlu dijalankan dan diterapkan secara konsisten. Berulang kali Alquran menyerukan an ta’dilu (perintah untuk berlaku adil) dan kunu qawwamina bi al-qisth (menegakkan keadilan). Yang artinya keadilan merupakan perintah mutlak dalam Islam. Tidak hanya Islam, agama lain juga menjunjung tinggi keadilan yang berarti keadilan tak ternilai harganya.


Keadilan dalam konteks kehidupan bernegara adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Segala kebijakan harus berorientasi dan berpihak pada rakyat. dengan spirit humanisme, memperlakukan mereka sebagai manusia maka keadilan di sini harus ditegakkan untuk mencapai kesejahteraan bersama. Banyak tulisan Gus Dur yang menekankan etika keadilan dalam tubuh pemerintahan. Keadilan harus menjadi basis moral yang penting. Karena, jika keadilan hidup dalam bidang politik, maka akan hidup pula dalam bidang-bidang lainnya.


Kedua, prinsip amanah. Sebagai khalifatullah fil ardh, manusia diberikan kesempatan oleh tuhan sebagai pemegang otoritas pengelolaan dunia. Manusia diberi kebebasan untuk melakukan improvisasi untuk berlaku secara kreatif dalam menjaga kelestarian hidup, disamping tetap ada rambu-rambu dari Tuhan sebagai pedoman hidup. Kehendak bebas inilah yang nanti akan dimintai pertanggungjawaban sesuai apa yang diperbuat. Maka, sejatinya hidup adalah amanah dari tuhan.


Seorang pemimpin, harus bersikap amanah karena ia sedang mengemban tanggungjawab sebagai wakil Tuhan di bumi sekaligus sebagai wakil rakyat. amanah berarti menjalankan apa yang telah dibebankan kepadanya. dalam konteks hubungan antar manusia termasuk dalam penyelenggaraan negara, tidak amanah berarti telah melakukan dosa kemanusiaan. Oleh karena itu, menurut Gus Dur, amanah menjadi sikap moral yang harus terus tumbuh dalam dada para pemimpin.


Ketiga, prinsip lemah lembut dan antikekerasan. Faizatun Khasanah dalam Etika Gus Dur, Religius-Rasional (2018), menerangkan bahwa Gus Dur menentang segala bentuk kekerasan dalam kancah politik. Karakter lemah lembut Gus Dur terlihat dari berbagai pilihan strategi kebijakan dalam menangani persoalan. Dalam kiprahnya, Gus Dur menggunakan cara-cara yang soft.


Dalam menangani masalah terorisme misalnya, Gus Dur mengawali penyelesaian ini dengan menemukan akar dari masalah tersebut. Bahwa mereka yang tergabung dalam jaringan terorisme adalah bagian kecil dari warga muslim yang gagal memahami ajaran agama Islam. Oleh karena itu, perlu adanya pencerahan terhadap mereka melalui dialog antar budaya dan keagamaan. Dengan demikian, paham terorisme akan hilang sering hilangnya pemahaman yang salah terhadap ajaran agama.


Internalisasi Nilai Etika Politik Gus Dur

Proses internalisasi etika politik ini harus dimulai dari pendidikan. Dalam kaitannya dengan politik, pendidikan berperan untuk menyiapkan generasi mendatang yang memiliki bekal intelektual dan spiritual. Tuhan telah menganugerahkan piranti berupa akal, hati dan rasa. Piranti ini harus digunakan secara proporsional dan seimbang. Penggunaan akal dengan mengesampingkan hati akan membentuk manusia yang tangguh namun namun liar. Sedangkan penggunaan hati dengan mengesampingkan akal akan membentuk manusia yang saleh namun lemah.


Dalam hal ini, Gus Dur melihat bahwa pesantren menjadi lahan subur untuk menumbuhkan sikap yang bermoral, di samping lembaga pendidikan dari agama lain. Pesantren memiliki sistem nilai yang ditransmisikan secara konsisten baik kepada santri maupun masyarakat. Oleh karena itu, potensi pesantren sebagai agen perubahan kebudayaan bagi masyarakat sangat besar.


Sistem nilai yang diajarkan di pesantren adalah Islam itu sendiri. Islam merupakan agama yang mengemban misi rahmat untuk seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Dengan demikian, output dari hasil mempelajari nilai keislaman adalah sikap yang mewujudkan kedamaian, keadilan dan kemakmuran bagi umat manusia tanpa melihat latar belakangnya.


Nilai tersebut telah nyata dipraktikkan oleh Gus Dur yang menjalankan politik dengan didasari ajaran Islam dalam bingkai tradisi pesantren. Bahwa watak dinamis yang melekat dalam tradisi pemikiran pesantren tumbuh dengan baik karena karena mengelaborasi pola berpikir fiqhiyah dan pola sikap yang didasari pada moralitas dan akhlak. Sehingga hasil pemikiran dan tindakan diarahkan pada pencapaian tujuan Islam itu sendiri, rahmatan lil ‘alamin (Uswatun Hasanah, 2023).


Nilai-nilai Islam yang diajarkan yang masih terus dilestarikan ini bisa menjadi spirit pola hidup egalitarian dan pembangunan masyarakat yang toleran dan berkeadilan. Dengan kata lain, individu yang telah melalui tataran pendidikan di pesantren nantinya dapat menjadi pelopor pembangunan bangsa yang didasari nilai etika sebagaimana yang telah digagas dan dipraktikkan langsung oleh Gus Dur.


Dengan demikian, fenomena negatif dalam wajah politik di Indonesia bisa dijawab dengan menghidupkan etika politik yang digagas oleh Gus Dur. Penghidupan tersebut dapat ditempuh melalui jalur pendidikan utamanya pesantren sebagai institusi yang nilia-nilai keislaman berbasis moral.

 

Dikri Mulia, Santri Pesantren Luhur Ciganjur, Jakarta Selatan